TOTABUAN.CO — PENGANUT kepercayaan dan agama yang belum diakui pemerintah boleh semringah. Pasalnya, pemerintah akan membebaskan penganut kepercayaan itu untuk tidak mengisi kolom agama di E-KTP. Kebijakan itu diberlakukan sebagai bentuk penghormatan bagi kamu minoritas yang menganut kepercayaan.
Salah satu aliran kepercayaan yang ada di Tanah Air adalah Sunda Wiwitan. Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di Provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak Banten, Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok Sukabumi, Kampung Naga Cirebon, dan Cigugur Kuningan dan Kabupaten Bogor.
Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.
Berbagai sumber menyebut, ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang Siksakanda Ng Karesian. Sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia.
Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut hindu atau Budha, melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang. Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga batas tertentu, ajaran Islam.
Akan tetapi, Sunda Wiwitan yang ada di Bogor, tepatnya di Kampung Adat Urug, Desa Urug, Kecamatan Sukajaya berbeda. Para penganutnya mengklaim Sunda Wiwitan di Bogor bukan agama atau kepercayaan, melainkan sebuah upaya pelestarian budaya. Itu diungkapkan pemangku adat Kampung Urug, Abah Ukat Raja Aya.
Menurut Abah Ukat, makna wiwitan dalam Sunda Wiwitan adalah permulaan atau awal. Pemahaman Sunda Wiwitan sendiri antara lain bahasa awal, atau bahasa sunda yang pertama muncul.
“Untuk agama, kami memeluk agama Islam. Di Kartu Tanda Penduduk (KTP) kami Islam. Sehinga Sunda Wiwitan yang kami anut merupakan bahasa, serta tradisi dari leluhur yang kami jaga. Jadi beda Sunda Wiwitan di Kampung Urug, Bogor dengan Sunda Wiwitan di Banten. Di Banten itu agama Sunda wiwitan,” ucap pemangku adat generasi ke-11 tersebut.
Lebih lanjut ia menuturkan, masyarakat di Kampung Urug seluruhnya memeluk agama Islam. Sementara ajaran Sunda Wiwitan yang berupa aturan dan norma tidak diubah atau dihilangkan.
“Tetap syukuran cuman beda bahasa saja. Sunda Wiwitan memanggil tuhannya dengan bahasa Karuhun. Dan itu hanya beda beda bahasa saja, yang dituju cuman satu, Allah,” ucap pria yang sehari-hari mengenakan ikat kepala batik.
Kampung Urug berasal dari kata Guru yang dibaca secara terbalik. Abah Ukat Raja Aya menuturkan, asal mula Kampung Urug berawal di masa Kerajaan Pajajaran.
Kala itu, Prabu Dewata bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji Pakuan Pajajaran atau yang lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi meminta salah satu putranya untuk menjadi yang tokoh di kampung tersebut. Kemudian diberilah nama Kampung Guru.
“Dahulu namanya kampung Guru, dan ketika salah saeorang ulama besar di Mekkah kerap menyambangi kampung tersebut memberi nama kampung Urug yang berasal dari kata guru dengan dibaca terbalik,” tuturnya.
Kampung Urug kerap menjadi tempat tujuan penelitian akademisi dari universiatas-universitas di Indonesia, termasuk UGM Jogjakarta. “Ini merupakan bukti bahwa Kampung Urug merupakan kampung Guru,” ucap Abah Ukat.
Selain itu, kata dia, masyarakat Kampung Urug mengklaim sebagai turunan dari Prabu Siliwangi. Itu lantaran sejarah Kampung Urug erat kaitannya dengan Baginda Ratu Eyang Prabu Silwangi. “Saat berada di Kadu Jangkung, Eyang Prabu berkata bahwa suatu saat nanti kampung tersebut akan menjadi daerah pertanian,” tuturnya.
Cerita atau sejarah yang dipahami Abah Ukat berasal dari kokolot yang selalu diceritakan setiap tahun pada saat perayaan Seren Patahunan. Perayaan itu sebagai sara syukur penduduk yang berprofesi sebagai petani.
“Ini menjadi tradisi yang masyarakat pegang, jadi untukseluruh kegiatan bertani dari menanam padi sampai menjadi nasi itu sesuai dengan apa yang dikatakan pemangku adat,” pungkasnya.
Terpisah, peneliti aliran keagamaan, Resla menuturkan, perkembangan Sunda Wiwitan di Bogor termasuk kecil penyebarannya. Itu juga dilakukan secara sporadis. Setahu dia, kepercayaan Sunda Wiwitan masih eksis di Cigugur Kabupaten Kuningan.
“Kondisi Bogor dulu dan sekarang sudah jauh berbeda, karena keberadaan masyarakatnya yang populis membuat kepercayaan dari nenek moyang, lambat laun tereduksi,” ujarnya kepada Radar Bogor (Grup JPNN) kemarin,
Tak ada yang tahu pasti jumlah pemeluk kepercayaan Sunda Wiwitan saat ini. Tapi diperkirakan jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar 3.000 orang. Bila para pemeluk di daerah-daerah lain ikut dihitung, maka jumlahnya bisa mencapai 100.000 orang.
Menurut Resla pesebaran kepercayaan atau aliran keagamaan dewasa ini menghadapi tantangan yang luar biasa di masyarakat. “Banyak yang mengira Sunda Wiwitan adalah agama. Tetapi kenyataannya ini adalah sebuah kepercayaan yang diduga sudah ada di kalangan masyarakat Sunda sebelum agama Hindu, Budha dan Islam masuk,” jelasnya.
Di sisi lain, wacana pemerintah memberi ruang kepada agama yang belum diakui rupanya sudah mendekati final. Wakil Presiden Jusuf Kalla mendukung langkah ini. JK -sapaan akrab Jusuf Kalla- membenarkan bahwa nantinya penganut kepercayaan dan agama di luar enam agama yang diakui pemerintah bisa mengosongkan kolom agama di KTP. “Masih dibahas Kemendagri,” ujarnya kepada wartawan akhir pekan lalu.
Menurut JK, langkah itu merupakan penghormatan pemerintah pada pemeluk kepercayaan. Pasalnya selama ini pemerintah baru mengakui enam agama yakni Islam, Hindu, Buddha, Kristen, Katolik, dan Kong Hu Cu. Alhasil mereka terpaksa mengisi nama agama yang tidak sesuai kepercayaan yang mereka anut. “Kalau gak ada agama yang dia anut terus diisi apa coba,” ujarnya.
Dia menyontohkan, misalnya ada orang syiah atau penganut aliran kepercayaan lain mengurus KTP. Nantinya saat mengisi biodata mereka bisa melewati kolom agama. “Kosongin aja. Soalnya Syiah atau aliran kepercayaan kan belum ada di draf KTP,” jelasnya.
Pada bagian lain, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa usulan pengosongan itu belum final. Kedepannya Kemendagri masih melakukan pembahasan. “Itu kan dasarnya UU nomor 5 tahun 1969 tentang pengakuan agama. Tapi akan kami konsultasikan lagi,” ujarnya.
Sementara itu Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, masyarakat tidak perlu mencemaskan polemik kolom agama dalam KTP. Dia mengatakan Kemenag akan tetap mempertahankan keberadaan kolom agama dalam KTP.
Lukman menuturkan keberadaan kolom agama penting sehingga jangan dihilangkan. “Status agama adalah sesuatu yang sangat penting. Baik dalam bernegara maupun ke masyarakat kita,” kata Lukman.
Dia yakin jika maksud dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu hanya mengosongkan, bukan menghapus kolom agama.
sumber : jpnn.com