TOTABUAN.CO BOLMONG — Hingga batas waktu yang ditentu 30 November 2017, dokumen APBD tahun anggaran 2018 yang dikembalikan tim anggaran Pemerintah provinsi tak ditandatangani Ketua DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) Welty Komaling.
Padahal batas waktu sebagaimana diatur undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah sampai 30 November malam tadi.
“Tadi malam setelah kabag Risalah dan Perundangan Setkretariad DPRD menyodorkan dokumen persetujuan dan berita aacara penetapan APBD 2018, tetap tidak mau ditandatangani. Bahkan tidak mengemukan alasaanya,” kata sumber.
Menurut sumber TAPD Bolmong, angka pendapatan, belanja dan devisit yang ada pada saat rapat paripurna penetapan APBD 2018, sesuai dengan Nota Keaungan yang disampaikan oleh eksekutif pada rapat paripurna DPRD pembicaraan tingkat Satu APBD 2018 yang dipimpin Ketua DPRD Bolmong Weelty Komaling. Angka tersebut juga telah sesuai dengan nota kesepakatan antara eksekutif dan legislatif pada saat penandatangan KUA-PPAS menjadi KUA-PPA 2018.
Sebelum penandatanganan kesepakatan KUA-PPA ada pembahasan antara Banggar dam TAPD. Namun dalam pembahsan tersebut ada beberapa rekomendasi Banggar yang ditindaklanjuti oleh eksekutif. Yakni PAD ditambah sesuai dengan nilai kendaraan Pemda yang akan dilelang, ada kegiatan peningkatan jalan di Kecamatan Lolayan yang dipending karena belum prioritas, DAK, dukungan layanan kesehatan kurang lebih 31 Miliar yang diminta untuk dirinci dan disesuaikan sumber dan besaran anggarannya.
Penyesuaian hasil rekomendasi Banggar tersebut yang kemudian mempengaruhi perubahan pendapatan, belanja dan defisit tapi proses ini sudah disepakati pada saat penetapan KUA-PPA 2018 yang dipimpin Welty Komaling.
“Memang ada permintaan Ketua DPRD yang tidak dapat disetujui oleh pihak eksekutif, yaitu pengadaan mobil dinas untuk pimpinan DPRD. Pihak eksekutif tidak menyetujui permintaan ketua DPRD, karena pengadaan kendaraan dinas bagi pimpinan DPRD tidak ada dalam rencana kerja Sekretariad DPRD tahun anggaran 2018 ,” tambah sumber.
Sedangkan berdasarkan Renstra Setwan 2017-2022 nanti akan dianggarkan pada Tahun 2019 kepada Pimpinam DPRD yang terpilih berdasarkan hasil Pemilu legislatif Tahun 2019.
Wakil Ketua DPRD Bolmong Kamran Muchtar sendiri ketika dikonfirmasi membenarkan jika dokumen APBD tahun anggaran 2018 belum bisa dibawa ke Pemprov karena terkendala belum ditandatangani Ketua DPRD Bolmong.
Kamran menjelaskan, padahal batas waktu pemaasukan dokumen APBD hingga 30 November kemarin. “Belum. Belum juga dia tanda tangan. Bahkan alasanya juga tidak jelas. Harusnya ada berita acara sekaligus dengan pernytaan alasa,” kata Kamran.
Kamran menegaskan, bahwa draf APBD tahun anggaran 2018 sudah selesai. Sebab semua tahapan sudah dilaksaakan baik eksekutif maupun legislative.
“Semua fraksi sudah menerima Rancangan Perda APBD disahkan menjadi Perda. Lantas apalagi. Sekarng ini bukan lagi atas nama lembaga, tetapi tinggal indivisu,” tegas politisi PAN ini.
Ketua DPRD BOlmong Welty Komaling mengatakan, alasan dirinya tidak mau menandatangani dokumen APBD itu dikarenakan dirinya tidak terlibat dalam melakukan pembahasan tersebut. Alasannya karena yang melakukan pembahasan dan memparipurnakan adalah Wakil Ketua DPRD Kamran Muctar dan Abdul Kadir Mangkat. Dia juga mengaku lagi berkonsultasi dengan pihak Pemrov Sulut terkait keabsahan paripurna tersebut.
“Dokumen itu kenapa tidak saya tandatangani, karena saya tidak terlibat dalam melakukan pembahasan,”ujar Welty seperti dilansir manadonews.com .
Kendati demikian, Welty juga tak menjelaskan secara jauh alasan dirinya tidak menandatangani dokumen APBD itu. Sebab ada yang secara prinsip kenapa ia tidak menandatangani dokumen tersebut.
“Saya tidak tanda tangan dokumen itu, tentu ada alasan yang sangat prinsip, yang berkonsekuensi hukum terhadap saya sebagai Ketua DPRD. Konsekuensinya pidana jika dikemudian hari terjadi hal yang membahayakan,” kata poltisi PDIP ini.
Ia juga mempertanyakan kenapa sampai hari ini dirinya yang terus dipersalahkan. Padahal ada satu fraksi yang tidak ikut serta dalam pengambilan keputusan berupa paripurna. “Ada satu fraksi yang ikut menolak paripurna karena menganggap proses pembahasan itu cacat, mereka juga tidak dilibatkan dalam proses itu,” tandasnya. (**)