INTERNASIONAL (totabun.co) – Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia terus memberi contoh bahwa demokrasi, Islam, dan modernitas dapat hidup bersama dalam simbiosis positif. Indonesia akan selalu menyuarakan secara tegas modernitas sebagai cara terbaik melawan ekstremisme.
Demikian ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada pidato penerimaan penghargaan “World Statesman Award” dari The Appeal of Conscience Foundation (ACF) di New York, Kamis (30/5) malam waktu setempat atau Jumat pagi WIB. Penghargaan diserahkan mantan Menlu AS, Henry A Kissinger disaksikan Pendiri dan Presiden ACF Rabbi Arthur Schneier, Chairman and CEO United Technologies Corporation Louis R Chenevert, Wakil Sekjen PBB Jan Elliasson, Ibu Ani Yudhoyono, dan ratusan undangan yang memenuhi The Pierre Grand Ballroom, New York.
Presiden menyampaikan penghargaan kepada ACF atas dedikasinya dalam membangun jembatan bagi perdamaian dan saling pemahaman bagi kemanusiaan. “Dengan segala kerendahan hati saya terima penghargaan ACF ini bagi Indonesia,” kata SBY.
Rabbi dan Henry dalam sambutan mereka memuji kepemimpinan SBY dalam memajukan kebebasan, demokrasi, toleransi, dan penghargaan atas hak asasi manusia di Indonesia. Rabbi mengatakan penghargaan kepada SBY berdasarkan studi mendalam, baik pengamatan langsung maupun masukan dari berbagai pihak.
Sebagai bangsa yang dibangun atas dasar keharmonisan agama, kata SBY, Indonesia akan menjadi yang terdepan dalam kerja sama antarkeyakinan. Tahun depan, Indonesia akan menjadi tuan rumah konferensi Aliansi Peradaban (Alliance of Civilizations) di Bali. Indonesia akan secara aktif memajukan persatuan di antara agama-agama anak cucu Nabi Ibrahim, sehingga akhirnya dapat hidup bersama dalam damai seutuhnya di Abad ke-21 ini.
Indonesia, lanjut SBY, tidak akan menolerir setiap bentuk kekerasan yang dilakukan oleh kelompok mana pun dengan mengatasnamakan agama. Indonesia tidak akan membiarkan penodaan tempat-tempat ibadah agama mana pun atas alasan apa pun. “Kami akan selalu melindungi kaum minoritas dan memastikan tidak ada yang terdiskriminasi. Kami akan memastikan bahwa mereka yang melanggar hak-hak orang lain akan diganjar hukuman yang setimpal,” tegas Presiden.
Sebagai bangsa yang terdiri atas ratusan kelompok etnis, serta berbagai macam agama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan kepercayaan lainnya, Indonesia akan terus berusaha untuk memastikan bahwa bangsa Indonesia dapat hidup berdampingan dalam kebebasan dan persaudaraan. Indonesia akan senantiasa menjadi negara dengan tempat ibadah yang berlimpah.
Saat ini, Indonesia memiliki lebih dari 255.000 masjid, lebih dari 13.000 pura Hindu, sekitar 2.000 kuil Buddha, dan lebih dari 1.300 kuil Konghucu. “Dan mungkin akan mengejutkan Anda. Kami memiliki lebih dari 61.000 gereja di Indonesia, lebih banyak dibandingkan di Inggris Raya atau Jerman. Dan banyak dari tempat-tempat ibadah ini dapat ditemui di sepanjang jalan yang sama,” ungkap SBY.
Di lingkungan eksternal, demikian Presiden, Indonesia juga akan terus menjadi kekuatan bagi perdamaian dan kemajuan. Sebagai bangsa yang ikut andil bagi perdamaian dunia, Indonesia akan terus mengirimkan misi-misi perdamaian ke wilayah-wilayah konflik di seluruh dunia. “Sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar, kami akan terus melakukan yang terbaik untuk membangun jembatan antara dunia Islam dan Barat,” ujar Presiden.
