TOTABUAN.CO — Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Reni Marlinawati mengecam keras adanya dugaan jual beli ijazah di perguruan tinggi dan meminta hal itu diusut tuntas.
“Saya mengecam keras adanya dugaan praktik jual beli Ijazah di sejumlah perguruan tinggi,” katanya dalam pernyataan yang disampaikan di Jakarta, Kamis (21/5/2015), menanggapi dugaan adanya praktik jual-beli ijazah sarjana (S1).
Kasus ini, kata dia, tentu melanggar ketentuan dalam UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi seperti di Pasal Pasal 28 ayat (6) dan (7), Pasal 42 ayat (3), Pasal 44 ayat (4). Ancaman pidananya penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp1 miliar. “Saya mendesak Menteri Ristek dan Dikti segera berkoordinasi dengan aparat penegak hukum terkait aduan yang diterima di Kementerian Ristek dan Dikti atas praktik jual beli ijazah S-1 tersebut,” katanya.
Aparat kepolisian agar mengusut tuntas praktik kriminal ini yang jauh dari nilai-nilai keilmuan. “Dalam kasus jual beli ijazah ini juga patut dipertanyakan peran Kemendikti dalam melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap perguruan tinggi sebagaimana amanat Pasal 7 ayat (2) UU No 12 Tahun 2012.
Kementerian Dikti paska dipisah dari Kementerian Pendididkan Dasar Menengah di Kabinet Kerja ini semestinya jauh lebih fokus dalam mengelola perguruan tinggi (PT). “Kasus ini justru menunjukkan pemisahan dua kementerian itu belum memberi dampak positif nyata bagi publik,” katanya.
Sebelumnya, Menristek dan Dikti Mohamad Nasir menyatakan, pihaknya segera menutup sejumlah perguruan tinggi yang diketahui melakukan transaksi jual-beli ijazah dan mengeluarkan ijazah palsu, menyusul adanya pengaduan masyarakat terhadap praktik yang dilakukan perguruan tinggi tersebut.
“Saya segera mencabut izin dan menutup perguruan tinggi yang melakukan transaksi jual-beli ijazah dan mengeluarkan ijazah palsu,” kata Menristek Dikti Mohamad Nasir kepada wartawan di Jakarta, Minggu 17 Mei.
Menteri Nasir mengungkapkan hal itu untuk menyikapi pengaduan masyarakat yang masuk ke Kemenristek Dikti. Berdasarkan pengaduan tersebut ada sekitar 18 perguruan tinggi yang melakukan praktik transaksi jual-beli ijazah dan mengeluarkan ijazah palsu. Ke-18 perguruan tinggi tersebut terdapat di wilayah Jabodetabek dan di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Salah satu perguruan tinggi yang melakukan praktik jual-beli ijazah ada di Bekasi. Perguruan tinggi itu memberikan ijazah sarjana (S1) kepada lulusannya tanpa mengikuti proses perkuliahan yang lazim dilakukan oleh sebuah perguruan tinggi. “Bahkan mahasiswa hanya mengikuti kuliah setahun dua tahun sudah bisa memperoleh ijazah sarjana S1 dengan membayar sejumlah uang,” tulis pengaduan tersebut.
Berdasarkan pengaduan tersebut, ada beberapa perguruan tinggi di wilayah Jabodetabek yang mengeluarkan ijazah palsu untuk lulusan sarjana. “Ijazah palsu adalah ijazah yang diberikan kepada para lulusannya tanpa perlu mengikuti proses perkuliahan yang lazim,” ujar Menteri Nasir tanpa menyebut nama perguruan tinggi yang dimaksud karena sedang diinvestigasi oleh Tim dari Kemenristek Dikti.
Sementara di Kupang, berdasarkan pengaduan, ijazah sarjana S1 para lulusan salah satu perguruan tinggi di Kupang tidak diakui. Hal ini terjadi karena ijazah sarjana tersebut ditandatangani oleh rektor yang gelar doktornya dinilai tidak sah.
Rektor universitas di Kupang itu mengaku memperoleh gelar doktor (S3) dari Berkeley University di Jakarta yang merupakan cabang dari Amerika Serikat (AS). Padahal yang di AS dikenal dengan nama University of California, Berkeley. Setelah diteliti, universitas tersebut (Berkeley University Cabang Jakarta) ternyata tidak pernah ada di Jakarta. “Jangankan gelar doktor yang tidak sah, bila ada guru besar yang melakukan plagiasi, maka gelar guru besarnya langsung saya cabut,” kata Menteri Nasir.
Sikap tegas ini, menurut Menteri Nasir, diterapkannya dalam rangka merealisasikan program peningkatan kualitas dosen.
sumber : okezone.com