TOTABUAN.CO-Pembahasan revisi UU KPK belum terlaksana setelah Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR RI bersepakat untuk menundanya. Penundaan tersebut memang menimbulkan spekulasi, apakah karena Presiden dan DPR RI mendengarkan suara rakyat atau karena ada bargaining politik antara Presiden dan DPR RI.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti menduga penundaan ini terjadi karena adanya bargaining politik antara Presiden dan DPR RI. Dia menilai DPR RI menunda bukan karena mendengarkan aspirasi publik, tetapi lebih karena adanya bargaining politik.
“Ya, kemungkinan ada bargaining politik antara Presiden dan DPR RI sehingga pembahasan revisi UU KPK ini kembali ditunda. DPR RI menerima penundaan ini bukan karena mengakomodasi aspirasi rakyat, tetapi karena didesak oleh Presiden,” ujar Bivitri di Jakarta, Rabu (24/2).
Bivitri yakin Presiden Jokowi mempunyai komitmen untuk memberantas korupsi. Namun, realitas politik yang membuatnya harus mencari cara yang lebih soft sehingga bisa meredam upaya pelemahan pemberantasan korupsi, seperti yang terjadi dalam revisi UU KPK.
“Kita tahu banyak pihak terutama koruptor yang menginginkan KPK dilemahkan. Pelemahan ini dilakukan dengan berbagai cara termasuk revisi UU KPK. Presiden Jokowi harus berjuang melawan itu dan terasa sulit ketika partai pendukung pemerintah di parlemen tidak mendukungnya,” jelas dia.
Meskipun demikian, kata dia Presiden Jokowi tidak boleh takut. Pasalnya, dukungan publik terhadap KPK dan penolakan revisi UU KPK semakin menguat.
“Keberanian Presiden menolak revisi UU KPK dan menariknya dari Prolegnas 2016 pastinya akan mendapat dukungan publik,” pungkas Bivitri.
sumber:beritasatu.com