TOTABUN.CO JAKARTA— Sehari setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tepatnya tanggal 22 Februari 2013, Anas Urbaningrum mengundurkan diri sebagai Ketua Umum DPP Partai Demorkat. Anas yang terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat dalam Kongres II di Bandung, Jawa Barat, pada 20-23 Mei 2010 dituduh KPK menerima gratifikasi terkait proyek Hambalang dan proyek-proyek lainnya, serta pidana pencucian uang.
Anas membacakan sendiri nota pembelaan atau pledoi di Pengadilan Tipikor Jakarta. Berikut isi pledoi Anas tersebut.
NOTA PEMBELAAN
(PLEDOI)
ANAS URBANINGRUM
Atas
Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Komisi Pemberantasan Korupsi
Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
18 September 2014
Assalamualaikum Wr. Wr.
Salam sejahtera untuk kita sekalian
Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim,
Yang Terhormat Jaksa Penuntut Umum,
Yang Terhormat Penasihat Hukum,
Para hadirin-hadirat dan para wartawan yang saya hormati.
Hari ini adalah saat bersejarah bagi saya karena akan membacakan Nota Pembelaan (Pledoi) pribadi selaku Terdakwa dipersidangan ini. Karena itulah saya mengucapkan terima kasih kepada Ketua Majelis Hakim yang berkenan memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan Nota Pembelaan pada persidangan yang terhormat ini. Terima kasih juga saya sampaikan atas jalannya persidangan yang baik, sungguh-sungguh, terbuka, bebas dan berhasil membuka fakta-fakta penting terkait dengan kasus yang didakwakan kepada saya. Tidak keliru kalau saya menyebut persidangan ini sebagai persidangan yang berkualitas.
Persidangan yang berkualitas tidak akan hadir tanpa kepemimpinan sidang yang berkualitas pula. Kualitas persidangan sanagat ditentukan oleh kesungguhan dan kecakapan Ketua Majelis dan dibantu oleh para Anggota Majelis di dalam memandu dan memimpin jalannya persidangan. Kami semua bisa menilai dan merasakannya, demikian pula publik yang mengikuti persidangan ini, baik yang hadir secara langsung maupun yang mengikuti lewat pemberitaan media massa.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum yang telah menjalankan tugasnya secara amat sering. Sangat mungkin kasus yang didakwakan dan proses persidangan ini bagi Jaksa Penuntut Umum adalah sesuatu yang khas dan tidak akan ditemukan lagi pada persidangan-persidangan yang lain. Saya juga menghormati kerja keras Jaksa Penuntut Umum yang menyebut berangkat dari kepentingan obyektif, meskipun dijalankan dengan metode yang subyektif dan pada akhirnya tidak menghormati obyektifitas yang terbentang jelas di dalam persidangan ini.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Penasihat Hukum yang sabar, telaten dan gigih mendampingi saya, baik dalam proses penyidikan maupun persidangan. Saya menghargai toleransi dan pengertian para Penasihat Hukum kepada saya yang berusaha belajar maksimal di dalam ikhtiar agar terbentang terang fakta-fakta ynag sesungguhnya terkait dengan kasus yang didakwakan kepada saya.
Terima kasih tidak lupa saya sampaikan kepada para sahabat, baik yang hadir maupun tidak hadir di persidangan, yang tulus memberikan doa dan simpati serta merindukan berlakunya keadilan. Ketika Ali bin Abi Thalib ditanya tentang sahabatnya yang sangat banyak, beliau menjawab akan menghitung jumlah sahabatnya pada saat terkena musibah.
Terima kasih juga layak disampaikan kepada rekan-rekan wartawan yang selalu mengikuti persidangan ini, baik yang berani memberitakan secara obyektif dan berimbang maupun yang sudah dibekali dengan framing negatif. Tentu saja obyektifitas sangat dimuliakan dalam kehidupan pers yang sehat dan bertanggung jawab.
Yang Mulia Majelis Hakim,
Yang Terhormat Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat Hukum,
Hadirin yang saya hormati.
Pada bagian Pendahuluan Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum memberikan beberapa catatan, mulai tentang Metode Klarifikasi, Membangun Persepsi, Kualitas keterangan saksi M. Nazaruddin, Kepentingan Politik, Keterikatan Psikologis Saksi dan Terdakwa dan Bukan Mengadili Kongres.
