Cerita pendek
Oleh tlma_pn
(Kata Tulisan)
“Ketika Ramadhan hampir menyapa, akankah Engkau mengizinkanku untuk menyambutnya dalam ikhlas kebagiaan serta sukacita.”
Euforia Ramadhan sungguh luar biasa. Dia menerjang berbagai kalangan, mengetuk setiap pintu hati untuk bersukacita. Jauh-jauh hari semua umat manusia sudah mempersiapkan diri menyapanya. Tak ketinggalan juga untuk perguruan tinggi negeri yang cukup terkenal di Kota Kembang. Antusiasmenya sungguh luar biasa untuk melaksanakan kegiatan yang hanya datang sekali dalam setahun ini. Tak ayal berbagai lini di universitas itu ikut bergerak. Mahasiswa, dosen-dosen staf administrasi bahkan rektor juga ikut berpartisipasi. Rencana demi rencana diuraikan dalam rapat yang kemudian dibulatkan dalam sebuah musyawarah mufakat.
Berbeda sedikit dengan nuansa kegembiraan yang terasa di sekitar kampus. Di sudut taman yang hijau, seorang gadis cantik tengah duduk menyendiri. Dia tidak begitu menyukai topik itu. Ramadhan, yang sebelumnya dijadikan bulan khusus dalam agenda hidupnya karena semua keluarganya berkumpul. Tapi tidak untuk sekarang ini. Layaknya cairan tinta tumpah menyisakan bekas noda yang tak dapat dihapus. Menodai senyum bahagianya yang luntur sekejap.
***
“Nayswaa, bangun, sayang! Sudah waktunya bangun sahur,”
Nayswaa mengerjap dan membuka matanya. Menatap wanita cantik yang telah melahirkannya. Nayswaa beranjak dari tempat tidur, memeluk kemudian mengamit lengan bundanya menuju ruang makan. Sahur bersama keluarga buat Nayswaa adalah momen kebersamaaan dan kebahagiaan penuh kasih sayang. Mengingat ayah Nayswaa seorang pengusaha dan bundanya jarang di rumah menemani sang ayah bekerja. Kakak Nayswaa, Satria, kuliah di luar negeri mengisi cuti liburannya pulang ke tanah air bertepatan dengan bulan Ramadhan.
Setelah sahur bersama, mereka berwudhu siap-siap ke masjid untuk sholat shubuh berjama’ah. Hari demi hari berjalan, Ramadhan sangat dinikmati Nayswaa dan keluarganya. Tapi hal itu tak berlangsung lama. Saat sebuah malapetaka terjadi di depan Nayswaa. Dia telah melihat dengan mata kepalanya sendiri ayahnya yang sedang bersama dengan wanita lain di sebuah cafe seusai sholat tarawih. Mereka tertawa dan bercengkrama mesra. Bahkan tanpa malu si wanita menyandarkan kepalanya dengan manja ke bahu ayahnya. Dan ayahnya membalas dengan membelai atau mencium dahi wanita asing itu.
Nasywaa menggelengkan kepalanya kuat-kuat demi melihat kejadian itu. Tak percaya ayah yang begitu dibanggakannya tega berbuat demikian. Tak tahan dengan adegan-adegan mesra yang terpampang jelas dihadapannya akhirnya Nasywaa berlari berurai airmata menuju ke rumah. Karena emosi yang bergejolak, dia berteriak histeris , hatinya luar biasa sakit dan kecewa. Tanpa banyak penjelasan dan basa basi, Nasywaa mengangkat kakinya dari rumah dengan hanya beralaskan baju di badan menuju rumah pamannya. Sejak saat itu Nasywaa tak percaya lagi dengan kebahagiaan.
***
Ramadhan sebentar lagi tiba. Nasywaa sengaja menjauhkan diri dari berbagai kegiatan untuk menyambutnya. Seperti hari-hari yang biasa di bulan Ramadhan. Nasywaa lebih memilih menyendiri di taman kampus. Asyik dengan pikirannya sendiri. Tanpa disadarinya, seorang pria ikut duduk di bangku yang Nasywaa duduki.
“Tidak baik gadis berdiam diri disini” tegur pria itu. Nasywaa mengacuhkannya.
“Kenapa tidak bergabung dengan teman-temanmu?”
“Bukan urusanmu! Urus saja urusanmu sendiri. Kamu sungguh mengganggu privasi orang.” Nasywaa menjawab dengan ketus.
Pria itu, Afiif adalah seorang dosen pindahan di kampus tempat Nasywaa kuliah. Afiif pernah mengutarakan perasaannya tapi tak ditanggapi Nasywaa. Afiif juga mengetahui masalah keluarga yang menimpa Nasywaa sama halnya seperti mahasiswa yang sefakultas dengan Nasywaa. Dia berusaha membantunya untuk membuka dirinya kembali menghadapi hidupnya dengan hati yang lapang. Tapi itu sulit, mengingat kekeraskepalaan Nasywaa yang telah mengakar.
