TOTABUAN.CO KOTAMOBAGU – Polemik Tenaga Harian Lepas (THL) di Dinas Satpol PP dan Damkar ditanggapi DPRD Kota Kotamobagu.
Melalui rapat dengar pendapat (RDP) bersama lintas Komisi, ada beberapa poin yang menjadi masukan bagi pemerintah untuk penyelesaian pelemik tersebut soal anggota Satpol PP wajibkan Salat di Masjid tertentu.
Wakil Ketua DPRD Kotamonagu Syarif Mokodongan mengatakan,, setelah rapat dengar pendapat (RDP), ternyata hanya diseabkan munculnya kebijakan yang diterapkan di dinas tersebut yang mewajibkan para anggota Satpol PP wajib Salat di masjid tertentu.
“Ternyata bukan persoalan anggota Satpoll menolak untuk Salat. Tetapi ini persoalan kebijakan yang diterapkan di dinas tersebut. Setiap anggota Satpol PP diwajibkan Salat di Masjid Agung Baitul Makmur. Ini yang menjadi persoalan. Bukan memprotes dan atau menolak Salat,” ucap Wakil Ketua DPRD Kotamobagu Syarif Mokodongan.
Politisi dari Fraksi Nasdem ini menegaskan, persoalan Salat biarlah itu menjadi hak antara hamba dengan Tuhan-nya. Tetapi kebijakan yang diterapkan itu dinilai telah merampas hak asasi orang untuk memilih Masjid di mana mereka akan melaksanakan ibadah.
“Harusnya jika ingin membuat kebijakan, harus disertai dengan kesejahteraan itu baru cocok,” tegasnya.
Anggota DPRD dari Fraksi PDI Perjuangan Begie Chandra Gobel, menambahkan, dari hasil RDP yang dihadiri Sekretaris Daerah Sande Dodo, Asisten I Teddy Makalalag, Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Sarida Mokoginta, dan Dinas Pol PP dan Damkar, ada beberapa poin yang menjadi masukan.
Kader PAN ini mengatakan, mempersilahkan pihak eksekutif melakukan pendalaman terksit dengan polemic antara pimpinan Pol PP dan anggotanya yang sempat melakukan aksi demo di kantor DPRD.
Begie berharap agar polemik ini tidak membias dan tetap menjaga unsur obyektivitas.
Dalam RDP itu DPRD memberikan masukan. Yakni selama proses pendalaman, kendali komando operasional Pol PP dan Damkar agar ditangani langsung keasistenan yang membidangi itu untuk menjaga obyektivitas.
DPRD mendesak jika ada kebijakan tertulis atau tidak tertulis tentang Salat yang mempersyaratkan absensi, pomotongan gaji 1 persen jika tidak melaksanakan Salat di Mesjid yang sdh ditentukan baik waktu Magrib Isya Subuh untuk mereka yang off kerja/piket sekalipun atau dalam tugas agar dievaluasi lagi. Terutama yang off piket mereka punya hak beribadah di Mesjid terdekat.
Hal itu perlu dipahami sehingga tidak ada kesan anggota Pol PP dan Damkar tidak mau Salat atau tidak mau ikut ajakan kebaikan.
DPRD juga mendesak Pemkot untuk segera menerbitkan SK mereka dalam tupoksi Pol PP dan Damkar. Hal itu menjadi dasar administrasi hukum mereka dalam bekerja dan bertindak. Hal ini juga demi menjaga jika sewaktu-waktu terjadi bentrok di lapangan atau ketidaksengajaan petugas Damkar di lapangan.
“Ternyataa anggota Sat Pol PP belum dilandasai dengan SK. Lantas jika terjadi sesuatu, siapa yang bertanggungjawab. Sementara mereka dituntu untuk bertugas dan memenuhi kebijkana yang diteraokan,” ucapnya.
Jika benar ada semacam aturan tak tertulis soal tidak boleh izin sakit kecuali sakit kanker dan jantung agar dievaluasi lagi pun itu hanya disampaikan secara lisan.
“Di institusi manapun jika sakit dan ada surat keterangan dokter adalah hak dari karyawan atau pegawai juga tenaga honorer. Jika ada reaksi seperti ini, pemkot bahkan pimpinan daerah harus melakukan rektrukrisasi diagnosa di tubuh dinas tersebut.
Untuk anggota Satpol PP dan Damkar yang menyampaikan aspirasi perlu dilindungi jangan ada penekanan penonaktifan apalagi pemecatan. Sebab rata-rata anggota Satpoll sudah mengabdi lebih dari 7 tahun bahkan 10 tahun dengan gaji yang juga tak seberapa.
DPRD meminta agar mewaspadai dan memonitor sosial media yang memanfaatkan isu agama tanpa mengetahui substansi aspirasi yang disampaikan anggota Satpol PP dan Damkar sehingga ini tidak menjadi liar dan dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab. (*)