TOTABUAN.CO KOTAMOBAGU — Di balik tembok tinggi Rutan Kelas II B Kotamobagu, tersimpan dugaan praktik bisnis gelap yang mencengangkan. Tempat yang seharusnya menjadi wadah pembinaan bagi para narapidana, justru diduga disulap menjadi “ladang uang” oleh oknum pegawai melalui penyediaan telepon genggam (HP) berbayar untuk warga binaan.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, bisnis ilegal ini dijalankan oleh oknum pegawai Rutan yang memanfaatkan kondisi over kapasitas untuk meraup keuntungan pribadi.
Secara ideal, Rutan Kotamobagu hanya mampu menampung 149 narapidana, namun faktanya kini dihuni lebih dari 450 orang. Kondisi sesak ini menciptakan celah bagi munculnya berbagai praktik pungli dan transaksi gelap di balik jeruji.
Sumber internal mengungkap, di dalam Rutan telah beroperasi sekitar 10 unit handphone berbagai merek yang disediakan khusus untuk para narapidana.
Dengan sistem seperti warung telekomunikasi (wartel), setiap napi dikenakan tarif Rp10.000 per lima menit untuk menelepon keluarga atau kerabat di luar penjara.
Artinya, untuk percakapan 30 menit, napi harus membayar Rp30.000. Jika 10 HP digunakan bersamaan, pemasukan bisa mencapai Rp300.000 hanya dalam waktu setengah jam. Dalam satu hari, bisnis ini bisa menghasilkan jutaan rupiah, dan dalam sebulan nilainya diduga menembus puluhan juta rupiah.
“Uang yang terkumpul itu sebagian dipakai beli pulsa data, tapi sisanya dikemanakan? Kalau benar sampai puluhan juta per bulan, berarti ada sistem bisnis terselubung di baliknya,” ungkap salah satu narapidana yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Kepala Rutan Kelas II B Kotamobagu, Aris Yuliyanta, melalui Humas Rutan Ilham Lahiya, saat dikonfirmasi membenarkan adanya fasilitas “wartel” dan penerapan tarif tersebut. Namun, pihaknya membantah keras tudingan adanya praktik pungli.
Ilham beralasan, biaya yang dibayarkan narapidana akan dikembalikan dalam bentuk pembelian pulsa data, dengan dasar hukum Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 8 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Keamanan dan Ketertiban.
“Kami tidak melakukan pungli. Semua biaya itu digunakan untuk mendukung operasional komunikasi napi agar tetap bisa berhubungan dengan keluarga, sesuai peraturan yang berlaku,” jelasnya.
Klarifikasi pihak Rutan justru mendapat sorotan tajam dari warga. Bahwa Permenkumham Nomor 8 Tahun 2024 tidak dapat dijadikan dasar untuk menarik biaya dari narapidana.
Peraturan tersebut mewajibkan pemerintah menyediakan fasilitas komunikasi, bukan menjadikannya lahan bisnis berbayar. Ini jelas penyimpangan,” tegas warga.
Permenkumham Nomor 6 Tahun 2013, yang secara tegas melarang narapidana memiliki, membawa, atau menggunakan alat elektronik seperti handphone. Sebab jika napi bisa bebas memakai HP di dalam Rutan, artinya ada pembiaran dari pihak pengamanan.
Kuat dugaan Kepala Kesatuan Pengamanan Rutan (KKPR) Djhony Tumangken mengetahui praktik ini dan membiarkannya.
Kasus dugaan “bisnis telepon” ini menambah panjang daftar masalah di Rutan Kotamobagu. Sebelumnya, lembaga tersebut sempat dihebohkan dengan peristiwa tiga narapidana yang bebas keluar Rutan tanpa izin resmi. (*)