“Kamu tahu, semua orang punya masalah. Sepelik apapun itu, mereka berusaha menghadapinya. Jujur saja, saya juga punya masalah. Kalau kamu ingin berbagi dengan orang lain pasti akan terasa ringan beban pikiranmu. Memang tak gampang untuk bicara, semudah menjentikkan jari dan masalahnya selesai.” Nasywaa menatap Afiif dengan tajam demi mendengar nasehat yang keluar dari lisannya.
“Jangan sok menggurui saya. Saya tak butuh itu!” kata Nasywaa sambil beranjak pergi. Merasa muak karena Afiif berfilosofi tentang hidup. Afiif hanya menghela nafas melihat sikap Nasywaa yang langsung pergi meninggalkannya.
‘Waa, kamu harus tahu bahwa banyak orang yang menyayangimu. Ya Allah, bukakanlah pintu hatinya agar kebencian tak menggerogoti jiwanya. Lindungilah dia.” Doa Afiif pada Sang Khalik
***
Ramadhan telah tiba, umat muslim menyambut dengan penuh sukacita karena dipertemukan lagi dengan bulan penuh barokah. Untuk Nasywaa, dia lebih memilih tetap mengurung diri di kamar. Paman dan tantenya sudah paham sikap Nasywaa. Untuk itulah mereka bertekad membantu Nasywaa bangkit dari keterpurukan. Agar bisa melihat lagi Nasywaa yang ceria dan manja, keponakan yang sudah dianggap seperti anak mereka sendiri.
Waktu kejadian itu terjadi, mereka memang sangat terkejut dan syok melihat Nasywaa datang tiba-tiba dengan keadaan yang menyedihkan. Dia menceritakan masalah yang menimpa keluarganya. Pamannya marah dan murka atas sikap adiknya tak lain ayah Nasywaa sendiri, tantenya juga terlihat sedih.
“Waa, kamu mau tarawih?” tanya tantenya di depan pintu kamar. Nasywaa diam tak bergeming. Wajahnya dibenamkan dalam bantal umtuk menutupi pendengarannya. Takbir, tahmid dan adzan berkumandang mengajak warga sekitar untuk bertarawih bersama.
“Paman dan tante pamit untuk tarawih, ya. Jangan lupa pintunya dikunci. Assalamu’alaikum.” tak ada jawaban dari Nasywaa. Paman dan tantenya hanya bisa saling menatap sedih.
Tak lama kemudian, Nasywaa keluar dari kamarnya. Dia sangat benci dengan suasana seperti ini, membangkitkan kenangan pahit yang tak ingin diingatnya.
“Ambil nyawaku saja Ya Allah. Sungguh sakit dengan waktu yang kujalani. Aku tak mampu lagi melangkah, menapaki jejak hidup yang tak ada ujungnya.” Airmata kesedihannya mengalir menyayat hati. Nasywaa menatap kosong bulan di teras samping rumah.
***
Hari ketiga di bulan Ramadhan. Hari itu, Nasywaa berpuasa karena merasa tak enak pada pamannya yang terkenal sebagai ustadz di lingkungan tempat tinggal mereka. Hanya saja untuk shalat dan tadarusan dirinya malas mengikuti, paman dan tantenya tidak memaksa.
“Nak, apa kabar dirimu selama tinggal disini?” Sang paman bertanya dengan sabar saat mereka berkumpul di ruang keluarga. Nasywaa menatap pamannya dengan sayang, yang sudah dianggap seperti ayah kandungnya.
“Alhamdulillah. Kabar Waa baik, paman. Jangan khawatir.” Nayswaa menjawab sekedarnya saja namun dalam hatinya bergejolak lahar api yang membangkitkan emosinya. Amarah memang bisa menjadi penyakit yang nantinya akan membutakan mata hati manusia dalam menjalani hidup.
Tantenya mengusap rambut Nayswaa dengan hati-hati. Usapan penuh sayang itu membuat mata indah Nayswaa berkabut membentuk kristal bening, jatuh setetes demi setetes mewarnai hari kelabunya bak hujan gerimis. Nasywaa tak dapat menahan gejolak batin yang memuncak. Mengingat hari-hari yang dialaminya adalah kerapuhan. Dimana jiwanya terombang-ambing dalam nafsu dendam dan kekecewaan yang luar biasa. Paman dan tantenya juga tidak lupa dengan kejadian Ramadhan lalu. Mereka merangkul Nasywaa dengan erat, bukti bahwa mereka tak akan pernah meninggalkannya.
***
Paman dan tantenya bermaksud membuat Nasywaa untuk mengusir kejenuhan sekaligus sebagai terapi lewat berbagai kegiatan Ramadhan di lingkungan tempat tinggal mereka. Perlahan tapi pasti perubahan mulai tampak dari perilaku Nasywaa. Mereka turut bahagia dan senang akan perubahan itu. Mereka berharap Nasywaa akan kembali menjadi dirinya yang cerdas dan mandiri.