Masyarakat Toleran
Membangun masyarakat yang toleran, demikian SBY, merupakan ranah seni mengelola negara yang baik. Diperlukan kombinasi yang tepat antara persuasi dan penegakan hukum. Apabila tindak kekerasan terjadi, maka keadilan harus ditegakkan. Namun, dari pengalaman kami di Indonesia, penegakan hukum semata tidaklah cukup. Hati dan pikiran juga harus dimenangkan. Stereotipe lama harus dienyahkan. Budaya toleransi dan pendekatan yang inklusif harus senantiasa didorong.
“Ini suatu yang tidak dapat dilakukan oleh seorang pemimpin semata. Ini adalah sesuatu yang memerlukan upaya bersama dari sejumlah besar pemimpin dari semua kalangan dan di semua bidang untuk menjalankan kenegarawanannya dalam memimpin dan menginspirasi para pengikutnya,” ungkap SBY.
Menurut SBY, pada akhirnya, pemimpin yang baik adalah mereka yang berani berdiri di garis terdepan dan memberikan sinar pengharapan untuk masa depan.
Presiden dalam pidatonya sempat menyampaikan ungkapan duka cita yang mendalam atas bencana tornado Oklahoma yang menelan banyak korban dan menimbulkan penderitaan, juga duka cita atas pengeboman keji di Boston sebelumnya. Dia yakin Amerika akan kembali memperlihatkan daya tahannya, bahkan akan menjadi lebih kuat lagi.
Rasa prihatin juga disampaikan Presiden atas terjadinya pembunuhan brutal terhadap seorang prajurit muda Inggris di London baru-baru ini. “Kejadian-kejadian seperti ini semakin mempertegas tantangan yang kita hadapi bersama. Tantangan perdamaian. Tantangan keadilan, termasuk keadilan ekonomi. Tantangan kebebasan, demokrasi dan hak asasi manusia. Tantangan untuk mencapai hubungan antarperadaban yang harmonis. Tantangan untuk mengentaskan kemiskinan global melalui pembangunan berkelanjutan,” papar SBY.
Namun, pada saat yang sama terdapat kabar baik, yaitu semangat globalisme baru di antara bangsa-bangsa dan masyarakat madani yang diharapkan akan dapat meningkatkan upaya internasional dalam menghadapi berbagai tantangan.
Sebagai bagian dari globalisme baru ini, SBY mendapat kehormatan menjadi salah satu ketua bersama Panel Tingkat Tinggi PBB, yang pada Kamis pagi waktu telah menyerahkan laporan akhirnya kepada sekretaris jenderal PBB mengenai visi dan bentuk agenda pembangunan global pasca-2015.
“Namun upaya-upaya global ini tidak akan mencatat kemajuan apabila para pemimpin lokal dan nasional tidak memainkan peranan mereka. Dan pada tingkat nasional dan lokal itulah, tantangan-tantangan ini dapat menjadi lebih rumit,” ujar Presiden.
Salah satu contohnya, kata SBY, adalah Indonesia. Indonesia adalah salah satu bangsa yang sangat majemuk kelompok etnisnya di dunia, merupakan tempat tinggal bagi seperempat miliar manusia yang menganut lima agama utama di dunia dan tersebar di lebih dari 17.000 pulau.
Sejarah Panjang
Sejak hari pertama kemerdekaan, demikian SBY, bangsa Indonesia memiliki aspirasi untuk menjadi bangsa yang bersatu di dalam perbedaan. Satu bangsa meski warga negaranya terdiri atas berbagai suku, keyakinan dan nilai-nilai, hidup bersama dalam harmoni. Satu bangsa yang dibangun atas ketentuan hukum.
“Semua prinsip utama ini tercantum di dalam Konstitusi kami, dan di dalam ideologi bernegara: Pancasila. Dan kemampuan kami hidup berdasarkan nilai-nilai luhur ini, akan menentukan tidak saja kemajuan, namun juga keberlanjutan kita sebagai satu bangsa,” kata Presiden.
