TOTABUAN.CO–Banyak kisah menarik soal Serangan Umum 1 Maret 1949. Tak cuma soal peperangan semata. Tapi juga soal gambaran bagaimana kondisi TNI yang serba kekurangan saat itu.
Indonesia yang baru merdeka tak punya cukup dana membangun angkatan perangnya. Senjata yang mereka miliki kebanyakan senjata rampasan dari Jepang. Begitu juga soal seragam.
Jangan harap ada seperti sekarang. TNI punya pakaian dinas upacara I dan II, pakaian dinas harian dan pakaian dinas lapangan.
Tahun 1949 tercatat seragam TNI masih beraneka warna sesuai kain yang ada. Ada yang hijau, hitam dan putih. Kancing dibuat dari tempurung kelapa atau tanduk. Seragam itu digunakan hanya saat parade atau upacara besar. Maklum itulah seragam mereka satu-satunya.
Karena itu di kalangan TNI ada istilah ‘Tokji Biji’ atau katok siji kelambi siji yang artinya baju satu, celana satu. Demikian ditulis dalam Buku Serangan Umum 1 Maret 1949 terbitan PT Citra Lamtoro Gung Persada tahun 1989.
Saat gerilya atau bertempur, mereka tak menggunakan seragam itu. Tapi baju layaknya rakyat biasa. Ada yang hanya berkaos oblong dengan sarung, ada yang telanjang dada. Karena itu Belanda sulit membedakan mana anggota TNI, mana rakyat. Ini malah menguntungkan TNI yang berperang secara gerilya.
Soal penutup kepala juga tak seragam. Ada yang pakai baret, helm rampasan Jepang atau pakai ikat batik. Apa saja yang mereka punya.
“Sepatu hanya digunakan saat upacara dan parade. Saat operasi sebagian besar tidak menggunakan sepatu,” demikian informasi dari para pelaku serangan umum 1 Maret.
Yang lebih memprihatinkan soal senjata. Rasio senjata antara anggota TNI dan jumlah senjata mencapai lima banding satu. Artinya hanya ada sepucuk senjata untuk lima serdadu.
Namun dengan segala keterbatasan itu, TNI terbukti mampu menggelar Serangan Umum 1 Maret 1949 dan membuat tentara Belanda yang bersenjata lengkap kebingungan.
sumber:merdeka.com