Menghadirkan Fakta Yang Benar
Jaksa Penuntut Umum mempersoalkan cara Terdakwa dan Penasihat Hukum yang menanyakan kepada saksi atas keterangan saksi di dalam BAP yang belum dihadirkan di persidangan. Padahal hal tersebut dilakukan dalam rangka mendapatkan klarifikasi dan penjelasan terkait dengan tuduhan, fitnah dan cerita bohong yang menyangkut Terdakwa dan para saksi yang dimintakan klarifikasi dan tanggapan. Sementara klarifikasi dan tanggapan jelas-jelas dilakukan di dalam persidangan kepada saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum dan di bawah sumpah. Padahal pada saat yang sama, Jaksa Penuntut Umum selalu memulai pertanyaan kepada saksi dengan pertanyaan “apakah pernah diperiksa penyidik” dan “apakah menandatangani BAP”, serta “apakah keterangan yang di dalam BAP itu benar”. Kita semua paham bahwa keterangan yang bernilai secara hukum adalah keterangan yang diberikan di bawah sumpah di dalam persidangan. Karena itulah klarifikasi atas fitnah dan kebohongan di dalam BAP adalah penting di dalam persidangan ini.
Sementara itu klarifikasi untuk semakin mendalami keterangan saksi agar didapatkan keterangan yang otentik dan sesungguhnya adalah metode yang sahih di dalam pencarian kebenaran materiil di dalam persidangan. Mendalami dan mengklarifikasi keterangan saksi atas materi yang sama dan sudah ditanyakan Jaksa Penuntut Umum adalah bukan untuk mengulang-ngulang dan bertele-tele. Justru hal tersebut dilakukan untuk kontestasi yang adil dan berimbang di dalam mendalami keterangan saksi, sehingga dapat terungkap keterangan yang lengkap dan benar yang pada akhirnya diserahkan kepada Majelis Hakim untuk menilainya.
Jika Jaksa Penuntut Umum menilai metode klarifikasi sebagai sebuah penyesatan fakta, hal itu adalah penilaian yang keliru. Justru sebaliknya, kalau jawaban-jawaban saksi atas pertanyaan Jaksa Penuntut Umum yang sudah terarah berdasarkan BAP dan dipilih khusus untuk menjustifikasi dakwaan tidak di dalami lebih lanjut, maka malah berpotensi penyesatan fakta. Di dalam persidangan yang terhormat inilah selayaknya terjadi kontestasi yang adil dan terbuka, sehingga kebenaran fakta-fakta yang otentik dapat terungkap secara terang benderang. Keengganan untuk melakukan kontestasi dalam bertanya kepada para saksi dari berbagai sudut klarifikasi dan penjelasan justru mengundang oertanyaan tersendiri. Di dalam keawaman saya di bidang hukum, saya memahami persidangan adalah arena yang adil dan terbuka untuk kontestasi fakta-fakta secara lengkap dan gamblang sebagai jalan menemukan kebenaran materiil.
Korban Opini
Jaksa Penuntut Umum melakukan penilaian subyektif bahwa Terdakwa dan Penasihat Hukum terjebak dalam upaya membangun persepsi, dimana penilaian tersebut dikaitkan dengan karakteristik Terdakwa sebagai seorang politisi.
Adalah rangkaian fakta yang tidak terbantahkan bahwa sejak tahu 2011 Terdakwa menjadi korban opini yang tujuannya adalah membangun persepsi tentang kejahatan korupsi yang dilakukan oleh Terdakwa pada proyek Hambalang. Persepsi ini dibangun secara sistematis, dalam waktu yang panjang, dilakukan secara bertalu-talu dan bergelombang. Bahwa seolah-olah benar Terdakwa menerima gratifikasi mobil Harrier dari Adhi Karya atas proyek Hambalang.
Inilah yang kemudian menjadi dasar penetapan sebagai tersangka, kemudian dikembangkan ke segala arah pada saat penyidikan dan kemudian akhirnya dibawa ke persidangan. Dalam proses persidangan itulah yang juga dipaksakan ke dalam dakwaan dan ujungnya ada di dalam Surat Tuntutan sesuatu yang bukan gratifikasi dan bukan pemberian dari Adhi Karya dipaksakan sebagai gratifikasi dan dimulai dengan cara membangun opini secara sistematis.
Hal yang sama adalah tentang persepsi yang dibangun di dalam dakwaan bahwa sejak tahun 2005 Terdakwa sudah mempersiapkan diri untuk menjadi Presiden. Selain tidak masuk akal juga tidak ada bukti yang berkualitas dan dapat dipercaya, kecuali hanya cerita karangan M. Nazaruddin dan partner kerjanya yang sengaja memberikan keterangan sesuai dengan arahan M. Nazaruddin, tetapi ketika didalami di persidangan justru memberikan keterangan yang berbeda.
Persepsi tentang persiapan untuk menjadi calon Presiden juga dibangun Jaksa Penuntut Umum melalui beberapa SMS yang ada di dalam HP istri saya, Athiyyah Laila, dari beberapa orang yang mengirimkan pesan SMS. Padahal kalau sedikit cermat dan jernih dalam membaca pesan SMS tersebut adalah jelas isinya doa dan harapan dari para pengirim pesan. Bukan doa, harapan dan permintaan dukungan dari istri saya, apalagi dari Terdakwa. Siapapun dengan mudah bisa memahami bahwa penerima pesan SMS tidak bisa menolak pesan yang masuk, termasuk materi pesannya. Materi pesan, apakah doa, harapan, permintaan, atau bahkan kritik dan cacian adalah urusan dan terserah kepada pengirim pesan. Akan berbeda kalau materi pesan dikirim dari dan oleh saya (Terdakwa). Justru dengan fakta-fakta ini, Jaksa Penuntut Umum, berusaha membangun persepsi seolah-olah itu alat bukti yang layak diyakini sebagai kebenaran.
