TOTABUAN.CO-Direktur Eksekutif Institute of Defense and Security Studies, Connie Rahakundini, menyatakan proyek pesawat tempur Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X) akan berdampak positif bagi pertahanan Republik Indonesia, jika berhasil.
“Dampaknya pasti positif jika Indonesia mampu membangun industri pesawat tempur. Tapi kekhawatiran saya, industri pertahanan ini sekadar euforia. Tak dipikirkan lebih matang dan tidak dibarengi dengan perubahan strategi dan doktrin pertahanan,” kata Connie.
Analis pertahanan dan militer Universitas Indonesia itu mengkritik strategi dan doktrin pertahanan Indonesia yang sampai saat ini terkesan masih inward looking, sehingga terlihat belum selaras dengan langkah dan tujuan negara mengembangkan industri pesawat tempur.
“Jika ingin membangun industri pertahanan, khususnya Angkatan Udara dan Angkatan Laut, Indonesia perlu mengubah orientasi pertahanannya. Tak masuk akal membangun industri pesawat tempur, tapi armada Angkatan Udara Indonesia masih kecil seperti sekarang ini,” ujar Connie.
Strategi pertahanan yang cenderung indward looking itu, kata penulis buku ‘Pertahanan Indonesia dan Postur TNI Ideal’ itu, mesti diubah menjadi outward looking. Terlebih Indonesia kini memiliki visi menjadi poros maritim dunia.
Doktrin pertahanan, kata Connie, juga harus diganti dari defensif aktif menjadi ofensif pasif. “Jadi jauh sebelum musuh masuk dan mengancam, Indonesia sudah bisa men-deter (menggentarkan) ‘musuh-musuhnya’ untuk tidak berani macam-macam.”
Dengan doktrin ofensif aktif, ujar Connie, Angkatan Laut dan Angkatan Udara mesti mampu mengawasi dua samudra yang memagari Indonesia, Pasifik dan Hindia. AL, kata Connie, juga harus dibangun menjadi green-water navy yang berjaga di zona litoral negaranya sekaligus memiliki kompetensi untuk beroperasi di lautan terbuka sekeliling negaranya.
Andai KF-X/IF-X berhasil, ujar Connie, jet itu memang dapat menimbulkan efek gentar (deterrence effect). Efek itu bisa terjadi jika transfer teknologi pesawat tempur sungguh terjadi sehingga Indonesia nantinya mampu mengembangkan teknologi jet tempur secara mandiri.
Soal transfer teknologi ini, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan akan terus memantaunya. “Bulan ini mau saya cek. Saya mau tahu langsung. Transfer teknologi harus berjalan sampai Indonesia mampu membuat (pesawat tempur) sendiri.”
Awal tahun ini, 7 Januari, Indonesia dan Korea Selatan menandatangani kontrak kesepakatan berbagi biaya (cost share agreement) untuk proyek fase kedua KF-X/IF-X, yakni pembuatan prototipe pesawat.
Untuk penggarapan prototipe itu, PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dengan Korea Aerospace Industries (KAI) juga meneken kesepakatan pembagian kerja (work assignment agreement) dengan skema business to business yang menyertakan kesepakatan transfer teknologi.
Proyek pembuatan KF-X/IF-X dibagi menjadi tiga fase, yakni pengembangan teknologi (technology development), pengembangan rekayasa manufaktur atau pembuatan prototipe (engineering manufacturing development), dan terakhir proses produksi massal.
KF-X/IF-X hendak diwujudkan menjadi jet tempur generasi 4,5 yang mengadopsi teknik geometri pesawat siluman generasi 5. KF-X/IF-X dirancang bakal lebih hebat dari Dassault Rafale asal Perancis, Eurofighter Typhoon buatan konsorsium Eropa, dan F-16 Fighting Falcon produksi AS, serta setara dengan Sukhoi Su-35 buatan Rusia.
Connie mengingatkan, penguatan industri pertahanan Indonesia mesti didukung oleh komitmen dan kontinuitas pemerintah, siapapun presidennya, termasuk dalam hal riset teknologi.
Pengembangan pesawat tempur, menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan RI Anne Kusmayati, merupakan satu dari tujuh program nasional untuk membangun kemandirian industri pertahanan yang telah ditetapkan oleh Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP).
Ketujuh program nasional itu ialah pengembangan jet tempur KF-X/IF-X, pembangunan kapal selam, pembangunan industri propelan, pengembangan roket, pengembangan rudal, pengembangan radar, dan pengembangan tank sedang serta berat.
KKIP ialah merupakan komite yang mewakili pemerintah RI untuk mengoordikasikan kebijakan nasional dalam perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi industri pertahanan. KKIP diketuai langsung oleh Presiden.
KKIP dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2013 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Melalui KKIP, Indonesia hendak membangun pertahanan negara yang kuat, maju, dan mandiri melalui dukungan industri pertahanan dalam negeri yang tangguh.
Sumber:cnnindonesia.com