TOTABUAN.CO — Keberadaan Suku Anak Dalam saat ini ternyata dalam ancaman. Kelompok bermukim di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi itu semakin terdesak lantaran kehilangan lahan mereka dan mengalami kelaparan.
Alhasil, karena kelaparan sebelas orang Suku Anak Dalam atau kerap disebut orang rimba wafat. Sebabnya adalah mereka kesulitan melaksanakan tradisi Melangun (berpindah tempat mencari bahan pangan atau berkabung karena ada anggota suku wafat) lantaran banyak tanah sudah dikuasai oleh perusahaan perkebunan. Tercatat sebagian lahan itu ditetapkan menjadi Hutan Tanaman Industri bagi PT Wana Printis, PT Agro Nusa Alam Sejahtera, PT Jebus Maju, PT Tebo Multi Agro, PT Lestari Asri Jaya, PT Malaka Agro Perkara, dan PT Alam Lestari Makmur. Mereka pun tidak bisa sembarangan memasuki tanah itu karena bisa dianggap ilegal. Apalagi tempat mereka tinggal juga ditetapkan sebagai taman nasional, membuat gerak-gerik mereka makin sulit.
Pemerintah melalui Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengakui hal itu. Dia mengatakan, penanganan komunitas adat terpencil suku Anak Dalam atau biasa disebut Orang Rimba harus mempertimbangkan kearifan lokal.
“Penanganan SAD (suku Anak Dalam) perlu mempertimbangkan kearifan lokal masyarakat setempat, sebab mereka memiliki adat istiadat, tradisi, serta cara pandang sendiri,” kata Khofifah di Jakarta, Rabu (18/3).
Khofifah meminta penyelamatan Suku Anak Dalam perlu memperhatikan hasil kajian dilakukan lintas lembaga ataupun kementerian terkait. Tetapi, dia ingin supaya Orang Rimba diajarkan membuka diri dan bergaul dengan lingkungan di luar lahan mereka.
“Langkah awal penanganan, agar mereka terbuka perlu interaksi sosial dan diintegrasikan dengan lingkungan sekitarnya,” ujar Khofifah.
sumber : merdeka.com