Terhadap data dan informasi dan pemberitaan dari media tentang “Adik Nazaruddin yang diduga mengarahkan saksi”, hal itu dibawa ke persidangan untuk mendapatkan kejelasan dan bukan untuk membangun persepsi dan apalagi intimidasi. Apalagi pada persidangan sebelumnya yang menghadirkan saksi yang lain (Clara Maeureen) terungkap bahwa M. Nazaruddin punya kebiasaan mengarahkan, mengancam dan memaksa para pegawainya untuk memberikan keterangan yang tidak benar. Demikian juga dengan kesaksian Yulianis dan Mindo Rosalina Manulang, serta Oktarina Furi.
Selain itu, secara sepihak menilai apa yang sesungguhnya dilakukan Penasihat Hukum dalam rangka pembelaan yang sah dan dalam upaya mendapatkan kejelasan di depan persidangan dengan karakteristik Terdakwa sebagai politisi malah lebih mudah dipandang sebagai bagian dari kerja Jaksa Penuntut Umum untuk membangun persepsi tentang Terdakwa. Seolah-olah dunia politik dan politisi hanya bergelut dengan persepsi. Adalah sebuah kesalahan mendasar jika ada yang menilai dunia politik dan politisi hanya bekerja pada wilayah persepsi, hanya mementingkan persepsi. Mendegradasi dunia politik sebagai persepsi adalah merendahkan dunia politik dan kaum politisi.
Kualitas Keterangan Saksi Pinokio?
Adalah kewenangan KPK untuk memberikan gelar justice collabolator kepada M. Nazaruddin, meskipun LPSK pernah menolak permohonan yang sama. Adalah hak Jaksa Penuntut Umum untuk percaya kepada kesaksian M. Nazaruddin atau percaya terpaksa karena menjadi satu-satunya cara untuk berusaha membuktikan dakwaan kepada Terdakwa. Adalah hak Nazaruddin untuk membuat keterangan-keterangan yang berisi fitnah, fiksi dan serangan-serangan tidak berdasar. Adalah hak M. Nazaruddin untuk memberikan keterangan di BAP dan di persidangan yang tidak mengandung nilai kebenaran. Juga adalah hak M. Nazaruddin untuk membuat skenario dan mengarahkan, memaksa dan bahkan mengancam staf-stafnya untuk memberikan keterangan bohong tentang Terdakwa. Adalah hak M. Nazaruddin untuk membuat skenario dan menjalankan persekongkolan jahat untuk membuat Terdakwa dipaksa bersalah secara hukum. Tidak ada yang perlu dipersoalkan.
Yang menjadi masalah adalah ketika keterangan dan kesaksian M. Nazaruddin otomatis dianggap sebagai kebenaran dan dianggap berkualitas karena pernah bersaksi untuk perkara Angelina Sondakh, Mindo Rosalina Manulang, Wafid Muharam, Teuku Bagus M. Noor dan Andi Mallarangeng. Memandang seluruh kesaksian M. Nazaruddin sebagai kebenaran adalah tindakah “gebyah-uyah” atau penyamarataan yang tidak bisa dibenarkan. Amat jelas bahwa setiap perkara mempunyai situasi dan kondisi yang khas. Karena itu materi kesaksian dan keterangan juga pasti sesuai dengan perkara masing-masing.
Dalam perkara yang didakwakan kepada saya (Terdakwa) jelas sejak awal M. Nazaruddin berniat dan secara sadar menyusun serta menjalankan skenario agar saya masuk dalam pusaran kasus hukum, sejak kasus Wisma Atlet dan kasus PLTS yang melibatkan Neneng Sri Wahyuni. Beberapa keterangan saksi yang dihadirkan JPU di persidangan ini juga terungkap dengan jelas agar saya bisa ditarik pada kasus Hambalang, dengan cara meminta, mengarahkan dan menekan para stafnya untuk memberikan keterangan yang tidak benar. Niat jahat yang kemudian dijalankan inilah yang seharusnya dipertimbangkan di dalam menilai keterangan dan kesaksian M. Nazaruddin, baik yang dituangkan di dalam BAP maupun yang disampaikan di depan persidangan.
