TOTABUAN.CO–Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang bukan sarjana kehutanan, tapi dari balik kursi presiden, ia tahu cara melindungi alam Indonesia. Salah satunya, SBY memilih jalan sunyi lewat pengadilan untuk ‘menggebuk’ pembakar hutan, PT Kallista Alam. Tidak harus berjibaku hadir langsung menerobos asap hutan.
Dengan menggerakkan birokrasi di bawahnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Jaksa Agung, ‘kepretan’nya diamini Mahkamah Agung (MA). Tanpa kegaduhan, sekali ‘kepret’ PT Kallista Alam yang membakar seribu hektare hutan di Aceh dihukum Rp 366 miliar. Tidak hanya itu, aset PT Kallista Alam juga disita dan jika tidak cukup membayar kerugian maka dirampas untuk negara.
Berikut jalan sunyi SBY tersebut sebagaimana dirangkum detikcom, Senin (4/9/205):
2009
DPR dan Pemerintah SBY menyetujui revisi UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU baru ini adalah payung hukum yang sangat keras untuk menindak perusak lingkungan.
20 Mei 2011
SBY menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 yang meminta pemberian izin pembukaan lahan hutan gambut dihentikan untuk sementara. Inpres ini juga dikenal dengan Inpres Moratorium.
25 Agustus 2011
Gubernur Aceh mengeluarkan izin perambahan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Maret 2012
PT Kallista Alam membakar sekitar seribu hektare hutan yang berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) pada pertengahan 2012 lalu. Padahal, KEL merupakan kawasan yang mempunyai pengaruh penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya dan termasuk dalam wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia (world haritage).
April 2012
Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menerima laporan adanya kebakaran hutan. Ketua UKP4 Kuntoro Mangkusubroto lalu berkoordinasi dengan kementerian terkait. Tim investigasi diterjunkan langsung ke lapangan menyelidiki kebakaran tersebut.
18 September 2012
Menteri Negara Lingkungan Hidup memberikan kuasa kepada Jaksa Agung Basrief Arief dengan surat kuasa khusus Nomor 01/MEN.LH/09/2012 menggugat PT Kallista Alam.
Modus membakar hutan dilakukan karena lebih ekonomis dalam membuka hutan bagi Kallista Alam sebab Kallista Alam tidak perlu mengalokasi belanja modal untuk membeli mesin dan peralatan yang dibutuhkan untuk membuka lahan. Selain itu juga memangkas biaya operasional, biaya tenaga kerja, bahan bakar dan biaya lain. Cara ini dinilai lebih cepat dan sisa abu kebakaran memberikan kesuburan tanah yang akan ditanami kelapa sawit.
“Oleh karena itu Tergugat memiliki maksud untuk membuka lahan dengan cara dibakar dengan demikian membuktikan unsur kesengajaan. Maka tergugat wajib bertanggungjawab atas kerusakan tanah gambut yang ditimbulkan di atas lahan perkebunan,” kata pemerintah dalam gugatannya.
28 November 2013
Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh mengabulkan gugatan dan menghukum PT Kallista Alam total harus menanggung denda Rp 366 miliar! Selain itu, PT Kallista Alam juga dikenakan uang paksa Rp 5 juta per hari. Tidak hanya itu, tanah PT Kallista Alam juga disita yaitu terletak di Desa Pulo Kruet, Alue Bateng Brok, Kecamatan Darul Makmus, Aceh Barat dengan sertifikat HGGU No 27 dengan luas 5.769 hektare sebagaimana ternyata dalam gambar situasi No 18/1998 tanggal 22 Januari 1998 yang diterbitkan oleh kantor pertanahan Kabupaten Aceh Barat, Aceh.
Apakah hanya itu? Tidak. PN Meulaboh juga mengamini permohonan larangan PT Kallista Alam untuk menanami lahan gambut yang terbakar seluas 1.000 hektare yang berada di Desa Pulo Kruet untuk usaha budidaya perkebunan sawit.
15 Agustus 2014
Vonis dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Aceh.
28 Agustus 2015
Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi PT Kallista Alam dan putusan berkekuatan hukum tetap. Perkara Nomor 651 K/PDT/2015 ini diadili oleh ketua majelis hakim agung Takdir Rahmadi dengan anggota hakim agung Nurul Elmiyah dan hakim agung I Gusti Agung Sumanatha.
Kini bola panas berada di tangan Jaksa Agung Prasetyo. Kemenangan negara terhadap pembakar hutan sudah di tangan. Apakah ia mampu mengeksekusi putusan terbesar sepanjang sejarah Indonesia di bidang lingkungan ini?
sumber;Detik.com