TOTABUAN.CO – Mahkamah Konstitusi menguji ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dan Panglima TNI yang dimohonkan oleh Denny Indrayana.
“Para pemohon berpendapat ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 maupun Pasal 13 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, khusunya yang mengatur persetujuan dan pelibatan DPR dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dan Panglima TNI adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,” ujar kuasa hukum para pemohon Heru Widodo di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Kamis (5/2).
Selain Denny Indrayana, perkara ini juga dimohonkan oleh tiga pemohon lainnya yaitu Feri Amsari, Hifdzil Alim dan Ade Irawan.
“Pemohon menyatakan hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan akibat adanya keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri serta Panglima TNI,” kata Heru.
Para pemohon berpendapat bahwa campur tangan DPR tersebut telah membatasi hak prerogratif Presiden.
“Seharusnya konsisten dengan sistem presidensial itu, Presiden diberikan hak prerogratif untuk mengangkat dan memberhentikan personil pemerintahannya, tanpa harus mendapatkan persetujuan dari cabang kekuasaan lainnya,” tambah Heru.
Heru kemudian mengatakan bahwa campur tangan DPR tersebut merupakan salah satu bentuk pembatasan terhadap hak prerogratif Presiden yang kemudian bertentangan dengan sistem presidensial.
“Maka pembatasan itu hanya dapat dilakukan jika secara tegas diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945,” kata Heru.
Lebih lanjut Heru menambahkan bahwa permohonan uji materi terkait dengan perkara ini juga dilakukan untuk mencari solusi atas permasalahan pengangkatan Kapolri yang berstastus tersangka.
sumber: beritasatu.com