TOTABUAN.CO – Dua presiden terakhir Amerika Serikat, George W. Bush dan Barack Obama, harus menghadapi ujian penting dalam masalah keamanan dalam negeri dan geopolitik global, yaitu terorisme.
Selain pengerahan kekuatan militer, tantangan lain yang mereka hadapi adalah menjaga agar aksi militer yang diambil tidak dipersepsikan sebagai perang melawan Islam, yang oleh kelompok garis keras negara itu memang erat dikaitkan dengan terorisme.
Pandangan dua presiden itu direkam oleh kolumnis kondang The Washington Post, Michael Gerson, yang pernah menjabat sebagai asisten Bush dan direktur penulis pidato presiden.
Dalam tulisannya pekan lalu, Gerson memulai dengan kutipan pidato Obama yang disampaikan beberapa hari setelah seorang pilot Yordania dibakar hidup-hidup sampai mati oleh kelompok militan Islamic State.
Obama ketika itu mengatakan semua agama “bisa dipelintir dan disalahgunakan atas nama kejahatan” dan bahwa para teroris yang mengklaim “membela Islam” faktanya justru “mengkhianati Islam.”
Para pengkritik mengatakan pidato Obama itu sangat naif: dia seharusnya menghindari pembicaraan soal moral, berhenti dari sikap sok teologis dan mengakui bahwa Islam memang punya masalah khusus tentang kekerasan dan eksremisme, tulis Gerson.
Lalu melompat ke belakang, beberapa hari setelah serangan teroris di Amerika tanggal 11 September 2001 yang menewaskan ribuan orang dan meruntuhkan menara kembar World Trade Center. George W. Bush melepas sepatunya, masuk ke sebuah mushola di Islamic Center Washington, bertemu para ulama dan membuat pernyataan pendek : “Aksi kekerasan terhadap orang-orang yang tak bersalah ini melanggar prinsip fundamental Islam. Tindakan teror tidak mewakili iman Islam sejati.”
Kemudian di hadapan Kongres AS, Bush mengatakan ajaran-ajaran Islam bagus dan damai, sedangkan para teroris adalah pengkhianat atas iman mereka sendiri yang berusaha membajak Islam.”
Pada masa jabatannya yang kedua, Bush banyak dikecam bahwa Amerika sedang berperang melawan Islam, dan dia menjawab sebetulnya para radikal yang menyebarkan pendapat bahwa ini bukan soal pecinta damai versus radikal atau teroris, namun ini soal Amerika yang tidak menyukai Islam.
“Saya yakin bahwa Islam adalah agama hebat yang mengajarkan perdamaian. Dan saya yakin mereka yang membunuh orang-orang tak berdosa untuk mencapai tujuan politik bukan orang yang religius, termasuk misalnya dia seorang Kristen. Ada satu orang yang meledakkan gedung federal di Oklahoma dan mengaku Kristen, tapi bukan orang Kristen namanya kalau membunuh orang tak berdosa,” kata Bush.
Menurut Gerson, tidak sedikit orang yang bersuara keras tentang Islam terkait terorisme, misalnya Gubernur Lousiana Bobby Jindal. Dalam pendekatan yang dilakukan Bush/Obama, terorisme adalah sebuah penyimpangan yang harus diisolasi. Namun para pengkritik yakin terorisme bermula dari Islam dan harus dikoreksi. Dan sebagian dari mereka mendesak presiden untuk mengatakan bahwa salah satu agama terbesar itu masuk dalam kategori ancaman khusus, kata Gerson.
Namun mereka yang mengharapkan presiden untuk secara terbuka menyatakan hal tersebut berarti sama saja mendesak presiden untuk bertindak seperti seorang teologis. Retorika presiden atas masalah ini tidak boleh teologis, tapi harus “phenomenological” atau berdasarkan pengalaman sendiri. Mayoritas wraga Muslim di dunia, dan juga di Amerika, yakin bahwa agama mereka menentang tindakan mengurung orang dalam kandang besi lalu membakarnya hidup-hidup, atau memperalat orang cacat mental sebagai pelaku bom bunuh diri, atau mengubur anak kecil hidup-hidup. Pemisahan paling penting dan paling mewakili kepentingan Amerika adalah: pecinta damai versus teroris, kata Gerson.
Tidak ada ceritanya presiden bisa mencela Islam, karena akan memicu kemarahan global, dan memutus hubungan sekutu dengan negara-negara Islam yang menjadi andalan America untuk memerangi IS. Sebagian dari pengkritik presiden itu dengan entengnya merekomendasikan blunder yang sifatnya masif, tulis Gerson.
sumber: beritasatu.com