TOTABUAN.CO BOLMONG — Rencana penutupan total jalur Trans Sulawesi di ruas Kaiya–Kotamobagu, tepatnya di Desa Muntoi, Kecamatan Passi Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), menuai gelombang penolakan dari masyarakat. Warga menilai langkah tersebut terlalu terburu-buru dan tidak mempertimbangkan dampak besar terhadap aktivitas vital masyarakat di kawasan Bolaang Mongondow Raya (BMR).
Rencana itu tertuang dalam surat pemberitahuan resmi Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) tertanggal 6 Oktober 2025, yang ditandatangani oleh Adrian Glandie Rau selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Dalam surat tersebut dijelaskan, penutupan jalan akan berlangsung selama 36 jam penuh untuk pemasangan Jembatan Sementara (Bailey) di titik jalan yang amblas akibat longsor beberapa waktu lalu.
Sesuai jadwal, penutupan dimulai Rabu, 8 Oktober 2025, pukul 17.00 WITA, dan akan dibuka kembali pada Jumat, 10 Oktober 2025, pukul 05.00 WITA. Artinya, selama satu setengah hari penuh, akses utama penghubung antara Bolaang Mongondow dan wilayah Sulawesi Utara lainnya akan lumpuh total.
Namun, keputusan tersebut justru menimbulkan gelombang protes dan kekhawatiran dari warga maupun pengguna jalan. Banyak yang menilai bahwa langkah penutupan total tanpa menyediakan jalur alternatif sama saja dengan “memutus urat nadi ekonomi dan sosial masyarakat.”
“Ini bukan sekadar jalan biasa. Ini jalur utama Trans Sulawesi. Kalau ditutup total, dampaknya luar biasa. Harusnya dipikirkan dulu jalur alternatif sebelum diputuskan,” tegas seorang warga Desa Muntoi kepada wartawan.
Jalur Trans Sulawesi di kawasan Passi Barat merupakan jalur vital transportasi antar provinsi. Setiap harinya, ada ribuan ratusan kendaraan lalu lalang melintas membawa kebutuhan logistik, sembako, hingga bahan bakar minyak (BBM). Tak hanya itu, jalur ini juga menjadi rute utama ambulans dan kendaraan darurat menuju RSUD Kotamobagu.
“Bagaimana kalau ada mobil ambulans membawa pasien gawat darurat ke RSUD Kotamobagu? Apakah mereka harus menunggu jembatan selesai dipasang?,” ucap warga lainnya dengan nada kesal.
Keresahan warga semakin memuncak karena hingga kini belum ada penjelasan resmi dari pihak BPJN terkait pengaturan lalu lintas sementara atau jalur alternatif selama proses pemasangan jembatan berlangsung. Sementara itu, pemerintah daerah juga dinilai belum mengambil langkah tegas untuk menengahi keresahan masyarakat.
Di sisi lain, meski pembangunan jembatan Bailey dianggap penting demi keselamatan pengguna jalan, warga meminta agar pelaksana proyek lebih bijak dalam mengambil keputusan. Penutupan total dianggap bukan satu-satunya solusi. Alternatif lain seperti pembatasan lalu lintas bergantian (sistem buka-tutup) atau pemasangan jembatan sebagian tanpa penutupan penuh bisa menjadi opsi yang lebih manusiawi.
“Kami tidak menolak perbaikan jalan, tapi tolong pikirkan juga dampak sosialnya. Pemerintah jangan hanya berpikir soal teknis proyek, tapi juga soal keselamatan dan kebutuhan warga yang bergantung pada jalur ini setiap hari,” tegas seorang tokoh masyarakat.
Warga berharap pihak BPJN dan Pemerintah Kabupaten Bolmong dapat segera meninjau ulang mekanisme penutupan jalan, agar proyek nasional tersebut tetap berjalan tanpa mengorbankan kepentingan publik.
Hingga berita ini diterbitkan, BPJN belum memberikan keterangan resmi mengenai respons atas protes warga serta kemungkinan penyesuaian waktu atau mekanisme pelaksanaan pekerjaan di lokasi tersebut. (*)