TOTABUAN.CO – Prajurit TNI AD berpangkat Pembantu Letnan Satu (Peltu) Sugito memanggul senjata selama 17 tahun dari 1983 hingga 2000 saat masuk menjadi TNI AD pada usia 20 tahun. Mendapat tugas di lokasi konflik, sudah dilakoni saat berada di Batalyon 327 Brawijaya, Cianjur, Jawa Barat (kala itu, sekarang Yonif 300 Raider).
Pria kelahiran Kulonprogo, 18 November 1963 itu selama 10 tahun berada dilokasi konflik Timor-timor (kini sudah keluar dari NKRI), yakni sejak tahun 1985 hingga 1995. Setelah itu, dia mendapat tugas pengamanan batas Teritorial di pedalaman Papua selama 13 bulan.
Sekembali dari Papua, Sugito kembali mendapat tugas cukup berbahaya di Biren, Aceh Utara pada 1998-1999. Diberondong kelompok separatis GAM berulang kali dialami dalam tugas yang penuh resiko tinggi.
“Di Aceh, sebagai pasukan tempur sering kontak (tembak-tembakan) dengan GAM. Senjata mereka bagus, cuma membidiknya yang tidak tepat karena mereka menembak sambil berlari,” kata Sugito saat ditemui di Makorem 072 Pamungkas Yogyakarta.
Bapak dua anak itu tidak bisa melupakan empat anak buahnya yang gugur terkena bom saat duduk di gubuk area persawahan. Saat itu, tidak ada kontak dengan kelompok GAM karena usai membantu masyarakat setempat dalam memadamkan mobil tanki yang terbakar.
“Ada mobil tanki terbakar waktu itu, entah dibakar atau tidak, disengaja atau tidak. Masyarakat minta bantuan ke kita (TNI), sudah berhasil kita padamkan. Kemudian kita disuguhi makanan sambil istirahat di gubuk, ternyata ada bom di bawah gubuk, ada kabel pemicunya, empat anggota saya gugur di usia yang masih muda-muda,” kenangnya.
Pria yang kini tinggal di Krembangan, Panjatan, Kulonprogo, DI Yogyakarta itu tak bisa melupakan peristiwa berdarah tersebut. Tak lama usai peristiwa itu, Sugito ditarik dari tugasnya di Aceh, kembali berada di Batalyon 300 Raider selama setahun hingga tahun 2000.
Usai di Batalyon, Sugito pindah tugas di Makorem 072 Pamungkas Yogyakarta. Selama 14 tahun di Makorem, Prajurit TNI AD ini tidak lagi menenteng senjata meski memiliki kemampuan melakukan pertempuran jarak dekat. Memanggul senjata tak lagi dilakukan di Korem 072 Pamungkas, karena kini dia memberi bimbingan dan pelatihan pada junior-juniornya.
Selama tugas di Yogya, suami Sarbiah ini memiliki banyak waktu luang, karena tugasnya tidak lagi berada di garda depan jika ada konflik. Untuk mengisi waktu luang, Sugito rajin melakukan kegiatan sosial di perkampungan tempat tinggalnya. Tak hanya itu, dia juga rajin memegang cangkul karena bercocok tanam.
“Dulu pegang senjata, sekarang ini sudah tua, lebih banyak pegang cangkul di rumah karena saya bertani,” katanya.
Lahan yang digarap merupakan tanah warisan dari orang tuanya. Dia juga memiliki beberapa perkebunan yang ditanami pohon Jati. Sedangkan, area persawahan tetap ditanami sesuai musim yang ada. “Ini musim panas, tanamnya Brambang, nanti saat musim hujan, tanam padi,” imbuhnya.
Selain bertani, Sugito aktif diberbagai organisasi di masyarakat, meski tidak menjadi pengurus. Bahkan, dia memimpin organisasi keagamaan, yakni Yasinan setiap malam Jum’at dengan anggotanya 27 kepala keluarga yang tinggal disekitar rumahnya.
“Kalau menjadi pengurus RT/RW tidak, hanya anggota saja. Hidup di kampung ya ‘lumrah’ dengan masyarakat lain, ada kumpulan, ada gotong royong, pengajian-pengajian juga ikuti,” katanya.
Akhir tahun 2016 nanti, Sugito bakal memasuki massa pensiun diusia 53 tahun sebagai Prajurit TNI AD. Dia sudah memiliki rencana pasca lepas tugas, yanki buka toko bangunan. “Nanti setelah pensiun, saya mau usaha kecil-kecilan, buka toko bangunan,” katanya.
sumber: okezone.com