Apakah keterangan saksi yang sejak awal punya rencana untuk mencelakakan secara hukum dan kemudian rela untuk menjadi Pinokio demi memenuhi kemarahan dan dendamnya, atau demi melayani kepentingan tertentu, dapat dijadikan setara dengan “sabda” Nabi atau keterangan saksi-saksi yang jujur dan tanpa agenda tersembunyi? Akal sehat kita dan nalar keadilan hukum mestinya menolak. Setidaknya bisa bersikap kritis dan sangat selektif dengan keterangan-keterangannya.
Menelan mentah-mentah keterangan darinya dan staf-staf yang bekerja untuk kepentingannya hanya bisa dilakukan oleh pihak yang kepentingannya sama atau pihak yang tidak peduli dengan pentingnya kebenaran dan keadilan di dalam proses hukum.
Ketentuan di dalam KUHP menyatakan bahwa dalam menilai kebenaran keterangan saksi haarus sungguh-sungguh mempertimbangkan persesuaian dengan saksi-saksi lain, persesuaian dengan bukti lain, alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu dan cara hidup serat kesusilaan saksi, serat segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu untuk dipercaya.
Di dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud disebutkan “tidak boleh menjadi saksi laki-laki dan perempuan yang khianat. Juga tidak boleh menjadi saksi orang yang menaruh dendam terhadap saudaranya”.
Di dalam tradisi Fikih Islam, bahkan untuk menjadi saksi pernikahan pun, bukan urusan pidana, harus memenuhi syarat baligh, berakal, merdeka, Islam dan adil. Kemampuan untuk adil atau setidaknya dinilai adil adalah syarat yang penting.
Pada tradisi Jawa yang dipraktekkan sejak jaman Raja Airlangga disebutkan bahwa salah satu syarat untuk dapat menjadi saksi adalah tidak berkepentingan di dalam perkaranya, selain syarat sudah berkeluarga dan penduduk asli.
Sedangkan pada Tambo Alam Minangkabau disebutkan bahwa syarat menjadi saksi adalah bersifat arif, baligh-berakal, melihat, mendengar, berkata, terang hati dan adil, serta mempunyai alasan untuk menjadi saksi.
Kita masih bisa melanjutkan pelacakan tentang syarat-syarat menjadi saksi pada berbagai ajaran agama, adat dan kebudayaan yang berkembang di Indonesia untuk semakin melengkapinya.
Atas dasar itu semua kiranya bisa memperjelas bahwa menjadikan keterangan M. Nazaruddin sebagai dasar atau bahkan dasar utama untuk pembuktian dalam perkara saya (Terdakwa) kesalahan serius dalam perspektif obyektifitas, kebenaran dan keadilan. Lain halnya jika perspektifnya untuk mencari dasar justifikasi untuk sekedar menghukum.
Adalah berlebihan, tidak berdasarkan data yang bisa dipertanggungjawabkan dan bahkan terlalu mewah untuk mengatakan “yang bersangkutan cepat bangkit dari keterpurukan dengan mengingat apa yang harus dipertanggungjawabkannya di Padang Mahsyar”. Terlalu banyak data dan informasi yang justru menunjukkan sebaliknya. Yang bersangkutan malah masih terus menjalankan dan mengendalikan praktek bisnis yang tidak wajar dari dalam penjara dengan bantuan saudara-saudaranya dan staf-stafnya yang setia, termasuk informasi dan keterangan yang dikemukakan oleh para saksi di depan persidangan.
Karena itulah keterangan M. Nazaruddin dan staf-stafnya yang diarahkan untuk membuat keterangan tidak benar tidaklah mempunyai nilai pembuktian yang layak. Justru jika keterangannya dijadikan dasar atau bahkan dasar utama dalam pembuktian perkara ini, peradilan bisa tersesat dan membelakangi spirit penegakan hukum dan keadilan. Keterangan sesat M. Nazaruddin biarlah menjadi sesat sendiri. Jangan sampai membuat kita semua tersesatkan.
Mengapa JPU Mempersoalkan Saksi Memberatkan?
Selama persidangan telah dihadirkan 104 orang saksi, yang terdiri dari saksi memberatkan, saksi meringankan, saksi ahli yang dihadirkan JPU dan saksi ahli yang dihadirkan oleh Terdakwa dan Penasihat Hukum. Secara rinci adalah sebagai berikut: 91 saksi memberatkan yang dihadirkan JPU, 3 saksi ahli yang dihadirkan JPU, 6 saksi meringankan yang dihadirkan Terdakwa dan Penasihat Hukum, serta 4 saksi ahli yang dihadirkan Terdakwa dan Penasihat Hukum. Dari 91 saksi yang dihadirkan JPU, ada 9 saksi yang diusulkan oleh Terdakwa dan Penasihat Hukum melalui Majelis Hakim dengan pertimbangan sudah diminta keterangan oleh penyidik (ada BAP-nya) dan terkait secara langsung atau disebut secara eksplisit di dalam Surat Dakwaan. Mengapa Terdakwa dan Penasihat Hukum hanya menghadirkan 6 orang saksi meringankan, padahal rencana awal ada 30 orang, semata-mata karena menghormati komitmen atas waktu persidangan dengan Majelis Hakim dan JPU. Padahal 6 orang saksi meringankan tidaklah imbang dengan jumlah saksi yang dihadirkan oleh JPU.