Indonesia telah menempuh jalan yang panjang untuk mewujudkan visi tersebut. Namun demikian, pencapaiannya tidaklah mudah. Indonesia melakukannya dengan kerja keras, keberanian, dan kegigihan.
Di awal transisi demokratis Indonesia, 15 tahun yang lalu, kata SBY, Indonesia mengalami krisis multidimensional. Terjadi keruntuhan ekonomi, ketidakstabilan politik, kerusuhan sosial, separatisme, konflik komunal, kekerasan antaretnis, dan erorisme. Situasi sedemikian parahnya, sehingga Indonesia diprediksi akan menjadi Balkan yang baru alias hancur berkeping-keping.
Tetapi bangsa Indonesia dengan gigih menantang skenario kehancuran tersebut. Indonesia menyelesaikan permasalahan satu per satu. Indonesia menyelesaikan konflik separatisme di Aceh yang telah berlangsung selama 30 tahun.
“Kami memperbaiki hubungan dengan Timor-Leste. Indonesia mengembalikan stabilitas politik dengan memperkuat institusi-institusi demokrasi. Kami memberlakukan hukum untuk mengakhiri diskriminasi di Indonesia. Ekonomi kami yang pernah sakit telah pulih dan menjadi ekonomi terbesar di Asia Tenggara, dengan tingkat pertumbuhan tercepat kedua di antara negara-negara anggota G-20 setelah Tiongkok. Dan masyarakat madani yang berkembang menjadi sandaran demokrasi kami. Indonesia pun kemudian sering disebut sebagai salah satu kisah transformasi yang paling berhasil di abad ke-21,” ungkap SBY.
Dengan sukses dalam demokrasi, Indonesia telah memberikan kemanfaatan yang strategis tidak hanya bagi kawasan ASEAN, tapi juga dunia. “Kami mengalami banyak kemajuan yang menggembirakan.
Sungguhpun demikian, demokrasi kami tetap merupakan satu proses yang berkelanjutan. Kebangsaan kami terus-menerus diuji. Menjaga perdamaian, tata tertib, dan harmoni adalah sesuatu yang tidak dapat dilakukan secara sambil lalu,” tegas SBY.
Konsistensi ACF
ACF bergerak di bidang kebebasan beragama dan HAM di seluruh dunia. Organisasi ini telah lama mengusung prinsip, “Kejahatan mengatasnamakan agama adalah kejahatan terbesar melawan agama itu sendiri.” Rabbi Arthur Schneier dalam sambutannya menegaskan, prinsip ACF, bahwa perjuangan menegakkan HAM dan kehidupan toleransi hanya dapat dicapai dengan mendorong dialog dan semangat saling pengertian.
Setelah tragedi 11 September 2001, ACF memobilisasi para pemimpin agama di seluruh dunia untuk berdiri melawan terorisme dan menggunakan pengaruh mereka untuk mengakhiri kekerasan dan mendorong terciptanya toleransi. Meski tidak sepi dari kritik, ACF secara konsisten memberikan penghargaan kepada mereka yang dianggap layak.
Berikut para beberapa penerima “World Statesman Award”
2013 : Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
2012 : PM Kanada Stephen Harper
2011 : Presiden Korsel Lee Myung-bak
2010 : PM India Manmohan Singh
2009 : PM Inggris Gordon Brown
2008 : Presiden Prancis Nicolas Sarkozy
2007 : Kanselir Jerman Angela Merkel
2006 : Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva
2005 : PM Australia John Howard
2004 : PM Swedia Goran Persson
2003 : Presiden Spanyol Jose Mara Aznar
2002 : PM Kanada Jean Chretien
2001 : Presiden Korsel Kim Dae-jung
Penulis: P-12/AB
Sumber: suara Pembaruan.com / merdeka.com