TOTABUAN.CO KOTAMOBAGU — Pemerintah kota Kotamobagu hingga kini terus mengantisipasi alih fungsi lahan menjadi pemukiman. Hal ini dilakukan guna mempertahankan, luas lahan pertanian yang kian hari kian sempit.
Kepala Badan Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Pertanakan (BP4K) mencatat, untuk lahan pertanian sawah, di Kotamobagu tinggal 1.725 hektar. Luas lahan tersebut sudah sebagian besar sudah beralih fungsi menjadi pemukiman warga pasca Kotamobagu menjadi daerah otonom.
“Nah ini yang kita kuatirkan. Memang dampak dari sebuah kota harus begitu. Akan tetapi harus ada langkah antisipasi yang harus dilakukan, guna pencegahan alih fungsi lahan” kata Kepala BP4K Kotamobagu Hardy Mokodompit.
Dia mengatakan dari total luas lahan 3.200 hektar, itu sudah mencakup secara keseluruhan. Namun masih lebih luas adalah lahan persawahan yakni 1.725 hektar dan masih produktif. Sisanya adalah lahan, palawija, perkebunan cokelat, kelapa dan perkebunan tahunan lainnya.
Kekuatiran pemerintah, karena kebanyakan lahan persawahan yang ada di Kotamobagu banyak dilirik untuk dijadikan investasi properti. Ini karena lahan masih berada di tengah kota dan masih strategis. Namun lanjut Hardy, hal ini masih dipertimbangkan lagi mengingat, luas lahan yang dimiliki Kotamobagu sudah kecil.
“Bayangkan, ada pengusaha yang menawarkan lahan 15 hektar untuk dijadikan perumahan. Tapi masih dipertimbangkan. Sebab kalau berbicara lahan, paling bnyak lahan pertanian. Pemerintah akan tegas termasuk ijin mendirikan bangunan. Kalau lahannya merupakan lahan persawahan, tentu itu tidak akan diberikan,” tutur Hardy.
Namun meski demikian, jika rencana penggabungan dan perluasana wilayah yakni Kecamatan Passi dan Lolayan akan masuk Kotamobagu, tentu RTRW akan disesuaikan lagi. (Has)