TOTABUAN.CO – Partai Golkar tengah berjuang agar bisa mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di tengah badai kisruh dualisme kepemimpinan. Pengamat politik Ray Rangkuti mengungkapkan, ada 3 skenario jika partai berlambang pohon beringin itu ingin andil dalam pesta demokrasi Desember mendatang.
“Saya pikir ada 3 skenario islah agar Golkar bisa mengikuti Pilkada serentak,” ucap Ray dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/5/2015).
Skenario pertama yakni manyandarkan pada putusan PTUN yang mengembalikan kepengurusan Golkar dari hasil Munas Riau 2009 lalu. Namun opsi itu lemah karena ada upaya banding dari kubu Agung Laksono ataa putusan tersebut.
Selain itu, lanjut Ray, kepengurusan lama yang dipimpin Aburizal Bakrie dan Agung Laksono itu harus mendaftarkan ulang ke Kemenkumham. Karena demisioner yang dilakukan di Munas Bali dan Ancol 2014 lalu secara otomatis telah menghapus daftar kepengurusan lama Partai Golkar di Kemenkumham.
“Kemudian tidak adanya masa bakti yang jelas juga bisa menyalahi AD/ART karena melebihi 5 tahun sesuai yang ditentukan. Kecuali kalau sepakat merubah AD/ART, dan itu harus melalui Munas. Tidak bisa melalui pengadilan,” papar dia.
Direktur Lintas Madani untuk Indonesia (Lima) ini juga mengatakan pengadilan seharusnya tidak bisa mengembalikan kepengurusan lama. Itu dinilainya sama saja mengobok-obok kewenangan partai politik. Dan semua permasalahan internal seharusnya diselesaikan di Mahkamah Partai (MP).
Skenario kedua adalah dengan cara membentuk kepengurusan baru hasil kesepakatan kedua kubu. Namun masalahnya, mandat apa yang akan digunakan Ical dan Agung di luar Munas Bali dan Ancol untuk mendaftar ke Kemenkumham.
‘Kalau ini dilakukan, menurut saya secara tidak langsung Golkar siap melegitimasi kerusakan di internal mereka. Kecuali mereka membuat Munas baru dan membentuk kepengurusan baru. Namun justru akan memakan waktu lebih banyak,” tambah Ray.
Ray kemudian memberikan opsi skenario yang ketiga. Ical harus mempunyai kebesaran hati untuk sementara mengakui kepengurusan Agung. Sikap itu perlu dilakukan dalam konteks menyambut Pilkada sampai ada kesepakatan Munas baru.
“Jadi kepengurusan yang harus diakui adalah Agung Laksono berdasarkan SK Kemenkumham. Meski SK dijatuhkan di PTUN, tapi karena kini tengah ada upaya banding, maka proses hukum tetap berlanjut,” jelasnya.
Jadi di skenario ketiga ini Golkar harus menggunakan administrasi kepengurusan Agung untuk memuluskan pendaftaran calon-calon mereka dalam Pilkada. Dengan catatan untuk Ical agar menekankan bahwa 2016 harus dilakukan Munas baru untuk memilih ketua baru.
Langkah tersebut sejatinya merupakan islah untuk menyelesaikan kisruh dualisme kepemimpinan di tubuh Golkar.
“Itu substansi yang menurut saya paling realistis. Tapi kalau ini tidak disepakati dan deadlock, maka tidak menutup kemungkinan akan ada banyak eksodus kader-kader terbaik Golkar pindah ke partai lain untuk maju sebagai kepala daerah,” demikian Ray.
sumber: liputan6.com