TOTABUAN.CO – Penangkapan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta M Sanusi dan Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja oleh KPK, dalam kasus dugaan suap sebesar Rp2 miliar terkait izin reklamasi Teluk Jakarta membuka kembali kontroversi mengenai proyek tersebut.
Izin reklamasi Pulau G yang sudah keluar kini tengah menjadi subjek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta oleh beberapa nelayan dari Muara Angke, Jakarta Utara.
Menurut Saepudin, nelayan yang setiap hari mencari ikan di sana, proyek reklamasi yang dikerjakan oleh PT Muara Wisesa Samudera, anak perusahaan PT Agung Podomoro Land, membuatnya susah mencari ikan dan mengurangi pemasukannya.
Menanggapi penangkapan KPK tersebut, Saepudin mengatakan, “Jadi akhirnya masyarakat Muara Angke, khususnya nelayan, jadi tahu semua, tadinya pada awam semua. Mudah-mudah Pulau D dan E ini bisa digugat juga, kalau Pulau G kan sudah.”
“Saya dan kawan-kawan sih inginnya dihentikan (reklamasi), dilihat lah, dampak lingkungannya,” kata Saepudin, Minggu.
Dalam pernyataan persnya, KPK menyatakan kasus ini diduga terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.
Meski begitu, Ketua KPK Agus Rahardjo, dalam pernyataan pers yang sama sudah menyatakan, penangkapan ini tak mengubah status reklamasi.
“Ya kalau reklamasi akan dihentikan, itu pasti keputusan pengadilan, jadi kita jangan mendahului dulu, faktanya nanti kita ungkap di pengadilan,” kata Agus.
Kemarin, terkait penangkapan M Sanusi dan Ariesman, KPK sudah mencegah pemimpin PT Agung Sedayu Group, Aguan Susanto, untuk keluar negeri.
Sementara itu, pembela hukum nelayan Muara Angke, Martin Hadiwinata, sepakat, bahwa dampak penangkapan ini terhadap reklamasi masih harus ditunggu.
Meski begitu, dia berharap, perkembangan kasus bisa menjadi pertimbangan atau bukti baru bagi hakim di PTUN terhadap gugatan izin reklamasi.
Menurut Martin, raperda yang menjadi pokok pembahasan dalam penangkapan KPK adalah dasar dilakukannya reklamasi.
“Jadi ketika tidak ada raperda ini, maka harusnya tidak bisa terbit izin reklamasi. Dan izin reklamasi telah terbit, raperdanya baru dibahas. Harusnya aturannya ada dulu, baru bisa dilakukan (reklamasi),” kata Martin.
Tetapi, Ibnu Akhyat, kuasa hukum yang mewakili PT Muara Wisesa Samudera, anak perusahaan PT Agung Podomoro Land yang melakukan reklamasi, mengatakan kasus yang kini ditangani KPK tak berhubungan dengan yang kini sedang digugat di PTUN.
“KPK dengan PTUN berbeda, KPK masalah korupsi, PTUN masalah SK-nya. Kalau memang ada salah, kan PTUN yang menilai, ‘oh ini tidak sesuai dengan perundang-undangan, tidak sesuai syarat administratifnya’, dia (PTUN) yang akan membatalkan,” kata Ibnu.
Selain itu, Ibnu mengatakan bahwa persyaratan yang diminta oleh Pemprov DKI Jakarta terkait surat keputusan gubernur yang memberi izin reklamasi, termasuk AMDAL, sudah dipenuhi oleh PT Muara Wisesa Samudera.
“Kalaupun ada yang menurut mereka (penggugat) salah, ya itu kan versi mereka. Makanya diuji keabsahan dari surat keputusan tersebut kan, di PTUN,” ujarnya.
Kepada media, Sabtu (02/04), Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sudah menyatakan bahwa Pemprov DKI Jakarta masih akan terus melanjutkan reklamasi berdasarkan Keppres No. 52 Tahun 1995 dan izin reklamasi dari Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 yang keluar pada 23 Desember 2014.