TOTABUAN.CO–Sabtu pekan lalu menjadi hari paling kelabu bagi warga Kecamatan Pasiran, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Bagaimana tidak, seorang warga Desa Selok Awar-Awar meregang nyawa karena dianiaya sekelompok orang.
Parahnya, penganiayaan terhadap Salim Kancil oleh 40-an orang dilakukan telanjang di depan warga. Kekejian yang mirip tragedi 1965. Sejarah paling gelap negeri ini yang membuat nyawa seakan tidak ada harganya.
Memang korban tewas dalam penolakan tambang pasir ini tidak sebanyak tragedi 1965, namun vulgarnya penganiayaan, ketakutan masyarakat dan tidak berdayanya negara, membuat dua kasus ini mirip.
Dari investigasi yang dilakukan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS)Surabaya, peristiwa ini terjadi pada Sabtu kemarin (26/9), saat Salim dan Tosan, rekannya sesama aktivis Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa, menolak adanya penambangan pasir liar di desanya. Akibatnya, keduanya dikeroyok 40 orang pro-penambangan yang diduga kuat dibekingi perusahaan besar.
Tim Investigasi KontraS Surabaya, Fatkhul Khoir mengatakan, kali pertama, kejadian ini menimpa Tosan. Dia digeruduk kelompok orang di rumahnya sekitar pukul 07.00 WIB.
“Tosan dijemput paksa di rumahnya. Tanpa banyak bicara, puluhan orang yang membawa pentungan kayu, celurit dan batu itu mengeroyok Tosan,” terang Fatkhul di Surabaya, Senin (28/9).
Dikeroyok puluhan orang itu, Tosan berusaha menyelamatkan diri dan lari dengan motornya. Sayang, motor Tosan langsung ditabrak. “Kemudian Tosan diseret ke lapangan dan dihajar membabi-buta. Tubuhnya juga dilindas beberapa kali dengan motor para pelaku. Akibatnya, Tosan mengalami luka berat,” lanjutnya.
Karena menderita luka-luka berat, Tosan langsung dilarikan ke Puskesmas Pasiran untuk kemudian dirujuk ke RSUD Lumajang dan RS Bhayangkara Lumajang.
Selesai melukai Tosan, gerombolan ini mencari Salim Kancil di rumahnya. Salim ‘diambil’ saat sedang menggendong cucu.
Seperti yang dilakukan pada Tosan, kelompok preman ini mengikat Salim dan menyeretnya menuju Balai Desa Selok Awar-Awar, yang berjarak sekitar dua kilometer dari rumah Salim.
Selain diseret, Salim juga dihajar dengan pukulan dan senjata selama perjalanan. “Sepanjang perjalanan menuju balai desa, gerombolan ini terus menghajar Salim dengan senjata yang mereka bawa. Ironisnya, penganiayaan ini juga disaksikan warga sekitar, yang ketakutan dengan aksi brutal ini.”
“Di balai desa, tanpa peduli ada anak-anak yang tengah mengikuti pendidikan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), gerombolan ini terus melakukan adegan brutal kepada Salim. Di dalam balai desa, Salim disetrum dengan alat listrik yang sudah disiapkan kelompok tersebut,” ungkap Fatkhul.
Meski berada di dalam ruangan balai desa, tak satu pun perangkat desa yang keluar menghentikan aksi ‘gila’ tersebut. Salim Kancil pun tewas dalam aksi tak berperikemanusiaan itu. Salim tewas dalam kondisi telungkup di antara batu dan kayu berserakan di dalam ruangan balai desa.
Sekadar informasi, penolakan warga atas penambangan pasir liar di Lumajang ini sudah berlangsung lama. Penambangan pasir liar juga terjadi di beberapa daerah di Lumajang, seperti di Desa Wotgalih, Kecamatan Yosowilangun. Aktivitas ini dilakukan oleh PT ANTAM.
Kemudian di Desa Pandanarum dan Pandanwangi, Kecamatan Tempeh. Semu aktivitas penambangan ini, memicu konflik hingga saat ini. Sementara pemerintah dan aparat setempat membiarkan konflik penambangan pasir besi di Lumajang selatan ini, hingga terjadi penganiayaan terhadap dua aktivis kontra-penambangan, yaitu Tosan dan Salim Kancil.
“Tambang-tambang pasir ini sudah diketahui ilegal dan merusak lahan pertanian di pesisir pantai. Tapi oleh pemerintah dan aparat setempat dibiarkan. Tak ada tindakan tegas,” pungkasnya.
Sumber;Merdeka.com