TOTABUAN.CO–Direktur National Marine Institute (Namarin), Siswanto Rusdi, menilai ada salah kaprah yang keburu dipahami aparat hukum dan masyarakat dalam kasus ‘dwelling time’ di PT Pelindo II. Menurutnya, permasalahan itu adalah urusan tata kelola pelabuhan, yang sebenarnya harus diselesaikan bukan dengan aspek pidana, melainkan perdata.
“Masalahnya, banyak yang kurang mengerti bagaimana pelabuhan itu dikelola. Jadi saat Presiden Jokowi mengusung poros maritim dan konsep tol laut, baru saat itu semua orang tiba-tiba langsung melihat ke pelabuhan,” ujar Rusdi dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, JakartaPusat, Sabtu (12/9).
“Dwelling time itu hanya masalah tata kelola, dan bukan masalah pidana. Sayangnya, banyak masalah yang dikait-kaitkan, sehingga polisi melihatnya hanya dari aspek dwelling time-nya saja,” ujar Rusdi menambahkan.
Rusdi menekankan, banyaknya hal terkait pemahaman teknis dalam kasus Pelindo II ini membuat aspek hukum perdata dan pengetahuan operasional pelabuhan, menjadi sebuah keharusan dalam memahami kasus tersebut. Sebab, kebijakan pelabuhan sesuai standar prosedur operasionalnya, memerlukan pemahaman yang seirama antara pihak operasional pelabuhan dan aparat penegak hukum.
“Ini kan masalah bisnis, sehingga kalau mau diambil aspek hukumnya, semestinya perdata, jangan pidananya. Karena hal itu juga akan menyerempet hal-hal teknis, dan masih banyak hal lain yang belum dipahami aparat penegak hukum karena merupakan aspek bisnis,” ujar Rusdi.
“Misalnya, ada alat bongkar muat di pelabuhan yang memang mesti ada untuk mengantisipasi lonjakan muatan dari kapal-kapal. Nah, alat ini sudah dibeli sebagai antisipasi, walaupun belum ada lonjakan muatan. Ini kan masalah pembelian alat, tapi ditafsirkannya ada korupsi atau semacamnya,” pungkasnya.
sumber;Merdeka.com