TOTABUAN.CO – “Itu rumahnya yang tadi saya ceritakan,” kata U, mucikari sekaligus jawara kampung Saradan, Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang, Jawa Barat, menunjuk sebuah rumah seorang perempuan yang dijadikan bini kedua seorang bos asal Bandung. Itu dikatakannya saat ditanya soal banyaknya gadis Kampung Saradan dijadikan bini kedua oleh lelaki dari kota.
Kebetulan di garasi rumah perempuan berinisial OA yang ditunjuk mucikari itu terdapat mobil jenis Jimmy Jeep hijau. Perempuan pemilik rumah itu dinikahi seorang kontraktor asal Bandung saat masih gadis, berumur 16 tahun melalui perantara U. Kini perempuan itu berusia 18 tahun dan punya seorang anak.
Menurut U, si kontraktor menikahi OA lantaran kepincut pesonanya. Saking ngebetnya menikahi si gadis, kontraktor itu bersedia menikah dengan memberikan uang nikah tak begitu banyak, hanya sekitar 10 juta. Sebagai imbalan, U dijanjikan bakal diberikan sepeda motor jika ia menikah dengan kontraktor itu.
“Sumpah demi Allah, ini STNK-nya ada, motornya ada di rumah. Dia janji kepada saya,” katanya.
Nikah murah dengan biaya terjangkau memang sudah dikenal bagi warga Saradan. Seperti diceritakan oleh U, jika dia sudah menjadi perantara menikah para pengusaha dengan empat gadis di kampungnya. Syaratnya mudah, jika lelaki berminat dengan gadis di kampungnya, uang buat nikah tak perlu banyak. “Tergantung kemampuannya berapa, bisa Rp 2 juta,” tuturnya.
Sebagai jaminan, gadis di kampungnya tidak bakal main-main, U membuat surat di atas materai antara keluarga wanita dan lelaki calon suaminya. Selain itu saban hari, U memperhatikan tingkah laku wanita yang sudah menjadi istri kedua tersebut. Jika macam-macam, U sebagai jaminan. Dia bakal menegur dan melapor kepada suaminya.
“Pernah kejadian, kalau ceweknya main-main uang nikah dan biaya hidup bisa dikembalikan,” ujar U bercerita. Kejadian itu pernah dialami oleh Toke dari Jakarta, dia menuntut istrinya karena selingkuh. Atas kesepakatan di kantor kepala desa, uang Toke untuk biaya istrinya balik lagi. “Sekitar Rp 70 juta,” katanya.
Bukan rahasia umum memang, jika gadis Kampung Saradan merupakan istri kedua dari lelaki asal kota. Saban bulan, suaminya bakal melongok dua kali ke kampung sekaligus memberi uang makan. Jatah setiap bulan pun tak begitu mahal, paling gede buat biaya hidup di kampung Rp 1 juta.
Biaya itu juga sesuai dengan kesepakatan antara gadis yang dinikahi dengan suaminya. Jika jatah bulanan kurang, jangan kaget jika wanita di Kampung Saradan main serong atau bahkan jual diri.
Y, seorang pelacur berumur 16 tahun geleng-geleng kepala ketika ditanya mau di jadikan istri. Dia tak mau lantaran jika jadi istri kedua terlalu makan hati. “Ogah ah makan ati,” kata Y sambil mengepulkan asap rokok.
Dia pun tak menyangkal jika temannya juga ada yang jadi janda lantaran pernah dijadikan istri kedua oleh pengusaha. “Enggak sudi,” ujarnya sambil ketawa genit.
Apa yang diceritakan oleh U dan Y memang demikian adanya. Banyak gadis di Kampung Saradan menyandang status janda muda. Usianya paling tua 23 tahun. Janda-janda itu juga kini menjadi pelacur di cafe menunggu panggilan para pemburu syahwat di Kota Subang.
U berujar, jika ukuran pelacur di kampungnya memang terbilang tua jika masuk usia 20 tahun ke atas. Dia pun mampu menyediakan janda sudah nikah dua sampai tiga kali dengan lelaki baik dari Jakarta maupun Bandung.
“Mau yang kaya gimana juga ada, tapi kalau di sini usianya rata-rata 16 sampai 17 tahun,” ujarnya. “Kalau mau yang janda ayo kita pindah cafe,” katanya menawarkan.
sumber: merdeka.com