Dengan komposisi saksi yang dihadirkan tersebut, dan itu hanya sebagaian dari total saksi yang diperiksa pada saat penyidikan, maka menjadi aneh kalau JPU mengeluh dan mempersoalkan saksi-saksi dan keterangannya di depan persidangan. Adalah penyidik KPK yang menentukan siapa-siapa saksi memberatkan yang dihadirkan di persidangan. Terdakwa dan Penasihat Hukum baru mengetahui nama-nama saksi yang dihadirkan JPU 2-3 hari sebelum persidangan pemeriksaan saksi.
Karena itulah menjadi terkesan mengada-ada kalau JPU mengatakan bahwa tidak sedikit saksi yang memiliki keterikatan psikologis dengan Terdakwa sehingga validitasnya diragukan. Alasan JPU tersebut bisa diterima jika yang menentukan nama-nama yang diperiksa penyidik dan yang dihadirkan di persidangan adalah Terdakwa atau Penasihat Hukum. Faktanya adalah bahwa Terdakwa dan Penasihat Hukum tidak mempunyai kewenangan apapun untuk menentukan.
Adalah wajar semata jika para saksi yang dihadirkan JPU malah membantah dakwaan. Bukan karena saksinya dan bukan karena JPU, melainkan karena dakwaan disusun berdasarkan -terutama- BAP M. Nazaruddin yang tidak mengandung nilai kebenaran. Keterangan para saksi di depan persidangan yang membantah dakwaan karena apa yang diketahui, didengar, dirasakan dan dilakukan para saksi berbeda dan bertentangan dengan dakwaan yang berasal dari imajinasi dan cerita fiksi M. Nazaruddin. Sehebat-hebatnya cerita fiksi dan secanggih-canggihnya imajinasi akan kalah dengan realitas yang senyatanya.
Alasan JPU bahwa para saksi yang dihadirkan mempunyai keterikatan psikologis dengan Terdakwa karena latar belakang historis kepartaian, latar belakang tim sukses pemenangan, latar belakang organisasi kemahasiswaan dan latar belakang pekerjaan adalah dalih yang dipaksakan setelah para saksi yang dihadirkan sendiri oleh JPU justru memberikan keterangfan yang membantah dakwaan. Inilah keterangan di bawah sumpah yang disebut JPU menguntungkan Terdakwa.
Pada saat yang sama JPU tidak mempersoalkan keterangan Neneng Sri Wahyuni, Aan Ikhyaudin dan Heri Sunandar yang mempunyai keterikatan psikologis lebih kental dengan M. Nazaruddin. Bukan saja keterangan-keterangan mereka sudah direncanakan sejak awal untuk mencelakakan Terdakwa, tetapi juga proses pemberian keterangan (pemeriksaan) diatur sedemikian rupa. Misalnya pemeriksaan terhadap saksi Neneng Sri Wahyuni di KPK selalu bersama dengan M. Nazaruddin. Pemeriksaan saksi Aan Ikhyauddin dan Heri Sunandar yang keterangannya sama persis kalimatnya, bahkan sampai titik dan komanya. Ada pula saksi yang diperiksa jam 21 malam sampai jam 2 dini hari dan dipersidangan tidak paham dan bingung dengan isi BAP-nya sendiri. Hal-hal ganjil seperti ini malah tidak dipersoalkan oleh JPU, semata-mata karena keterangannya dinilai telah merugikan dan memberatkan Terdakwa.
Mendakwa Sepertiga Kongres
JPU menjelaskan bahwa tindak pidana yang dilakukan Terdakwa dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi politik, yaitu korupsi yang terjadi dalam lingkup kegiatan politik, dilakukan oleh aktor politik dan dibungkus dengan instrumen politik, serta terjadi dalam momen politik. Tentu saja definisi ini bisa diperdebatkan. Definisi dari Universitas Princeton menyebut “political corruption is the use of legislated powers by government official for illegitimate private gain“. Di dalam penjelasan disebutkan bahwa kegiatan ilegal baru dapat disebut korupsi politik jika terkait langsung dengan tugas-tugas resmi yang diemban (if the act is directly related to their official duties). Sedangkan korupsi politik menurut Arnold J Heidenheimer dari Washington University adalah setiap transaksi antara kelangan swasta dengan kalangan sektor publik, dimana hal-hal yang seharusnya menjadi barang milik publik secara ilegal diubah menjadi pembayaran atau hadiah. Sementara Terdakwa mendefinisikan korupsi politik sebagai perbuatan yang secara sengaja membuat kebijakan untuk publik menjadi kebijakan untuk keuntungan pihak tertentu. Kebijakan yang seharusnya untuk kepentingan masyarakat dibelokkan untuk kepentingan pihak tertentu.
