Advertorial
TOTABUAN.CO BOLMONG— Pemkab Bolaang Mongondow (Bolmong) bersama Kementrian Lingkungan Hidup (LH) membahas terkait hasil penelitian tim terpadu soal usulan perubahan fungsi pokok kawasan hutan dari sebagian kawasan Cagar Alam Gunung Ambang, seluas 3.379.97 Hektare (Ha) menjadi kawasan Hutan Lindung (HL) dan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), yang berbatasan dengan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim). Pertemuan yang dilaksanakan di Gedung Mangggala Wanabakti, bersama Direktorat Jendral Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Jakarta Jumat (13/5).
Dari rencana usulan perubahan cagar alam menjadi HL dan HPT karena Perusahan Listrik Tenaga Matahari (PLTM) yang bada di Desa Mobuya mulai beroperasi sejak 2006. Selain itu akses jalan yang melintasi cagar alam dari Desa Tuduaog – Desa Kolingangaan telah ada sejak tahun 2000 lalu.
“Aktivitas masyarakat penggarap kebun holtikulutura dan pengembangan potensi panas bumi dengan cadangan 130 MW untuk memenuhi kebutuhan listrik. Itu yang menjadi motivasi kenapa itu diusulkan dan menjadi pembicaran dalam rapat koordinasi bersama Kementrian Lingkungan Hidup,” kata Bupati Bolaang Mongondeo Salihi Mokodongan.
Rakor tersebut berjalan cukup alot hingga sore hari,. Sebab usulan pemohon, yakni Pemprov Sulut, , Pemkab Bolmong dan Pemkab Boltim dinilai tidak sesuai. Mestinya rekomendasi tersebut yakni taman wisata alam seluas 3.141.59 Ha, HPT seluas 203,60 Ha, tetap dipertahankan sebagai cagar alam seluas 33,89 Ha. Sementara Pemprop Sulut, Pemkab Bolmong dan Pemkab Boltim berkeinginan statusnya agar diubah menjadi Hutan Lindung dan Hutan produksi terbatas.
Keinginan tersebut dilandasi oleh berbagai pertimbangan tekhnis serta kenyataan di lapangan yang ada. Di mana tidak sesuai dengan hasil penelitian tim terpadu, karena hanya observasi lapangan kurang dari satu pekan.
Kadis Kehutanan Propinsi Sulut Herry Rotinsulu mengatakan, jika statusnya tetap cagar alam dan taman wisata alam, otomatis kendali pengawasan tetap pada pemerintah Pusat. Sehingga menyulitkan pemerintah daerah melakukan action demi menjaga kelestarian alam.
“Karena segala sesuatunya adalah urusan pusat. Contoh KSDA Gunung Ambang yang hanya diawasi oleh 3 orang Polhut . Sementara bila statusnya adalah Hutan lindung dan HPT, pengawasannya berada di tangan pemerintah daerah, sehingga lebih terkontrol dan cepat penanganannya terkait tindakan demi menjaga kelestarian alam,” kata Herry.
Bupati Bolmong Hi Salihi mengatakan, apa yang direkomendasikan oleh tim terpadu tidak sesuai dengan keadaan di lapangan, terutama vegetasi hutan dan keberadaan hewan di sana (zona usulan perubahan fungsi).
“Saya kurang sepakat dengan hasil rekom tim terpadu. Karena setelah melakukan peninjauan beberapa kali, sudah tidak ada lagi pohon kayu besar di sana dan hewannya hampir punah. Kami mohon agar pengawasan atasnya berada di tangan pemerintah daerah, agar dapat berkontribusi lebih intens, lebih cepat dan tepat, terkait permasalahan yang terjadi, sesuai semangat amanat UU tentang Pemerintah Daerah,” kata Bupati.
Bupati Bolmong TImur Sehan Landjar, mengatakan lebih tepat jika pemerintah pusat menyetujui usulan dari pemerintah daerah.
Namun setelah sesi dialog, Dirjen PKTL memutuskan untuk mempertimbangkan pendapat dari pemerintah daerah, meminta tim terpadu melakukan penelitian dan kajian lebih mendalam, dan menghitung kembali skoring penentuan status.
Mengacu kenyataan sebenarnya terutama pada vegetasi, fauna serta sosial ekonomi budaya masyarakat, hasil rekom atas usulan perubahan fungsi masih menunggu hasil kerja dari tim selanjutnya.(**)