TOTABUAN.CO-Kepolisian Resor Jayawijaya, Papua, menegaskan penolakan terhadap pembangunan Masjid Agung Baiturrahman di Wamena, Jayawijaya, bermula dari ‘informasi palsu’.
Masjid tersebut kini tetap dibangun.
“Masjid Baiturrahman sendiri sebenarnya bukan persoalannya. Informasi yang tidak sesuai faktalah yang membuat masyarakat melakukan perlawanan,” ungkap Kapolres Jayawijaya, AKBP Semmy Ronny, kepada BBC Indonesia, Rabu (02/03).
AKBP Semmy menegaskan renovasi total atau ‘pembangunan kembali’ Masjid Agung Baiturrahman telah mendapat izin dari pemerintah daerah dan ‘telah mempunyai Izin Mendirikan Bangunan.
Sesuai kesepakatan, pembangunan tersebut harus dilakukan di lokasi yang sama, memiliki dua lantai dengan tinggi bangunan sembilan meter, dan menara 29 meter.
“Namun, pertengahan Februari, muncul isu yang dihembuskan oknum yang tidak bertanggung jawab, yang menyebut bangunan masjid menjadi empat lantai, dan tinggi menara lebih 70 meter. Akhirnya masyarakat protes,” tegas Semmy Ronny.
Salah satu yang melontarkan protes keras adalah Persatuan Gereja-Gereja Jayawijaya (PGGJ).
Dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (25/02) lalu, PGGJ meminta ‘panitia pembangunan Masjid Agung Baiturrahman harus menghentikan pekerjaan pembangunan’.
Pernyataan itu dibalas Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah Papua, yang menyebut PGGJ sebagai organisasi ilegal dan meminta kepolisian menangkap pihak-pihak yang menandatangani tuntutan PGGJ.
Lebih sensitif setelah Tolikara
Pertentangan antara PGGJ dan Forum Muslim tersebut, berakhir setelah Kepolisian Daerah Papua melakukan mediasi yang turut dihadiri Gubernur Papua, Lukas Enembe, di Jayapura, Papua.
Kedua pihak pun sepakat untuk menarik tuntutannya masing-masing dan tidak menempuh langkah hukum.
“Iya, kita sepakati untuk menahan diri, fokus kepada pembangunan masjid, jangan sampai lagi ada gesekan,” ungkap Abraham Ungirwalu, Ketua PGGJ.
Komisioner Bidang Pemantauan Komisi nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang juga berdarah Papua, Natalius Pigai, menyebut masyarakat Papua harus lebih menyaring informasi yang dinilai memicu ketidakharmonisan.
“Karena setelah peristiwa Tolikara, persoalan agama jadi lebih sensitif. Apa pun itu informasinya, baik benar maupun tidak benar, orang akan mudah terpancing dan ikut memicu pro dan kontra,” kata Natalius.
Pada peristiwa Tolikara, 17 Juli 2015, sebanyak 38 rumah dan puluhan kios yang berada di sekitar sebuah musala di Kabupaten Tolikara, dibakar pada saat kegiatan salat Ied. Sebanyak 153 penduduk saat itu mengungsi.
“Kalau persoalan agama dipicu, bisa ada reaksi besar (di masyarakat), yang bisa memicu reaksi intoleransi di mana-mana (secara nasional).”
“Bayangkan, soal masjid Baiturrahman ini, hanya berita hoax saja hampir menggemparkan Indonesia. Bagaimana kalau ini benar-benar terjadi?” tanya Natalius.
Bisakah mencari penyebar informasi palsu?
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Papua, Tony Wanggai, menyebut konflik terkait renovasi masjid tidak akan terjadi jika komunikasi antara umat Islam dan Nasrani pada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Wamena, berjalan baik.
Ketua PGGJ, Abraham Ungirwalu, menyatakan dirinya tidak sempat membawa isu terkait masjid Baiturrahman, yang ternyata ‘palsu’ tersebut, ke FKUB, karena ‘situasi saat itu cukup tegang’.
“Aspirasi dari bawah cukup besar. Jadi, kami harus cepat. Ini tanggap darurat,” papar Abraham.
Namun, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jayawijaya, Sholehudin Saleh, yang juga merupakan bagian dari FKUB, membantah hal itu.
“Kita selalu rapat, bahkan sebelum FGGJ mengeluarkan aspirasinya, kita sudah bertemu. Dan dewan pembina sudah sarankan supaya jangan ada demo. Meski tidak ada demo, tetapi aspirasi tetap mereka sampaikan,” tandas Saleh.
Menurutnya, salah satu hal yang penting dilakukan adalah mencari siapa dibalik penyebar info palsu terkait pembangunan masjid tersebut.
Tetapi, hal itu dinilai Kapolres Jayawijaya, AKBP Semmy Ronny, ‘nyaris mustahil’ dilakukan.
“Karakter masyarakat Papua tak bisa disamakan dengan Jakarta. Di Papua ini rentan terhadap provokasi karena pemahaman hukum rendah, SDM rendah. Bahkan dari mulut ke mulut lebih cepat berkembang di papua, jadi sulit (untuk diusut),” tandasnya.
sumber:bbc.com