Tetapi persidangan ini bukanlah forum untuk memperdebatkan apa definisi korupsi politik. Juga bukan untuk memperdebatkan apakah ada korupsi politik atau tidak. Ada ahli hukum yang berpendapat bahwa ada korupsi politik. Ada pula yang berpendapat bahwa korupsi politik tidak ada dalam konteks hukum. Jika konteksnya adalah debat khasanah istilah, korupsi politik bisa menjadi salah satu kekayaan khasanah untuk memberikan perspektif. Tetapi jika hendak diterapkan dalam penegakkan hukum pidana korupsi, istilah tindak pidana korupsi politik harus dikembalikan pada aturan hukum yang sudah tersedia. Adalah tidak pada tempatnya membuat istilah sendiri di dalam penegakan hukum terkait dengan tindak pidana.
Menurut penilaian Terdakwa, kategori tindak pidana korupsi politik yang diterapkan pada perkara yang didakwakan oleh JPU adalah pengakuan secara terbuka bahwa dakwaan dan tuntutan kepada Terdakwa bersifat politik dan penuh dengan nuansa politik, hal yang sejak awal dinyatakan sangat dihindari oleh JPU.
Awalnya perkara ini adalah dinamika internal Partai Demokrat sejak penyelenggaraan Kongres ke-2 di Bandung yang berlanjut pada proses-proses konsolidasi dan kontestasi politik internal, termasuk ditingkat lokal. Inilah yang ujungnya melahirkan desakan terbuka dari Jeddah kepada KPK untuk segera memperjelas status hukum saya. Desekan Presiden Republik Indonesia yang juga Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan Kehormatan dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu segera ditindaklanjuti secara internal dengan pengambilalihan wewenang Ketua Umum oleh Majelis Tinggi. Pada saat yang bersamaan beredar Sprindik atas nama Anas Urbaningrum ke publik dan menjadi pemberitaan yang luas, sebelum akhirnya terbit Sprindik KPK 22 Februari 2013. Ketidakwajaran dan ketidakpatutan proses sampai dibocorkannya Sprindik telah melahirkan Komite Etik dan kemudian memberikan sanksi kepada beberapa orang yang dinilai bersalah. Peristiwa ini dan seluruh rangkaiannya tidak pernah bisa dihapus oleh ribuan pergantian musim hujan dan kemarau, juga oleh pergantian musim politik dan kepemimpinan.
Amat jelas bahwa penetapan tersangka tidak bisa dilepaskan dari dinamika dan faksionalisme internal di Partai Demokrat, termasuk bagaimana tangan-tangan kekuasaan bekerja. Artidjo Alkotsar pada tulisannya “Mengkritisi Fenomena Korupsi di Parlemen” yang dimuat pada Jurnal Hukum, 15 Januari 2008, menyatakan bahwa “pemegang kekuasaan politik biasanya ‘ketagihan’ untuk tetap berkuasa dan tidak mau melepaskan kekuatan yang telah dipegangnya. Untuk mempertahankan kekuasannya penguasa biasanya memperkuat basis pendukung yang diukur dengan kadar loyalitas para kroni. Bentuk dukungan bisa massa berkekuatan fisik, dukungan ekonomis atau money politics, dukungan pemikiran strategi dan teknik mempertahankan kekuasaan, dukungan spiritual, atau dukungan hukum. Bagi yang tidak loyal kepada penguasa korup, baik itu individu atau kelompok, si penguasa akan membuat batas pembeda dengan cara membuat stigma politik, menjatuhkan persona non grata, atau menjebloskan ke penjara dengan menggunakan rekayasa peradilan sesat. Dalam arti pula penguasa yang korup biasanya mempermainkan kuasa dengan cara membuat orang atau kelompok yang tidak disenangi karena bersikap kritis, berbeda pendapat atau dianggap menentang, dibuat dalam posisi merasa bersalah, merasa malu, terkucil, terintimidasi, terteror atau terbujuk (terangkul). Kekuasaan politik yang korup berimplikasi pada timbulnya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan munculnya sikap Asal Bapak Senang (ABS) serta tingkah laku hipokrit”.
Oleh karena itulah yang sesungguhnya didakwa dan dituntut oleh JPU dalam perkara ini adalah peristiwa politik demokrasi bernama Kongres Partai Demokrat yang di dalamnya ada kompetisi dan kontestasi politik antar Calon Ketua Umum dengan segala dinamikanya. Kompetisi dan kontestasi politik internal inilah, yang dijalankan menurut AD-ART dan Tata Tertib Kongres, ada Penanggungjawab, ada Panitia Pengarah (SC), ada panitia pelaksana (SC), ada Peserta Kongres, ada pembiayaan Kepanitiaan dan Pemenangan dari setiap kelompok kontestan, serta ada hasil Kongres sebagai bagian dari sistem dan kelembagaan Partai Demokrat secara utuh, yang berusaha didekati dan dipaksakan menjadi peristiwa korupsi politik.
