TOTABUAN.CO PUPUS — sudah harapan Edi melihat putra ketiganya menjadi anggota TNI. Anak kebanggaannya, Yahya, yang menempuh pendidikan di Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Pariaman meninggal dunia setelah menderita sakit akibat ditendang seniornya.
Rumah sederhana yang berada di jalan lintas Padangpariaman- Lubukbasung itu, tepatnya di Kenagarian Sungai Sariak Malai V Suku, Kecamatan Batang Gasan Padangpariaman, terlihat ramai oleh pelayat.
Di rumah yang di depannya masih berdiri bendera hitam –menandakan ada kedukaan di rumah itu terlihat seorang pria paruh baya tersandar di kursi dengan wajah lunglai.
Dia adalah Edi, orangtua Yahya, siswa SUPM Pariaman yang tewas usai mendapatkan tindakan kekerasan dari seniornya, AR. Sementara dari dalam rumah terdengar isak tangis, Ely Suryanti, ibu Yahya yang terpukul dengan kepergian anak ketiga dari delapan bersaudara itu.
Menurut Edi, Yahya masuk SUPM dengan maksud agar fisiknya terlatih dan terbentuk sehingga memudahkannya ketika akan mewujudkan keinginannya menjadi anggota TNI. Namun harapan itu tinggal harapan.
“Yahya yang minta sekolah di SUPM itu. Tentu saya sebagai ayah mendukung keinginannya. Dengan harapan setelah tamat nanti akan memudahkan Yahya masuk TNI atau polisi, karena fisiknya sudah terlatih. Namun ternyata (musibah, red) ini yang terjadi,” ungkap Edi saat Padang Ekspres (Grup JPNN) mengunjungi rumah almarhum Yahya, kemarin.
Pantauan Padang Ekspres sore kemarin, Yahya baru saja dimakamkan sekitar 300 meter dari rumahnya di pandam pekuburan keluarga. Karib kerabat masih datang silih berganti ke rumah duka.
Menurut Edi, dua tahun bersekolah di SUPM, Yahya tidak pernah menceritakan bahwa dia pernah mengalami tindakan kekerasan dari seniornya. Hal sama terlihat saat Yahya pulang ke rumah Sabtu (13/9) dan kembali lagi Minggu sore (14/9) ke SUPM. Yahya tak mengeluhkan apa-apa.
Namun, Senin (15/9) salah seorang teman Yahya menelepon Edi dan mengabarkan Yahya sakit. Begitu sampai di SUPM, sang ayah langsung menanyakan kabar anaknya. Belum sempat menjawab, Yahya sudah muntah-muntah.
Saat itulah Edi menerima informasi Yahya mengalami tindakan kekerasan dari seniornya. Yahya kemudian dibawa pulang berobat ke puskesmas. Tak kunjung pulih, Yahya dibawa ke klinik dekat rumahnya.
Di klinik tersebut, Yahya dirawat hingga kemudian tak sadarkan diri. Lalu, dirujuk ke RSUP M Djamil Padang. Selama 15 hari dirawat di ruangan ICU, kondisinya turun-naik.
Yahya sempat sadar dan dibawa ke ruang rawat inap. Namun tak lama kemudian kembali tak sadarkan diri. ” Yahya mengeluhkan sakit di kepalanya,” ujar Edi yang terlihat begitu tegar.
Edi tak menyangka anaknya bakal menjadi korban kekerasan seniornya. Pasalnya, Yahya adalah anak yang tidak banyak cerita, cenderung pendiam. Meski begitu, dia memliki pergaulan luas, baik, penurut dan tak suka mencari masalah.
Hal tersebut membuat Edi larut dalam kesedihan. Namun demikian, bapak delapan orang anak ini mengaku ikhlas dengan kepergian Yahya.
Berbeda dengan Edi yang terlihat cukup tabah, ibu Yahya, Ely justru sangat terpukul dengan kepergian putranya. Ely bahkan tak mau diajak pulang saat korban dimakamkan. Sejumlah kerabat berupaya menenangkannya.
Kepedihan serupa dirasakan, Ida, bibi Yahya. Ida menyebut, saat menjalani perawatan di rumah sakit, Yahya sering mengigau. Ia merintih-rintih minta ampun.
Tak tahan mendengar rintihan keponakannya itu, Ida bertekad kalau sudah sembuh Yahya tak boleh lagi bersekolah di SUPM.
“Menjerit batin saya, mendengar rintihan Yahya minta ampun. Saya duga di alam bawah sadarnya Yahya ketakutan saat ditangani seniornya,” ujarnya.
Ida berharap kasus ini cepat ditangani pihak kepolisian sehingga tak ada lagi keluarga yang kehilangan anaknya dengan cara tragis seperti yang dialami keponakannya
Sumber: jpnn.com