TOTABUAN.CO KOTAMOBAGU – Kejaksaan Negeri Kotamobagu menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) terkait kasus dugaan Korupsi Pasar Genggulang. Penyidik Kejaksaan beralasan, dikeluarknnya SKP2 itu karena tidak cukup bukti. Padahal sebelumnya, dua orang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Praktisi hukum Bolaang Mongondow Raya (BMR) Yosie Monoarfa mengatakan, dikeluarkannya SKP2 oleh penyidik Kejaksaan Negeri Kotamobagu sah -sah saja asalkan harus memiliki dasar yang kuat dan jelas, lantas dalam hal apa SKP2 diterbitkan dan ini akan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap Institusi Kejaksaan. kenapa, karena telah terjadi tindak pidananya.
Padahal seluruh rangkaian proses penyidikan, penyidik Kejaksaan Negeri Kotamobagu menetapkan dua orang sebagai tersangka, namun belakangan dihentikan penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti.
“Proses penyidikan itu sudah dilakukan. Mulai dari mendengar keterangan saksi, perhitungan nilai anggaran, sehingga menemukan alat bukti sampai menemukan tersangkanya,” kata Yosie.
Baca juga: Elwin: Kasus Korupsi Pasar Genggulang Bisa Dibuka Lagi
Baca juga: Menunggu Kelanjutan Penanganan Kasus Korupsi Pasar Genggulang
Baca juga :Yakin Masih Ada Tersangka Lain Kasus Dugaan Korupsi Pasar Genggulang
Baca juga Kejaksaan Tetapkan Satu Pejabat Pemkot Kotamobagu Sebagai Tersangka
Dia mengatakan, bahwa penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri dari fungsi penyidikan. Penyelidikan katanya, merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Sehinggga, fungsi penyelidik adalah menemukan apakah suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana bisa dilakukan penyidikan lebih lanjut oleh penyidik. Karena itulah diperlukan proses penyidikan guna mengumpulkan bukti yang membuat terang suatu tindak pidana.
“Kan setelah cukup bukti, ditetapkan tersangka,” jelasnya.
Meski Kejaksaan diberi wewenang untuk menerbitkan SKP2 harus dengan dua alasan, yaitu penuntutan perkara dihentikan demi kepentingan hukum karena tidak cukup bukti dan dihentikan demi hukum. Hal itu diatur dalam Pasal 32 (c) UU Nomor 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Pasal 140 KUHAP. Namun harus mendasar memiliki alasan yang kuat, tepat dan masuk akal.
Secara gamblang Yosie mengatakan, penanganan kasus korupsi telah dijelaskan dalam 13 pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur seperti perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
“Kenyataannya tersangka oknum pejabat dan kontraktor ditangani dengan cara yang biasa, bahkan dua termohon tidak dilakukan penahanan,” sebutnya.
Dia berharap penggiat anti korupsi dan praktisi hukum di BMR terbuka untuk melayangkan gugatan praperadilan terkait penerbitan SKP2 tersebut. Hal ini untuk kepentingan rakyat di antaranya melawan korupsi dan ketidakadilan, imbuh Yosie.
Sebelumnya Kepala Kejaksaan Negeri Kotamobagu Elwin Agustian Khahar menjelaskan, bahwa kasus tersebut telah diterbitkan SKP2 pejabat sebelumnya.
Namun kendati begitu, kepada wartawan Elwin mengatakan, agar persoalan ini, dihadapi dengan proses hukum juga, yakni melalui jalur pengadilan. Ewlin menjelaskan, kasus tersebut bisa dibuka setelah ada putusan jika ada gugatan.
“Kalau ada masyarakat yang merasa tidak puasm silahkan layangkan gugatan,” katanya.
Dia menjelaskan, setiap warga negara berhak untuk mengajukan gugatan praperadilan jika meras tidak puas untuk membatalkan SKP2. Menurutnya, lewat gugatan itu, akan membuktikan apakah bisa dibuka atau tidak.
“Kan nantinya ketika gugatan praperadilan atas SP3 telah dilayangkan di pengadilan, di situ akan kita liat apakah bisa dibuka lagi atau tidak. Tergantung putusan pengadilan,” jelasnya.
Elwin sendiri diketahui belum sepekan bertugas sebagai Kejari Kotamobagu karena sebelumnya menjabat sebagai Kejari Bengkulu Utara. (*)