TOTABUAN.CO — Sultan Hamengku Buwono X mendapat simpati dari masyarakat dan pengguna media sosial. Dengan legowo raja Yogyakarta ini ikut minggir saat rombongan Presiden Joko Widodo (Jokowi) lewat.
Dia juga menolak ikut rombongan dan dikawal voorijder. Sikap egaliter Sultan malah akhirnya menimbulkan rasa hormat dari rakyat.
Dulu ayah Sultan X, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga dikenal egaliter dan merakyat. Kemana-mana Sultan HB IX menyetir mobilnya sendiri.
Tapi tanpa jasa Sultan HB IX entah apakah Republik Indonesia masih berdiri sampai kini atau tidak. Di awal kemerdekaan dan perang mempertahankan kemerdekaan, jasa Sultan sangat besar.
Sampai-sampai Perdana Menteri Mohammad Natsir menyebut Sultan HB IX sebagai penjaga gawang perjuangan kemerdekaan.
Kisah ini ditulis dalam buku Tahta Untuk Rakyat terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta tahun 2011.
Dulu saat Indonesia menyatakan diri baru merdeka, Sultan HB IX langsung mengucap sumpah setia pada pemerintahan Republik Indonesia. Sultan menyatakan Ngayogyakarta Hadiningrat berbentuk kerajaan yang merupakan daerah istimewa, bagian dari RI.
Tidak semua kerajaan di Indonesia langsung melakukannya. Ada beberapa malah kemudian memihak Belanda yang kemudian datang lagi.
Presiden Soekarno langsung menyambutnya dengan gembira. Dalam surat balasan, Soekarno yakin Sultan akan mencurahkan segala kemampuan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Benar saja, saat kondisi genting akibat ulah Belanda, ibu kota RI dipindahkan ke Yogyakarta tanggal 3 Januari 1946. Para pemimpin RI mengungsi ke Yogya, Sultan lah yang memberikan rumah dan kantor untuk mereka selama di Yogyakarta.
Ketika Belanda menyerang Yogyakarta 19 Desember 1948, Sultan tetap tinggal di Yogya. Sultan juga yang pasang badan saat Jenderal Meyer dan Kolonel Van Langen ingin menggeledah keraton Yogya untuk mencari gerilyawan. Dia tak gentar walau moncong meriam tank-tank Belanda sudah diarahkan ke keraton.
“Kamu hanya bisa memasuki Keraton saya dengan melangkahi mayat saya,” kata Sultan HB IX tegas.
Kekerasan hati Sultan ini yang membuat dua opsir Belanda ini terpaksa meninggalkan istana dengan tangan kosong.
Tak cuma mendukung perjuangan bersenjata, Sultan juga membagi-bagikan uangnya untuk membantu keluarga para pejuang dan pejabat RI yang ditangkap Belanda. Saat itu memang perekonomian Indonesia morat-marit karena terus diserang Belanda.
Istri proklamator Mohammad Hatta sangat terharu saat seorang suruhan Sultan memberikan uang 500 gulden.
“Dengan uang pemberian Sri Sultan saya terlepas dari kesukaran hidup selama pendudukan tentara Belanda,” kenang Rahmi Hatta.
Belanda kemudian mencoba mempengaruhi Sultan agar mau bekerja sama. Apa yang ditawarkan Belanda sangat menggiurkan. Belanda menyangka asal harganya cocok, Sultan mau membelot.
Sejarawan George McT Kahin menuliskan pertama Belanda menawarkan untuk mendirikan kembali satu daerah yang sama dengan kesultanan Mataram yang lama (sebelum dipecah). Meliputi Yogyakarta, Surakarta, Kedu, Banyumas, dan Madiun. Sultan akan menjadi wali negaranya.
Kemudian daerah ini diperluas lagi dengan sisa bagian Jawa Tengah dan seluruh Jawa Timur termasuk Madura.
Melihat Sultan tak tertarik, Belanda kemudian menambah tawarannya. Kali ini ditambah dengan sejumlah besar saham di perusahaan pelayaran Belanda dan perusahaan kereta api.
“Sultan segera menolak tawaran ini, dan Belanda akhirnya terpaksa mengakui bahwa mereka telah salah menilai Sultan Hamengku Buwono IX,” tulis Kahin.
Sultan meneruskan perjuangannya untuk mengusir Belanda. Dialah yang sebenarnya punya ide mengobarkan serangan umum 1 Maret, bukan Soeharto.
Serangan ini yang kemudian menjadi sorotan dunia dan menekan Belanda untuk mengakui kedaulatan Indonesia.
sumber : merdeka.com