Oleh I Wayan Mudiyasa, S.Pd. M.MPd Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Bolaang Mongondow
Prolog
Finlandia, sebuah negara Nordik di Eropa Utara secara mengejutkan muncul sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia satu dekade terakhir. Seperti dirilis World Economic Forum, prestasi yang sama di tahun 2019 masih diraih kembali Finlandia. Suasana belajar mengasyikkan, kurikulum fleksibel dan memiliki pengajar berkualitas adalah sebagian strategi yang diklaim telah mengantar Finlandia pada prestasi itu. Namun di balik semua strategi itu, bagi saya, Finlandia muncul sebagai yang terbaik pertama-tama karena pendidikannya dilandaskan pada sebuah prinsip yang pernah juga dulu ditanamkan Ki Hajar Dewantara dalam sistem pendidikan kita yaitu, “no one left behind”. Prinsip ini juga yang menggerakkan lebih dari 190 negara, termasuk Indonesia, mencetuskan SDGs saat Sidang Umum PBB di New York tahun 2015 silam.
Hak atas Pendidikan Berkualitas
Prinsip “No one left behind” dalam SDGs (Sustainable Development Goals/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) dimaknai sebagai perjalanan bersama sejumlah negara (tanpa ada satupun tertinggal) untuk melanjutkan program pembangunan global yang sebelumnya telah dirintis dalam MDGs (Millenium Development Goals/Tujuan Pembangunan Milenium). Salah satu program yang dicetuskan untuk dilanjutkan dalam SDGs adalah sektor pendidikan. Pada tujuan ke-4 SDGs, atau biasa disebut SDGs-4, disebutkan target utama sektor pendidikan di tahun 2030 yaitu “terjaminnya kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua”.
Dalam konteks SDGs-4 ini, “no one left behind” menunjuk pada kewajiban negara untuk memastikan bahwa tak ada satupun warganya yang tertinggal, terlupakan atau terpinggirkan dari haknya untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Bukan hanya mereka yang berduit atau tinggal di perkotaan, semua warga negara, siapapun dan di pelosok manapun, sama-sama memiliki hak atas pendidikan berkualitas yang harus dijamin negara. Di Indonesia, hak ini telah dijamin negara antara lain melalui UU No. 20/2003 terutama pada pasal 5 ayat (1) “setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan bermutu”. Dan dalam Nawacita Jokowi-JK jaminan atas hak ini dipertegas dengan program “membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan” yang kemudian dijabarkan dalam RPJMN.
Perjalanan Menuju SDGs-4
SDGs-4 (2016-2030) muncul saat MDGs (2000-2015) berakhir. Beberapa target yang belum tuntas dalam MDGs, terutama pada tujuan 2 (atau disebut MDGs-2) dilanjutkan dan disempurnakan dalam SDGs-4. Baik MDGs-2 maupun SDGs-4 sama-sama menargetkan perbaikan pada sektor pendidikan. Bedanya, target MDGs-2 terfokus pada “terjaminnya pendidikan dasar untuk semua”. Sedangkan SDGs-4 fokusnya diperluas pada “pendidikan berkualitas dan kesempatan belajar sepanjang hayat bagi semua”. Di tahun 2015, saat MDGs berakhir, Indonesia dinilai berhasil mencapai target, terutama dalam aspek perluasan akses pendidikan. Jumlah anak yang bersekolah meningkat signifikan. Angka Partisipasi Sekolah (APS) usia 7-12 tahun mencapai 98,59 persen atau naik sebesar 3,09 persen dari APS tahun 2000 yang berada di posisi 95,50 persen. Khusus untuk Sulawesi Utara APS di akhir periode MDGs mencapai 99,33 persen.
