TOTABUAN.CO POLITIK — Undang undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu baru saja disahkan oleh Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Undang undang tersebut berlaku efektif sejak diundangkan pada Agustus 2017, sebagai regulasi yang menggabungkan Tiga UU sebelumnya yaitu UU tentang Penyelenggara Pemilu, UU tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD serta UU tentang Pemilihan Presiden.
Undang undang Nomor 7 Tahun 2017 ini mengakomodir keseluruhan Penyelenggaraan Pemilu di Tahun 2019, ada beberapa hal yang berubah seperti Jumlah anggota DPR RI menjadi 575 kursi, Jumlah Kursi di DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota juga bertambah berdasarkan populasinya, juga perubahan jumlah anggota KPU di Provinsi dan Kabupaten/Kota, status Bawaslu di Kabupaten/Kota menjadi permanen dan perubahan-perubahan lainnya.
Pada pasal 420 disebutkan tentang aturan penetapan perolehan kursi tiap partai politik, adapun sistem ini adalah mempergunakan metode “Sainte Lague”.
Model Sainta Lague ini tidak eksplisit disebutkan dalam UU No 7 Tahun 2017, metode ini ditemukan oleh seorang ahli Matematika dari Pancis bernama Andre Sainte- Lague tahun 1910. Selama ini Indonesia memakai sistem Kuota mulai dari UU 27 Tahun 1948 sampai dengan UU 8 Tahun 2012, yang berbeda adalah Frasa/sebutannya saja.
Pada Pemilu sebelumnya, kita mengenal sistem Kuota dimana penentuan kursi dilakukan dengan mencari terlebih dahulu Bilangan Pemilih Pembagi (BPP) dari Jumlah suara sah dibagi dengan jumlah kursi yang tersedia, kemudia tiap partai politik yang mendapatkan angka BPP otomatis mendapatkan kursinya, dan sisa kursi yang tersedia akan ditentukan dengan ranking/ perolehan suara terbanyak tiap Partai Politik.
Pada Pemilu 2019, kita akan diperkenalkan dengan sistem yang baru sebagaimana diatur pada pasal 420 UU 7 Tahun 2017.
Salah satu pasal yang ditetapkan adalah menyangkut cara perhitungan perolehan kursi partai politik dalam pemilu legislatif. Bila pada pemilu legislatif 2014 menggunakan metode Quata Hare, pada pemilu 2019 perhitungan kursi akan menggunakan metode Sainte Lague.
Untuk lebih memahami bagaimana menerapkan metode Sainte League, berikut ini simulasi cara perhitungan kursi partai.
Misalkan di satu dapil memiliki jatah 4 kursi. Dan hasil perolehan suara pemilu legislatif 2019 sebagai berikut :
– PDIP : 200.000
– Golkar: 100.000
– Gerindra : 50.000
– Demokrat: 25.000
– Partai2 lain: 5.000
Dengan metode Sainte League maka bilangan pembaginya bukan lagi menggunakan kuota kursi dapil tetapi angka 1,3,5,7 dst.
Dari simulasi hasil suara pileg di atas maka perhitungan perolehan kursi sbb:
- Kursi Pertama diperoleh oleh PDIP karena suara terbanyak (200.000 suara)
Kursi Kedua dihitung dengan cara sebagai berikut;
– PDIP : 200.000/3 = 66.666
– Golkar : 100.000
– Gerindra: 50.000
– Demokrat : 25.000
Berdasarkan perhitungan kursi kedua ini nampak Golkar memiliki suara tertinggi (100.000) maka Golkar mendapat 1 kursi.
Kursi ketiga dihitung dengan cara sebagai berikut;
– PDIP : 200.000/3 = 66.666
– Golkar : 100.000/3 = 33.333
– Gerindra: 50.000
– Demokrat : 25.000
Berdasarkan perhitungan kursi ketiga ini nampak PDIP memiliki suara tertinggi (66.666) maka Golkar mendapat 1 kursi lagi.
4. Kursi Keempat dihitung dengan cara sebagai berikut;
– PDIPI : 200.000/5 =40.000
– Golkar: 100rbu/3 = 33.333
– Gerindra: 50.000
– Demokrat : 20.000
Berdasarkan perhitungan kursi keempat ini nampak Gerindra memiliki suara tertinggi (50.000) maka Gerindra mendapat 1 kursi.
Berdasarkan simulasi menggunakan metode Sainte League maka perolehan hasil akhir sebagai berikut;
PDIP : 2 kursi
Golkar : 1 kursi
Gerindra : 1 kursi
Demokrat: 0 kursi
Menurut Dendi Susianto, Direktur Lembaga Konsultan Politik Indonesia (LKPI-StarPoll), metode konversi suara metode Sainte League dirasakan lebih adil dibanding menggunakan metode Quata Hare. “Dengan metode Sainte League ini nantinya partai-partai yang memperoleh suara banyak tidak akan merasa suaranya direbut oleh partai lain yang suaranya lebih kecil tapi memperoleh kursi,” tutur konsultan politik yang telah banyak menangani pilkada dan pileg ini.(**)