Meskipun JPU menyatakan di dalam Surat Tuntutan bukan Mengadili Kongres, amat jelas ini adalah mengadili Kongres atau tepatnya Mengadili Sepertiga Kongres. Mengapa? Karena yang diadili adalah salah satu saja dari kontestan Kongres Partai Demokrat di Bandung. Jika dilihat bahwa Terdakwa pada saat itu adalah penyelenggara negara, karena juga masih menjadi Anggota DPR, pada saat yang sama kontestan yang lain adalah Ketua DPR dan Menteri yang juga dalam kategori penyelenggara negara. Semua tahun dan sudah menjadi rahasia umum bahwa proses konsolidasi da penggalangan dalam pemenangan menggunakan cara dan pendekatan yang sama. Tidak ada perbedaan yang substansial dan signifikan dengan yang dilakukan oleh Tim Relawan Terdakwa. Bahkan internal Partai Demokrat saat itu bisa melihat ada Calon Ketua Umum (kontestan) yang jauh lebih gebyar proses penggalangan dan metode pemenangannya.
Menurut komitmen Tim Relawan, pemahaman Terdakwa dan Tim Relawan dan pendapat Ahli, biaya yang dikeluarkan dan jika disebut sebagai peneriamaan tidak langsung, hal itu terkait dengan status sebagai kader partai yang menjadi kontestan Kongres atau Calon Ketua Umum. Bukan dalam posisi sebagai penyelenggara negara. Karena semua hal tersebut tidak ada kaitannya dengan posisi, kekuasaan dan kewenangan sebagai penyelenggara negara, tetapi sebagai kader partai yang dipandang layak untuk dimajukan dalam kompetisi dan kontestasi kepemimpinan puncak Partai Demokrat. Adalah jelas berbeda posisi sebagai penyelenggara negara dengan posisai sebagai kontestan politik.
Jikapun memaksakan perspektif sebagai penyelenggara negara, meskipun hal itu jelas tidak relevan, jika neraca keadilan dan penegakan hukum yang jujur dan obyektif dipegang, serta bukan untuk tujuan mengkoruptorkan proses politik dan aktor politik tertentu, maka bukan “sepertiga Kongres” yang diselidiki, disidik, didakwa dan dituntut. Bahkan bukan hanya 3 kontestan Ketua Umum, melainkan siapa saja yang pada saat itu kebetulan juga dalam status penyelenggara negara, bisa Presiden, Menteri, Anggota DPR, Gubernur, Bupati, Walikota, dan Anggota DPRD yang menerima fasilitas, manfaat dan hasil langsung dari penyelenggaraan dan kompetisi Kongres, terutama adalah Ketua Majelis Tinggi dan fungsionarisnya, Ketua Dewan Pembina dan fungsionarisnya, Ketua Dewan Kehormatan dan fungsionarisnya, Ketua Umum dan jajaran fungsionaris inti, termasuk Dewan Pengawas yang dibentuk oleh Dewan Pembina. Semuanya yang saat itu menyandang status sebagai penyelenggara negara jelas-jelas mendapatkan penerimaan fasilitas dan manfaat dari kompetisi, kontestasi dan pemilihan pada Kongres Partai Demokrat ke-2 di Bandung.
Kalau yang disasar hanya satu orang kontestan, apalagi secara khusus dicari-cari dan dipaksakan kesalahan secara hukum pidana korupsi politik, tentu hal ini tidak lain dan tidak bukan adalah politik.
Di dalam Surat Tuntutan secara khusus juga disebut bahwa karena bukan Kongres yang diajukan ke persidangan, sehingga bukan Panitia Kongres yang harus dihadirkan, tetapi adalah tim pemenangan Anas Urbaningrum dalam pencalonan sebagai Ketua Umum. Sehingga jelas kiranya pihak-pihak mana yang harus dimintai keterangan dan dihadirkan di persidangan. Kalimat ini adalah penegasan bahwa saejak awal telah terjadi pengkhususan kepada Anas Urbaningrum dan sekaligus memagari atau membentengi agar tidak masuk dan menyentuh pihak-pihak yang sesungguhnya secara obyektif hukum menjadi pihak yang sama dan serata dengan Terdakwa, tetapi secara politik tidak boleh tersentuh oleh proses hukum yang terkait dengan Kongres. Pada saat disebut bahwa bukan Panitia Kongres yang dihadirkan tentu yang dimaksudkan adalah Panitia Pengarah yang Ketuanya adalah Edhie Baskoro Yudhoyono, karena faktanya telah dihadirkan Didik Mukriyanto, Ketua Panitia Pelaksana Kongres yang juga telah diperiksa sebagai saksi pada saat proses penyidikan. Padahal siapapun yang mengerti tentang penyelenggaraan Kongres pasti melihat Panitia Pengarah sebagai pihak yang paling paham tentang seluruh rangkaian acara dan bagaimana penyelenggaraannya.
