TOTABUAN.CO — Ambisi Presiden Joko Widodo mewujudkan ketahanan dan swasembada pangan dalam kurun waktu tiga tahun ke depan, diperkirakan sulit terealisasi. Penyebab utamanya, makin berkurangnya lahan pertanian.
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa menjelaskan, dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia kehilangan ratusan ribu keluarga tani. Kondisi ini dampak turunan dari alih fungsi lahan pertanian.
“Terjadi peralihan penguasaan lahan dari petani ke yang bukan petani. Kalau orang kota banyak beli tanah di Karawang, 80 persen pemiliknya bukan petani setempat tapi orang Jakarta. Kita tutup mata, 50 juta KK tani hilang lahan taninya,” ungkap Dwi di Jakarta, Rabu (20/1).
Kondisi ini akhirnya memicu produktivitas rendah dan tingkat ketergantungan pangan terhadap negara asing justru masih besar. Dia pesimis Indonesia bisa mewujudkan swasembada pangan bila sistem tersebut tidak diubah.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menyebut, kebijakan Jokowi soal pangan juga tidak jauh berbeda pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tidak ada terobosan atau perbaikan berarti.
“Apa yang dilakukan sekarang susah dibedakan dengan yang dilakukan pemerintahan sebelumnya. Meski anggaran pertanian dan pangan juga naik, tapi impor pangan meningkat 326 persen,” ungkapnya.
Karena itu dia tidak heran bila ke depannya tingkat ketergantungan Indonesia pada sektor pangan semakin besar. “Makanya kita tergantung dengan Vietnam,” cetusnya.
Dia berharap pusat pertanian nasional tetap dipertahankan di tanah Jawa. Sebab, Dwi meyakini untuk produksi terbaik harus dihasilkan di daerah tersebut.
“Pernah ada wacana, Pulau Jawa dijadikan lahan industri. Sedangkan pertanian di lempar ke luar Jawa. Hasilnya ya bisa hancur. Lahan terbaik itu di Jawa,” katanya.
sumber : merdeka.com