TOTABUAN.CO – Satu bulan sudah berlalu sejak pesawat maskapai AirAsia dengan nomor penerbangan QZ8501 jatuh di perairan Karimata, Kalimantan, 28 Desember 2014. Pesawat yang bertolak dari Bandara Juanda, Surabaya menuju Singapura itu mengangkut 155 penumpang dan tujuh kru.
Badan SAR Nasional atau Basarnas bergerak cepat setelah QZ8501 kehilangan kontak dengan menara pengawas. Tim gabungan Basarnas, polisi dan relawan dikerahkan ke lokasi dugaan hilangnya QZ8501, yang ketika itu disebutkan antara Belitung dan Kalimantan.
Sejumlah negara sahabat yang warganya berada dalam QZ8501 beramai-ramai menawarkan bantuan. Basarnas menerima dengan senang hati.
Dua hari berselang pada 30 Desember, Basarnas beserta bantuan asing memulai pencarian gabungan. Beberapa jenazah ditemukan di Teluk Kumai, dekat Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Penemuan ini mengonfirmasi QZ8501 terjatuh di sekitar Selat Karimata.
Jenazah yang ditemukan dibawa ke Pangkalan Bun untuk diidentifikasi tim Disaster Victim Identification (DVI) Mabes Polri. Proses identifikasi dilakukan dengan mengambil data ante-mortem dari keluarga korban dan post-mortem dari jenazah.
Pengamat penerbangan internasional Greg Waldron mengakui kemampuan kerja tim SAR Indonesia dalam mencari pesawat AirAsia QZ8501. Menurutnya Indonesia memiliki kemampuan paling mumpuni di antara negara Asia lainnya.
“Indonesia memiliki banyak pengalaman dengan bencana. Salah satu hal di mana Indonesia memiliki kemampuan adalah menyelidiki kecelakaan,” ujar Waldron, Managing Editor Asia FlightGlobal dalam wawancara dengan The Wall Street Journal.
Waldron menyarankan Indonesia mencari pesawat Airbus A320 di wilayah pesawat terakhir dilaporkan. “Namun, pencarian melalui udara juga harus memperhatikan cuaca buruk. Hal itu bisa mengurangi jarak pandang dan memperlambat operasi,” jelasnya.
Sementara Mark Martin dari Martin Consulting yang bergerak di bidang penasihat penerbangan, menilai seharusnya Indonesia mengerahkan drone atau pesawat tanpa awak untuk mempercepat pencarian.
Pada 7 Januari 2015, Basarnas menemukan ekor pesawat QZ8501 di area pencarian yang sudah ditetapkan sebelumnya. Ekor pesawat berhasil diangkat dan dikirim ke Pangkalan Bun. Satu demi satu jenazah kembali ditemukan di area pencarian.
Sepekan kemudian, Angkatan Laut Singapura menemukan badan bagian tengah atau fuselage QZ8501. Dalam foto yang diambil Singapura, terlihat badan pesawat dengan tulisan Now Everyone Can Fly, yang merupakan slogan AirAsia.
Cockpit Voice Recorder dari Kotak Hitam atau Blackbox QZ8501 ditemukan dua hari sebelumnya pada 12 Januari. Basarnas menyerahkan Blackbox ke Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) untuk menganalisis isi rekaman CVR.
Meski badan pesawat ditemukan, Basarnas kesulitan mengangkatnya. Balon udara, yang digunakan dalam pengangkatan ekor pesawat, belum mampu mengangkat fuselage yang berbobot masif. Badan pesawat sempat terangkat dari dasar laut, namun kembali tenggelam.
Mantan kepala Badan Penerbangan Federal AS Steven Wallace sempat mengatakan QZ8501 akan lebih mudah ditemukan ketimbang MH370. Hal ini karena otoritas Indonesia telah menentukan koordinat terakhir dimana QZ8501 kehilangan kontak, yakni di perairan dangkal dalam lingkup area yang tak terlampau luas.
“Seperti sangat tidak mungkin pencariannya akan memakan banyak waktu seperti Malaysia MH370,” sebut Wallace.
“Saya tidak akan terkejut jika pesawat ini nantinya ditemukan dalam beberapa hari ke depan, karena tim pencari tahu dimana titik jatuhnya, kedalaman air juga hanya 150 kaki, berbeda dengan Samudera India yang memiliki kedalaman 10 ribu hingga 20 ribu kaki,” tambah dia.
Sejauh ini, Basarnas telah menemukan 70 jenazah korban tragedi QZ8501, dengan 92 lainnya masih dinyatakan hilang.
Basarnas telah menarik TNI dalam operasi gabungan, namun menegaskan pencarian jenazah dan pengangkatan badan QZ8501 masih berlanjut.
sumber: metrotvnews.com