TOTABUAN.CO — Tangisan Gubenur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak saat menyampaikan sambutan resmi pada perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Pemprov Kaltim pada paripurna istimewa di Gedung DPRD Kaltim Kamis (8/1), mengundang banyak simpati publik Kaltim. Terutama mereka yang selama ini merindukan Otonomi Khusus (Otsus) demi kesejahteraan dan menunjang pembangunan di Benua Etam.
Namun tidak sedikit yang menganggapnya sebagai hal biasa. Terutama karena masih banyak persoalan dan agenda di daerah yang belum terselesaikan. Salah satunya datang dari sejumlah masyarakat adat Kaltim yang selama ini merindukan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Tanah Adat yang dijanjikan paling lambat disahkan akhir tahun lalu, namun masih terus kandas hingga sekarang.
Padahal, Raperda itu sangat mendesak sehingga terus dituntut masyarakat yang selama ini kian tergusur oleh sejumlah perusahaan baik yang bergerak di bidang pertambangan batu bara maupun perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya, Raperda itu sudah menjadi Raperda inisiatif di DPRD Kaltim namun belum jelas perkembangannya.
“Belakangan kami dapat kabar kalau Raperdanya lagi dipresentasikan di Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri). Tapi tidak jelas seperti apa perkembangannya. Kami hanya minta, kalau Pak Gubernur bisa menangis hanya karena Otsus yang tidak kunjung diberikan, lebih baik yang terkecil saja dulu diselesaikan. Percepat berikan persetujuan untuk pengesahan Raperda Tanah Adat, supaya bisa segera disahkan menjadi Perda. Tidak perlu terlalu lebay (berlebihan) deh,” ujar Erika Siluq, salah satu aktivis perjuangan Raperda Tanah Adat Kaltim, kepada Samarinda Pos, Jumat (9/1).
Menurutnya, untuk Raperda adat itu kuncinya tinggal di tangan Pemprov Kaltim, dalam hal ini Gubernur. Karena kabar yang mereka terima, untuk di DPRD Kaltim sudah tak ada masalah lagi. “Di Kemendagri juga kami yakin tidak akan ada masalah, kalau Gubernur sudah acc (setujui). Jadi kami tunggu tanggapan lebih lanjut dari Pak Gubernur,” tandasnya.
Pihaknya tutur Erika, sebenarnya sudah lama memperjuangkan ini. Bahkan sempat pula beberapa kali melakukan aksi unjuk rasa. Terakhir direspons DPRD Kaltim dengan Raperda inisiatif tersebut. Bahkan sempat pula ada perjanjian adat dengan simbol piring putih untuk mengikat berbagai pihak bahwa Raperda itu sudah harus disahkan paling lambat akhir tahun lalu.
Namun hingga tutup tahun pun ternyata tak juga ada kejelasan kabar. “Sementara persoalan ini sangat mendesak. Kenapa kami sebut mendesak, karena masyarakat adat saat ini semakin resah. Sementara di sisi lain, investasi terus berjalan sehingga masyarakat semakin terancam. Makanya perlu ada aturan berupa Perda Adat ini buat mengatur semuanya,” pungkas Erika.
sumber : jpnn.com