TOTABUAN.CO — Dalam tragedi pesawat AirAsia QZ8501, CEO maskapai asal Malaysia itu, Tony Fernandes, ikut menjadi sorotan media lokal dan internasional.
Pada mulanya Fernandes membeli perusahaan ini seharga 35 sen, dengan utang sekitar USD 13 miliar. Kemudian dia mengubahnya menjadi perusahaan maskapai penerbangan paling meroket di Asia Tenggara.
Tak perlu waktu lama bagi Fernandes buat meluaskan bisnisnya ke permata Asia Tenggara: Indonesia.
Dalam satu dekade terakhir, kelas menengah Indonesia melonjak dari 80 juta jiwa menjadi 130 juta. Di negeri dengan 17.500 pulau ini, bepergian dengan pesawat selalu menjadi pilihan terbaik.
“Indonesia itu seperti planet,” kata Fernandes yang membuka kantor di Indonesia pada 2012 dengan membeli maskapai lokal senilai USD 80 juta kepada koran the New York Times. “Masih banyak ruang untuk bertumbuh.”
Namun di samping potensi pertumbuhan ekonominya, industri penerbangan Indonesia masih menjadi salah satu yang terburuk di dunia. Banyak kecelakaan terjadi di tengah pertumbuhan industri penerbangan yang pesat. Uni Eropa melarang 67 maskapai penerbangan asal Indonesia mengudara di langit Eropa. Hanya lima maskapai yang mereka izinkan, seperti dilansir koran the Washington Post, Senin (29/12).
Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat juga mengkhawatirkan praktik penerbangan di Indonesia. Bahkan pada 2007 Kepala Penerbangan Sipil Indonesia menyebut perbaikan kultur dan praktik di industri ini sebuah perjuangan tanpa akhir. Menurut daftar dari Administrasi Penerbangan Federal, Indonesia masuk “kategori 2” negara dengan keselamatan penerbangan yang buruk, setara dengan Ghana dan Bangladesh.
Tragedi AirAsia QZ8501 saat ini kembali memperburuk industri penerbangan Indonesia.
Pada akhir 1990-an pemerintah menerapkan sejumlah peraturan penerbangan. Maskapai baru beroperasi setiap beberapa bulan. Antara 2000 hingga 2007, jumlah penumpang meningkat sekitar 20 persen per tahun. Pada 2011, menurut the New York Times, 60 juta orang Indonesia terbang naik pesawat.
Namun pertumbuhan angka jumlah penumpang itu tidak diikuti dengan kesiapan industri penerbangan. Konsekuensinya dari kondisi itu Indonesia kekurangan ahli penerbangan, kurang kebijakan, dan perangkat pendukung lainnya.
“Industri tumbuh sangat cepat tapi tidak diikuti sumber daya manusia,” ujar Dudi Sudibyo, pejabat kantor kepresidenan ketika ada kasus hilangnya salah satu maskapai penerbangan pada 2007. “Aturan penerbangan masih lemah, tim pengawas, dan jumlah pesawat juga masih kurang.”
Pada 2007 terjadi sejumlah kecelakaan pesawat di Indonesia yang merenggut ratusan nyawa.
Bandar udara Soekarno-Hatta di Cengkareng, sebetulnya dibangun dengan kapasitas 22 juta penumpang, namun pada 2013 bandara itu menangani lebih dari 60 juta penumpang daam setahun.
“Bandara itu (Soekarno-Hatta) masih menggunakan sistem kuno,” kata salah satu pilot Lion Airkepada the New York Times pada 2012. Sejumlah sinyal frekuensi radio, telepon, bercampur dengan frekuensi dari menara pengawas.
sumber : merdeka.com