TOTABUAN.CO – Berdalih mencegah penyebaran paham radikal, Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir 22 laman. Langkah ini disesalkan oleh beberapa pihak.
Salah satu pakar teknologi dan informasi, Ade Armando, mengatakan pemblokiran ini mengingatkan masyarakat akan pemberedelan Majalah Tempo pada 1994 oleh pemerintahan Orde Baru.
“Saya prihatin dengan keputusan Menkominfo memblokir 22 situs Islam. Yang jadi masalah, pemblokiran dilakukan tanpa menunjukkan secara eksplisit konten-konten mana yang dianggap melanggar hukum. Ini mengingatkan kita pemberedelan Tempo tahun 1994,” kata Ade saat dihubungi Metrotvnews.com, Selasa (31/3/2015).
Menurut dia, Kemenkominfo sebaiknya segera membeberkan kepada publik tentang kriteria dan unsur-unsur yang menjadikan laman-laman tersebut layak diblokir. Meskipun proses membendung tindak radikalisme juga merupakan hal yang penting, tapi pemerintah juga harus tetap percaya pada demokrasi.
“Sebagai contoh, dalam situs VOA Islam ditemukan konten-konten yang cenderung menghina umat dan golongan lain, ini kan jelas bisa dianggap melanggar hukum. Kalau itu dilakukan akan mudah menarik simpati publik dan langkah Kemenkominfo akan dianggap pro kepentingan publik,” katanya.
Hal yang senada juga dikatakan Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat, Maman Imanulhaq. Menurut dia, alasan pemblokiran situs yang dilakukan oleh Kemenkominfo RI memang bisa dipahami. Namun, pemerintah semestinya terlebih dahulu memenuhi segenap aspek di alam demokrasi.
“Saya mencoba memahami pemblokiran ini selama prosedurnya dipenuhi. Pemilik web yang diblokir bisa menyampaikan keberatan dengan argumen yang kuat dan valid,” kata Maman.
Jika melalui penyampaian rasa keberatan tersebut tidak mencapai sebuah kesepakatan, menurut Maman, pengelola web bisa menuntut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) RI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Konten internet harus diatur agar tidak jadi hutan belantara yang menyesatkan,” katanya.
Anggota fraksi Partai Kebangkitan Bangsa ini juga menyarankan agar pemerintah tidak sungkan untuk melakukan koordinasi dan diskusi dengan organisasi kemasyarakatan Islam untuk merumuskan antara konten dakwah yang berpotensi pada permusuhan maupun yang masih dalam batas kewajaran.
“Yang saya sesalkan kenapa BNPT tidak minta masukan ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah agar tahu peta gerakan Islam. Mana yang toleran, transformatif dan mendukung NKRI, mana yang radikal, ekstrem, penyebar fitnah dan antiperbedaan,” sarannya.
Menteri Kominfo RI, Rudiantara, membenarkan telah memblokir 19 situs yang diduga berpotensi menyebarkan paham radikalisme dan puluhan situs lain yang dikhawatirkan menebarkan paham serta gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Indonesia. Akibat kebijakan tersebut, banyak pengguna internet menuliskan protes di media sosial dengan menggunakan #KembalikanMediaIslam sebagai tanda keberatan. Namun, banyak juga yang mendukung pemblokiran itu.
sumber: metrotvnews.com