TOTABUAN.CO – Di kalangan kolektor batu akik, siapa yang tidak mengenal batu bacan? Batu akik khas Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Hanya dengan hitungan bulan, batu bacan sudah merambah ke luar negeri, khususnya Tiongkok.
Kepopuleran batu bacan atau yang juga dikenal dengan sebutan doko dan palamea, menjadi inspirasi bagi warga di beberapa kabupaten lain di Maluku Utara untuk mencari batu akik dari daerah masing-masing. Mereka tentu berharap batu-batu itu dapat juga dimasyurkan seperti layaknya batu bacan.
Salah satunya adalah Annisa Lakore, nenek asal Subaim, Sofifi Maluku Utara. Kelelahan terlihat dari wajah nenek Annisa yang penuh peluh saat ditemui di lokasi penjualan batu akik di Kelurahan Salero, Kota Ternate, Maluku Utara, pekan lalu.
Nenek berusia 62 itu baru saja turun dari mobil pikap, setelah menempuh perjalanan jauh dari lokasi pencarian batu akik, Kecamatan Subaim. Di mobil, Annisa tidak sendiri, ada tiga rekan yang juga perempuan ikut membawa belasan karung berisikan batu akik untuk dijual di Ternate.
Saat ditemui, nenek Annisa belum bersedia diwawancarai karena kelelahan serta waktu yang hampir menjelang malam. “Besok saja, cari saya di sini. Torang (kami) tidur di sini (lokasi penjualan batu) dan belum balik ke Subaim sebelum batu-batu ini laku terjual,” ujar dia.
Keesokan harinya, nenek Annisa sudah terlihat duduk sendiri di emperan lokasi penjualan batu akik. Dengan ramah dan senyum tipis, dia menerima kedatangan Kompas.com. Wawancara pun dimulai.
Nenek Nisa, –demikian biasa disapa, menuturkan, pekerjaan mencari dan menjual batu akik asal Subaim dilakoninya sejak tahun 2014. Meski berat untuk wanita seusianya, pekerjaan ini terpaksa dia lakukan demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Apalagi sejak ditinggal suami yang meninggal 10 tahun lalu, pekerjaan apapun dia lakukan, yang penting halal dan bisa membantunya bertahan hidup. “Dulu saya hanya bajual nasi jaha (nasi bambu). Usaha mencari batu tidak pernah terpikirkan. Saat itu saya melihat beberapa tetangga sering pulang dari kebun bawa karung dengan isi, terus saya tanya, ngoni (kalian) bawa apa dalam karung, mereka bilang itu batu,” kata dia.
“Terus mereka bilang, lagi lebih baik torang (kita) cari batu dari kampung sendiri siapa tau bisa terkenal seperti batu bacan,” kata Nisa lagi.
Sejak saat itu, aktivitas nenek Nisa mencari kayu bakar dan bambu untuk nasi jaha, ia tinggalkan. Dia lalu beralih menjadi pencari dan penjual batu akik. Beberapa jenis batu yang menurut warga setempat bernilai, mulai dikumpulkan.
Batu-batu ini dikumpulkan Nenek Nisa mulai dari halaman rumah hingga dari kebun. Beberapa hari mengumpulkan batu, tak ada satu pun pembeli dari luar yang berminat membeli batu akik milik Nenek Nisa. Rasa pesimistis menghantui pikirannya.
Ia hanya bisa menatap tumpukan batu akik yang dia kumpulkan di dapur serta dalam kamar. “Batu yang di kamar itu yang berwarna hijau,” kata dia sambil sesekali memperbaiki kerudungnya.
Kalau memang rezeki tidak akan ke mana, kata Nenek Nisa. Berselang bebarapa hari tiba-tiba ada pendatang dari Pulau Jawa yang dibawa seorang polisi, warga setempat, yang menghampiri rumahnya.
Pendatang itu melihat semua batu milik Nisa, namun yang dia hanya tertarik kepada bongkahan batu akik berwarna hijau. “Pendatang ini beli bongkahan batu warna hijau dengan harga Rp 1 juta,” ujar Nisa.
Tak henti-hentinya dia bersyukur atas nikmat Tuhan itu. “Allah tunjukkan dan memberi nikmat dari batu-batu ini,” ujar dia dengan mata berkaca-kaca.
Harga batu yang terjual begitu besar membuat semangat Nisa bangkit kembali. Bersama beberapa tetangga merea berpikir untuk membawa batu itu ke Ternate untuk dijual. Dar Kecamatan Subaim ditempuh perjalanan darat selama dua jam lebih menuju Kota Sofifi.
Selanjutnya dari Sofifi ditempuh dengan jalur laut menggunakan kapal Fery kurang lebih satu jam ke Ternate. Dalam sebulan, kata Nisa, mereka bisa empat kali ke Ternate.
Menurut dia, ada beberapa jenis batu akik asal Subaim, di antaranya corak loreng harimau, loreng baju tentara, jenis kuku bima, serta yang berwarna hijau seperti batu giok. Namun dari sekian jenis batu itu hanya batu berwana hijau yang banyak diminati.
“Yang paling banyak dicari dan sedikit mahal yaitu batu yang berwana hijau, tapi ini sudah susah dicari,” ujar dia.
Untuk batu berwarna hijau, Nisa mengaku harus menempuh jarak hingga lima kilometer dengan berjalan kaki untuk mencarinya. Di lokasi pencarian batu akik, mereka hanya menggali sedikit. Batu yang keluar dari permukaan tanah mereka sudah bisa prediksi jika batu tersebut berharga atau tidak.
Dalam sehari nenek Annisa mengaku hanya mampu membawa satu bahkan dua bongkahan batu, dengan satu bongkahan seberat 20 kilogram. Batu-batu itu disimpan dalam karung kemudian dipikul di tengah terik matahari sampai ke rumah.
Untuk batu dengan berat di atas 20 kilogram, dibelah menggunakan palu. “Kadang dalam sehari dua kali pigi cari batu. Jam 10 berangkat sampai jam 12 siang, abis itu pigi lagi sampai jam 3 sore. Kalau satu kali pigi cari batu kadang bawa bekal dari rumah,” tutur dia.
Meski kadang habis batu yang mereka jual di Ternate, namun hanya seberapa saja yang masuk kantong setelah dikurangi dengan biaya mobil pikap dari Subaim. “Hanya sekitar Rp 400.000 saja yang masuk kantong, karena biaya oto Rp 600.000 untuk satu orang,” ujar dia.
“Biar sedikit yang penting bisa bertahan hidup dan biayai anak cucu saya yang sementara duduk di bangku kelas 1 SD. Di rumah yang tinggal hanya saya dengan satu cucu. Tidak ada anak kandung, hanya satu anak angkat yang tinggal di luar Subaim,” kata Nisa.
Saat wawancara dengan Nisa, masih ada tersisa empat karung batu yang belum terjual. “Sisa batu ini torang akan jual di pasar, kalau habis hari ini, besok sudah bisa balik ke Subaim,” ujar dia.
sumber: kompas.com