TOTABUAN.CO – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang kini berada di level Rp13.000an justru merupakan hal yang normal. Sebaliknya, nilai tukar pada tahun 2010-2011 yang pernah menyentuh angka kurang dari Rp9.000an adalah tidak normal.
Sekitar tahun 2008, nilai tukar rupiah sempat berada di atas Rp12.000. Penguatan menjadi kurang dari Rp9.000an pada dua tahun berikutnya adalah lantaran adanya program stimulus keuangan di Amerika Serikat.
“Kalau kita lihat Indonesia di tahun 2010-2012, kita merasa ekonomi Indonesia sangat baik. Itu sebenarnya karena inflow (aliran dana) masuk luar biasa besar. Kemudian ketika mulai dilakukan tahapan untuk mulai mengurangi, dan ini dimulai dengan hanya semacam statement dari Ben Bernanke (Gubernur The Fed) pada 2013 pertengahan, bahwa mereka sudah saatnya menyetop stimulus, maka langsung drop. Inflow di emerging market menjadi outflow,” papar Menkeu Bambang PS Brodjonegoro dalam pertemuan dengan pimpinan media massa di rumah dinasnya, Jalan Widya Chandra, Jakarta, Selasa (17/3/2015) malam.
“Kalau ditanya sekarang normal atau tidak normal, saya akan jawab, yang normal itu adalah yang sekarang, dan yang tidak normal ya di tahun-tahun itu. Karena kita bagus (saat itu) karena kucuran yang besar di emerging market, di mana kucuran itu membuat harga komoditas naiknya luar biasa,” urainya.
Pada tahun 2008 The Fed memutuskan mengucurkan stimulus yang dikenal dengan istilah quantitative easing (QE). Begitu QE dikucurkan, terjadi aliran dana masuk di emerging market dan berlangsung cukup lama. Imbasnya, harga komoditas merangkak naik. Sebaliknya, ketika QE tidak bisa lagi mendorong ekonomi global, harga komoditas terjun bebas. “Maka kita tidak heran tahun 2010-2012 kita merasa nothing is wrong with our economy,” imbuhnya.
Reformasi Perekonomian
Bambang menjelaskan, esensi paket kebijakan ekonomi yang dirilis pemerintah pada Senin 16 Maret lalu adalah reformasi struktural perekonomian. Pemerintah pun tidak akan berhenti hanya pada permasalahan melemahnya rupiah. Salah satu masalah yang disasar adalah defisit transaksi berjalan (current account deficit).
Bambang mencontohkan beberapa hal. Salah satunya kebijakan Menteri Perdagangan mewajibkan penggunaan L/C untuk ekspor empat sumber daya alam: batubara, hasil tambang, kelapa sawit, dan migas.
“Apa sih gunanya kita sibuk nyuruh orang pakai L/C? Ya supaya ketahuan kita ekspor itu berapa devisa yang masuk, dan itu berpengaruh secara langsung terhadap ketersediaan dolar,” jelas pria kelahiran Jakarta, 3 Oktober 1966 ini.
Intervensi BI
Mengenai desakan sejumlah pihak agar Bank Indonesia mengintervensi pasar untuk mencegah lebih dalamnya pelemahan rupiah, Bambang berpandangan sebaliknya. Ia mencontohkan kebijakan Rusia yang menguras cadangan devisa hingga mencapai USD80an miliar. “Tapi rubel malah terdepresiasi sampai 60%. Sudah intervensi habis-habisan, pakai cadangan devisa habis-habisan, mata uangnya terdepresiasi sampai 60%. Jadi ini pelajaran buat kita,” jelas Bambang.
Kenapa BI tidak intervensi lebih banyak? “Kalau itu kita lakukan, ini sama saja membawa ekonomi kita ke arah seperti Rusia. Sudah cadangan devisa drop, mata uangnya tidak selamat,” tandas pria bergelar profesor ini.
sumber: metrotvnews.com