Penulis: Abdussalam Bonde Ketua DPD KNPI Bolmong, Orang Doloduo
Ditengah ujian yang sedang kita hadapi akibat pandemik Covid-19 yang penyebarannya kian masif, belakangan muncul banyak sorotan terkait penanganan hukum–diluar dari masalah Covid-19. Sorotan tersebut berkaitan dengan penegakan hukum didalam negeri yang katanya negara hukum. Hal ini disebabkan oleh perilaku oknum aparat hukum yang tidak mencerminkan prinsip negara hukum yang baik dan sistem peradilan yang tidak memihak (imparsial).
Peritiwa hukum yang aneh dan membuat kita tertawa full bersama, adalah ketika dua terdakwa yang notabene anggota Polri (aparat penegak hukum), yaitu: Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette, pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, hanya dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan satu tahun penjara dan dikurangi lagi masa tahanan yang sudah dijalankan.
Rendahnya tuntutan JPU kepada terdakwa membuat kita semua curiga, siap bersuara dan memposisikan diri menjadi pembela, dan itu sah. Kecurigaan publik makin terasa ketika JPU terkesan sengaja ingin menghindar dari dakwaan pertama (primer), sebagaimana yang di atur dalam Pasal 355 ayat (1) KUHP yang ancaman hukumannya selama 12 tahun. Kemudian menetapkan ke dakwaan kedua (subsider) yaitu Pasal 353 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang turut serta pelaku dengan ancaman pidana maksimalnya tujuh tahun. Itupun JPU meminta kepada majelis agar terdakwa dihukum selama satu tahun.
Argumentasi JPU memilih dakwaan subsider ini sebagai dasar tuntutan, dikarenakan dakwaan primer tidak dapat didibuktikan, sehingga terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primer. Dan memilih dakwaan subsider karena terdakwa tidak sengaja menyiram air keras ke mata Novel. Rencananya cairan yang merupakan asam sulfat H2SO4 (air keras) hanya disiram ke tubuh untuk sekadar memberi pelajaran, bukan ditujukan melakukan penganiayaan berat.
Jika melihat fakta hukum, saya yakin publik lebih menerima logika hukum komika Bintang Emon dalam cuitannya “Gak Sengaja” yang di unggah di youtube—dari bandingkan dengan argumentasi JPU yang menyatakan “ketidaksengajaan” pelaku penyiram mata Novel sebagai dasar menuntut rendah. Karena jelas argumentasi itu merupakan suatu penghinaan terhadap akal sehat dan doktrin hukum pidana universal terkait unsur kesengajaan, yang telah dikembangkan dan diajarkan di fakultas hukum. Unsur kesengajaan itu yang harus uji dengan unsur menghendaki dan mengetahui sesuai dengan teori kesengajaan dalam tindak pidana.
Bagaimana bisa dikatakan ketidaksengajaan bila terdakwa sengaja menghendaki perbuatan itu terjadi, kemudian terdakwa mengetahui bahwa perbuatan itu dapat menibulkan akibat yang dilarang, akan nampak adanya unsur perencanaannya disitu karena pengunaan cairan berbahaya tersebut telah mengindikasikan adanya kesadaran dari si pelaku bahwa menyiramkan air keras kepada seseorang pasti akan menyebabkan luka berat pada tubuh korban.
Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan tiga bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan atau adanya kesengajaan yaitu; Pertama: kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (yang dekat); dolus directus. Kedua: kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau noodzakkelijkheidbewustzijn). Ketiga: kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet). Ketiga corak unsur kesengajaan diatas harusnya menjadi fokus pembuktian JPU sebelum menarik kesimpulan meringankan terdakwa karena alasan tidak disengaja, rencananya disiram ke tubuh tapi mengenai mata; hanya sekedar memberi peringatan; bukan ditujukan melakukan penganiayaan berat. Astaga …!
Jika demikian alasannya wajar publik curiga dan mengkritik masalah ini, maka jangan marah, apalagi membully serta menakut-nakuti para pembela Novel Baswedan seperti yang dialami komika Bintang Emon. Kalau sudah salah intropeksi dirilah. Kembalilah ke dakwaan utama (primer) Pasal 355 ayat (1) yang dari awal jelas sudah punya maksud, ada akibat, dan lukai korban–itukan tujuannya? Kalaupun terkdawa dengan perbuatannya dia anggap tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari perbuatan pidana, tetapi si pembuat tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengituki perbuatannya. Dan jelas perbuatan terdakwa bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dlarang. Ia juga sengaja menghendaki perbuatan beserta akibatnya.
Sungguh Pasal 353 ayat (2) perencanaan, penganiyaan yang mengakibatkan luka barat sangat tidak tepat dan terkesan seperti ada yang disembunyikan. Oleh karena itu, agar publik tidak menaruh curiga, “Jangan-jangan benar ada yang disembunyikan”, maka kerja-kerja JPU dalam kasus ini harusnya lebih extra effort law enforcement, mendakwai terdakwa dengan pasal-pasal yang memberatkan. Mengingat korban dalam kasus ini adalah seorang penyidik di sebuah lembaga negara yang intengitasnya masih teruji baik–dengan agenda pemberantasan korupsi yang merupakan extra ordinary Crime. Ingat! kita telah bersepakat Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Sebagai negara hukum, semua orang tentu memiliki hak dan kedudukan yang sama di depan hukum, eguality before the law. Jadi, ketika seorang pejabat atau aparat hukum melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum, maka pejabat tersebut harus mendapatkan sanksi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Karena kita semua memiliki hak dan kedudukan yang sama di depan hukum, serta demi menegakkan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila, negara telah memberikan kita kebebasan berpendapat, menjalankan check and balance dan ditegakkannya rule of law.
Mari bersama-sama mendesak kepada Jaksa Agung RI untuk mengevaluasi jaksa penuntut umum terkait materi tuntutan rendah ini–yang terindikasi keliru secara konsep hukum pidana. Meminta majelis hakim untuk menggunakan kekuasaan yang bebas dan merdeka dengan mempertimbangkan fakta dan hukum secara cermat dengan dan mengabaikan tuntutan JPU tersebut, serta menghukum pelaku dengan Pasal 355 ayat (1) dengan ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara yang tercantum dalam dakwaan pertama. Jika tidak, peristiwa hukum ini akan menjadi pengganti serial sinetron “Dunia Terbalik” dengan judul “Tidak Di Sengaja Yang Disengajakan”.(*)