TOTABUAN.CO — Sedikit membingungkan memang, saat menyusuri lorong dan tangga Masjid Tiban di Malang, jika tanpa perhatian pada papan petunjuk yang terpasang.
Hampir tidak ditemukan petugas khusus yang bisa dimintai keterangan, kecuali sesama pengunjung dan beberapa orang yang sedang bekerja.
Ketika memasuki lantai keempat, Merdeka.com melihat seorang pria yang sedang asyik membersihkan lantai dan perabotan rumah tangga. Pria dengan rambut panjang dan berpeci haji itu langsung menjawab salam begitu disapa, sambil mengecilkan volume musik dari handphonenya.
“Maaf tangan saya kotor mas,” katanya sambil membungkukkan badan menolak diajak berjabat tangan karena merasa kotor setelah bergelut dengan debu beberapa waktu lalu.
Selama obrolan pria tersebut mengenalkan diri sebagai Rudy Najadilaga asal Jakarta, yang sudah setahun menjalani riadloh di Masjid Tiban atau tepatnya di Pondok Pesantren Salafiah Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah.
Riadloh adalah istilah untuk sebuah pengabdian diri mencari ridlo Allah semata dengan melakukan sejumlah pekerjaan.
Segala kegiatan yang dilakukan Rudy dengan dasar keikhlasan tanpa dibayar untuk mendekatkan diri sebagai ibadah. Dia sehari-hari membersihkan ruangan-ruangan berikut perabotnya dari kotoran dan debu.
Setelah bicara, ternyata Rudy mengaku dulu merupakan seorang fotografer sebuah majalah SWA di Jakarta. Namun bagi Rudy, profesinya itu masa lalu yang sudah ditinggalkan.
Dari obrolan Rudy seolah tidak bisa lepas dari ketertarikan pada dunia fotografi. Dia sempat menanyakan jenis kamera dan hasil jepretan kamera yang digunakan. “Ini kamerannya sudah digital ya, kalau saya dulu banyak pakai analog,” katanya.
Rudy mengaku menjalani riadloh tetap, yakni dengan tinggal di Masjid Tiban. Dia menempati salah satu ruangan di masjid tersebut, namun belum berstatus sebagai santri tetap.
Seperti hari itu, dia membawa alat pembersih dan sapu. Tangannya terampil menyusuri lipatan-lipatan sofa, sambil bergerak menyapu lantai. “Setelah saya lulus, terima-terima pekerjaan memotret. Sering mendapatkan pekerjaan besar, sebelum kemudian bergabung dengan SWA. Kan ada SWA terus Infobank gitu,” katanya berusaha menjelaskan.
Rudy mengaku sudah meninggalkan dunianya yang lalu. Dia tidak pernah lagi akses internet. Namun masih mendengarkan musik dari handphone yang selalu menempel di pinggangnya. “Kalau mendengarkan musik dari HP, download musik-musik gitu masih,” katanya.
Ia menceritakan kalau awal mula mengenal Pondok Pesantren Salafiah Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah dari keluarganya. Dia beberapa kali sempat menghubungi keluarganya untuk pulang, namun saat keluarganya tidak mempersilakan pulang dirinya tidak akan pulang.
Rudy menceritakan kalau tangga menuju lantai sepuluh yang bisa ditempuh dari berbagai jalan. Dia mengibaratkan sebuah tokoh kartun yang berjalan sambil meninggalkan barangnya agar bisa kembali pulang. “Memang bisa membingungkan, tapi ikuti saja petunjuknya,” katanya.
Rudy adalah satu dari sekian santri atau jamaah yang ikhlas menjalani riadloh. Mereka pun membantah kalau pesantren Masjid Tiban dibangun oleh jin, karena mereka inilah yang hingga sekarang terus membangun dan menghidupkan peninggalan KH Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al-Mahbub Rahmat Alam itu.
sumber : merdeka.com