***
Hari itu sangat cerah. Nasywaa dengan langkah lincahnya memasuki halaman kampus dengan senyum ceria. Sambil menatap langit, dalam hatinya bertasbih memuji Penguasanya yang telah memberikan anugerah yang begitu menghangatkan atmosfer hidupnya.
“Wahai langit, dapatkah Kau mendengarku? Sampaikanlah salam cintaku atas anugerahNya. Sepertinya itu tidak cukup, ya? Nafas yang Dia berikan untukku, searah detak jam mengikuti detak jantungku. Darah mengalir seluruh ragaku. Pertemukanlah diriku dengan hal-hal yang baik.” Nasywaa memejamkan mata membisikkan doanya dalam hati.
Saat itu orang-orang di kampus tidak mengetahui bahwa sosok yang berada didepan mereka adalah Nasywaa dengan penampilan baru, berhijab. Tapi ada seseorang diantaranya yang sadar bahwa Nasywaa yang dulu telah kembali.
Nasywaa tersenyum sumringah dan antusias mengikuti kegiatan besar-besaran yang diadakan dikampusnya hari itu. Mereka mengundang yayasan panti asuhan untuk berbuka puasa bersama. Tak lupa pula disuguhkan tadarusan serta tausiah ustadz terkenal.
“…puasa dibulan Ramadhan tak terasa berjalan mengikuti perputaran roda waktu. Begitu banyak pula kisah-kisah terpatri dalam diri kita. Layaknya kaset rekaman, itulah yang akan kita lihat di akhirat nanti. Dosa dan kesalahan di masa lampau, dendam dan kebencian menutup hati kita. Keegoisan, merendahkan diri sendiri……Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu bernama Ar-Rayyan yang masuk dari pintu itu pada hari kiamat hanya orang-orang yang berpuasa. (HR-Muslim) ……..Sungguh lapang Allah swt, Dia memaafkan umatnya meskipun seberat dzarah pun karena Dia melihat ada kebaikan menjadi dinding pemisah dari sisi keburukan…”
Nasywaa terisak, hatinya meringis mendengar tausiah sang ustadz. Kesedihan yang menyelimutinya membuat dia tiba-tiba pingsan. Semua yang hadir langsung membawa Nasywaa menuju ruang kesehatan.
“Syukur Alhamdulillah kamu sudah sadar.” Nasywaa menatap wajah yang dikenalnya, Afiif. Nasywaa mengangguk tersenyum.
“Terima kasih. Bapak telah menunggu saya sampai sadar. Maaf telah merepotkan semua.” Ucap Nasywaa yang kemudian teringat bahwa dirinya pingsan disaat tausiyah
Tiba-tiba hatinya menghangat dan bahagia, entah kenapa. Lagi-lagi dirinya tersenyum, dia telah mengikhlaskan kebekuan hatinya untuk mencair. Afiif yang belum beranjak, terkejut dengan nada suara Nasywaa melembut serta wajahnya terlihat lebih cantik dengan berhijab. Afiif sangat bersyukur. Setelah Nasywaa merasa dirinya sudah baikan, mereka kembali bergabung dan berbaur dengan mahasiswa lainnya.
Sepulang dari kampusnya, yang tak diketahui Nasywaa akan ada pertemuan yang tak terduga. Sampai di rumah pamannya, dia mematung. Melihat tamu yang tak asing di depannya. Mata Nasywaa berkaca-kaca terduduk lemas di lantai. Tamu itu tak lain adalah orang tuanya sendiri dan kakaknya. Ayah dan bunda Nasywaa langsung memeluk anaknya erat dan penuh cinta. Dosa dan rasa bersalah yang tak mungkin dimaafkan atas masa lalu serta guncangan jiwa yang melanda anak perempuan satu-satunya. Tangisan Nasywaa pecah histeris karena memendam kerinduan yang tiada tara. Paman dan tantenya menangis haru. Satria juga ikut larut dengan pertemuan keluarga tercinta. Airmata mewarnai hari berkumpul kembali keluarga yang terpisah karena keegoisan.
Di bulan Ramadhan ini adalah Ramadhan terindah untuk Nasywaa. Dia tak berhenti berdo’a mengucap syukur pada Rabbnya.
Marhaban Ya Ramadhan..
Jangan pernah meninggalkanku..
Ijinkan aku menatap wajahMu
Biarkanlah ku mencecap manisnya kebahagiaanMU
Di saat jantungku berdetak atas kehendakMU
Takdir berjalan sembuny, tak diketahui pula
Surgawi terbentang luas di ujung jembatan
Memuaskan dahaga hati,membasuh dosa kelam
Meraih sejatinya kesempurnaan diri.
oleh : tLma_pn