Sayangnya, perluasan akses pendidikan itu belum menyumbang banyak pada perbaikan kualitas pendidikan. Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2015 menunjukkan kemampuan anak-anak Indonesia dalam bidang sains, membaca, dan matematika jauh di bawah anak-anak dari negara tetangga (Singapura, Vietnam, Malaysia, dan Thailand). Demikian juga Indeks Pendidikan (Education Index) tahun 2017 yang dirilis UNESCO dan Global Talent Competitiveness Index (GTCI) tahun 2019 masih memposisikan Indonesia di bawah Palestina, Samoa dan Mongolia; dan di tingkat ASEAN masih berada di bawah Singapura, Brunei Darusalam, Malaysia dan Thailand.
Mengembalikan Marwah Pendidikan
Fakta di atas membuka mata bahwa kualitas pendidikan kita masih rendah dan tertinggal. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG), Uji Kompetensi Kepala Sekolah (UKKS) dan Uji Kompetensi Pengawas (UKP) tahun 2018 membuktikan bahwa kompetensi sebagian besar guru, kepala sekolah dan pengawas masih berada di bawah rata-rata. Dari 34 provinsi, terdapat 24 provinsi pada UKG, 22 provinsi pada UKP dan 14 provinsi pada UKKS yang nilainya masih berada di bawah rata-rata. Provinsi Yogyakarta selalu menduduki peringkat 1 pada semua kategori ujian. Sulawesi Utara hanya mampu berada di peringkat 24 untuk UKG, peringkat 20 untuk UKKS dan peringkat 21 untuk UKP. Tentu mustahil untuk menuntut siswa menjadi berkualitas, sementara kompetensi pengawas, kepala sekolah dan gurunya berada di bawah rata-rata. Kondisi ini selain menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kita masih rendah, tetapi juga menegaskan bahwa pemerataan belum sepenuhnya terjadi. Tak heran, arus urbanisasi untuk mencari pendidikan yang lebih berkualitas di perkotaan seakan tak pernah berhenti.
Satu dekade terakhir pemerintah sangat serius membenahi sektor pendidikan. Secara bombastis anggaran untuk pendidikan dikucurkan. Pelbagai strategi dan program diterapkan. Namun semua usaha itu seakan tak berjiwa jika tidak dilandaskan pada prinsip yang “dicuri” Finlandia dari kandungan kita yaitu “no one left behind”. “No one left behind” bukan sekadar menunjuk pada usaha untuk mengejar target SDGs atau sebuah kewajiban karena tuntutan dari luar. Tapi secara substansif menunjuk pada kesadaran yang muncul dari dalam bahwa pendidikan harus dikembalikan pada marwahnya yaitu untuk mencerdaskan kehidupan seluruh anak bangsa, tanpa ada seorang pun terkebelakang. Prioritas pendidikan bukan hanya untuk menuntaskan kuantitas tetapi terutama kualitas. Bukan hanya terfokus pada kejar target kurikulum dan nilai ujian nasional, tapi terutama pada penggalian potensi dan kualitas anak didik. Bukan hanya sibuk menyiapkan administrasi kelengkapan pencairan sertifikasi, tapi terutama mengusahakan pengajaran yang profesional.
Epilog
Tugas untuk mencerdaskan seluruh anak bangsa tentu adalah sebuah proyek raksasa yang mustahil dicapai apabila sektor pendidikan hanya dikerjakan sendiri oleh pemerintah. “No one left behind” bukan hanya berarti tak ada satupun warga yang tertinggal atau terpinggirkan dari haknya untuk menjadi cerdas dan berkualitas. “No one left behind” juga menunjuk pada kesadaran dan keterlibatan semua elemen bangsa untuk bahu membahu mendukung pembenahan kualitas pendidikan. Tak boleh ada satupun elemen yang tertinggal dan atau berpangku tangan apalagi berpikir hanya di pundak pemerintahlah tugas membenahi sektor pendidikan. Semua harus bersinergi, bergotong royong dan berkampanye bahwa semua terpanggil untuk terlibat mewujudkan pendidikan berkualitas.(**)