TOTABUAN.CO – Beragam olahan makanan asli masyarakat berbagai daerah menjadi kekayaan khas Indonesia. Namun sayangnya makanan tradisional berfermentasi seperti minuman beralkohol tradisional seperti arak, tuak, dan moke kadang terpinggirkan.
Komunitas Masyarakat Indonesia Anti Oplosan (Koma) mencatat beberapa petani dari berbagai daerah kesulitan membawa minuman tradisionalnya untuk keperluan acara workshop dan pameran produk berfementasi Indonesia di Jakarta pada 19 sampai 20 Maret 2016 lalu.
Para petani itu kucing-kucingan dengan petugas demi membawa minuman-minuman khas. Steven Rorong, misalnya, salah satu petani dan pengrajin Cap Tikus Minahasa. Ia kerepotan di bandara demi membawa minuman Cap Tikus.
“Saya harus menunjukkan surat jalan dari panitia kepada otoritas bandara agar bisa membawa Cap Tikus dalam wadah dua botol sisa air dalam kemasan berukuran 1500 mililiter. Kenapa susah sekali membawa minuman tradisional khas Minahasa,” kata Steven, dalam keterangan Koma, Selasa (22/3/2016).
Steven membandingkan perlakuan yang diterimanya dengan minuman beralkohol buatan negara asing. Minuman asing begitu mudahnya dibawa orang Indonesia ketika pulang ke dalam negeri melalui bandara di Tanah Air.
“Minuman beralkohol asal luar negeri yang dibeli di duty free hanya ditenteng masuk bandara tanpa sembunyi-sembunyi. Bahkan, ada teman saya yang membeli Soju dan bir lokal Korea 10 botol ukuran 1500 mililiter di Korea berhasil lolos dalam pemeriksaan sesampainya di Indonesia. Mengapa dua botol dalam ukuran yang sama harus diperiksa secara detail?” ujar Steven.
Pengalaman yang sama juga dialami oleh Yosep Isali, petani dan pengrajin Moke asal Flores, Nusa Tenggara Timur. Untuk menghindari pemeriksaan mendetail dari pihak bandara, ia mengemas Moke dalam dua botol ukuran 1500 mililiter dan dibungkus pakaian dalam tas pakaian jinjing yang dikunci.
“Mengapa membawa Moke harus seperti pengedar narkotika yang sembunyi-sembunyi. Padahal moke sendiri merupakan minuman tradisional adat Flores yang dikonsumsi tetua adat sampai masyarakat secara turun-temurun untuk kegiatan adat dan kesehatan,” kata Yosep.
Sumarlik, petani tuak asal Tuban Jawa Timur, yang juga peserta pameran produk kuliner fermentasi, punya kisah lain. Ia memilih naik kereta api menuju Jakarta ketimbang pesawat.
“Tuak saya masukkan ke dalam tas. Agar tidak bau saya taburkan bubuk kopi. Jika ditangkap polisi dalam perjalanan saya pasrah saja. Toh saya tidak membawa bahan peledak dan berbahaya yang bisa membunuh orang. Tuak ini minuman turun temurun dari Tuban,” ucap Sumarlik.
Warisan Kerajaan
Harry Nazarudin, penulis buku Kimia Kuliner, mengatakan di tengah semangat kuliner sebagai ekonomi kreatif, beberapa langkah sudah dirintis oleh pemerintah, misalnya penetapan ikon kuliner Nusantara dan ikut serta dalam pameran dunia.
“Jika Korea punya Kimchi dan Soju, dan Perancis punya Wine, bagaimana dengan Indonesia? Wine, Kimchi dan keju blue cheese merupakan produk fermentasi sama halnya dengan tempe, tape, arak, moke dan Cap Tikus,” tutur Harnaz.
Harry menjelaskan bahwa tempe, misalnya, makanan khas Indonesia yang dikenal sejak zaman pemerintahan Sultan Agung, sang penguasa Kerajaan Mataram. Hal itu dibuktikan dengan munculnya kata tempe pada Serat Centini yang menarik perhatian Belanda menguasai Indonesia.
“Dalam catatannya, dalam buku History of Tempeh, William Shurtleff dan Akiko Aoyagi mengungkap bahwa saat penjajahan Belanda, banyak peneliti dari Belanda datang ke Indonesia untuk meneliti tentang tempe dan kemudian membangun pabrik tempe di Eropa dengan nama tempeh (mereka menambahkan ‘h’ agar tetap terbaca tempe),” ucap Harry.
Pabrik tempe pun, menurut dia, juga dibangun hingga negara Jerman. Sedangkan, negara lain seperti Jepang dan Tiongkok memproduksi tempe dengan inkubator khusus. Di Indonesia, tempe bisa dibuat secara alami.
“Saat ini, jika Tiongkok dan Jepang sering diasumsikan sebagai negara asal tempe, karena di dua negara itulah tradisi pengolahan kedelai sangat kental, seperti tahu, miso dan kecap. Padahal, tempe sudah dikenal sejak abad 16 di Pulau Jawa,” kata Harry.
Dia mengatakan jika dunia mengakui tempe sebagai produk makanan fermentasi yang banyak digemari, nasibnya berbeda dengan produsen tempe di dalam negeri yang banyak yang sudah gulung tikar.
“Untuk menyelamatkan aneka produk berfermentasi mulai dari makanan hingga minuman yang mengandung alkohol dibutuhkan regulasi yang mendukung usaha rakyat serta serangkaian pembinaan dan pelatihan kepada petani untuk membuat produk yang bisa dijual di pasar global,” kata Harry.
Sumber:liputan6.com