Persidangan ini semakin berwarna politik ketika sejak awal Surat Dakwaan dibuka dengan kalimat imajiner bahwa sejak tahun 2005 Terdakwa sudah berniat dan mempersiapkan diri untuk menjadi Calon Presiden. Sungguh tidak rasional, absurd, mengada-ada dan hanya berdasarkan cerita kosong seorang saksi istimewa M. Nazaruddin yang baru belajar politik dari Terdakwa pada tahun 2007.
Bagaimana nalarnya ada seseorang yang baru saja diminta untuk menjadi pengurus baru dari sebuah partai baru, tidak punya political capital kecuali hanya kesiapan untuk membantu dengan komitmen kerja keras, sudah disebut berniat dan mempersiapkan diri menjadi Calon Presiden? Bagaimana mungkin seseorang yang telah bekerja keras untuk menjadi lulusan terbaik dan kemudian 2 kali gagal untuk menjadi staf pengajar di almamaternya, tiba-tiba tahun 2005 berani berniat dan mempersiapkan diri untuk menjadi Calon Presiden? Bagaimana logikanya Terdakwa yang sedikit banyak belajar ilmu politik, pernah praktek melayani proses demokrasi sebagai Anggota KPU, cukup mengerti tentang dinamika politik Indonesia, cukup paham tentang demokrasi modern dan pemilihan langsung, tahun tentang jaringan dan para aktor politik, punya banyak sahabat yang paham betul dan terampil dalam dunia politik praktis, lalu disebut berbicara khusus tentang persiapan pencapresan sejak tahun 2005 dengan M. Nazaruddin, orang yang sangat baru mengenal dunia politik dan bahkan juga menyebut dirinya baru merintis usaha bisnis di Jakarta. Logika macam apa yang bisa dan layak dipaksa untuk menerima spekulasi seperti ini?
Jika mau memaksa dakwaan politik tentang niat dan persiapan Terdakwa untuk menjadi Calon Presiden, meskipun tidak berbasis data dan bukti yang bisa dipertanggungjawabkan, sebaiknya dimulai dari selesainya Kongres Partai Demokrat akhir Mei 2010, sehingga bisa agak rasional. Sekali lagi, itupun tidak berdasarkan data, informasi dan bukti yang sahih dan bisa dipertanggungjawabkan. Faktanya belum ada pula Ketua Umum Partai Demokrat yang menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Bahkan belum pernah ada Ketua Umum PD yang menjadi Menteri atau Pimpinan Lembaga Negara.
Dakwaan dan Tuntutan makin beraroma politik ketika Surat Tuntutan ditutup dengan nasihat politik agar Terdakwa rela berkorban seperti Wisanggeni dalam konteks kontestasi Bharatayuda Pilpres 2014. Meskipun Terdakwa tidak bisa ikut dalam kontestasi Bharatayuda Pilpres 2014, tetapi pengorbanannya menjadikan keunggulan Pandawa dalam perang Bharatayuda.
Sayang sekali tidak dijelaskan apa yang dimaksaud sebagai perang Bharatayuda Pilpres 2014 dan siapa yang dimaksud dengen kemenangan Pandawa dalam konteks tersebut. Tidak dijelaskan pula tentang Kurawa pada perang Bharatayuda Pilpres 2014, termasuk bagaimana proses perangnya dan bagaimana Pandawa bisa mendapatkan kemenangan. Yang teramat jelas adalah nasihat politik ini sangat bermakna dan menjadi panutup dakwaan politik yang sempurna.
Apalagi ketika salah satu materi tuntutan adalah agar menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik, dengan alasan untuk menghindarai Negara Indonesia dari kemungkinan dipimpin oleh orang yang pernah dijatuhi hukuman akibat melakukan tindak pidana korupsi. Hemat Terdakwa inilah sesungguhnya puncak dan sekaligus mahkota dari dakwaan dan tuntutan politik JPU, dengan tujuan agar Terdakwa kehilangan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik. Inilah muara yang hendak dituju oleh dakwaan dan tuntutan politik.
Berpaling dari Kebenaran
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat,
Yang saya hormati Tim Penasihat Hukum dan Hadirin sekalian.
Saya mendengarkan dan membaca dengan seksama Surat Tuntutan yang disampaikan oleh JPU pada persidangan yang lalu. Sungguh Surat Tuntutan dengan sungguh-sungguh disiapkan dan disusun dengan sangat lengkap. Pastilah hal tersebut adalah hasil dari kerja keras dari Tim yang hebat dan kompak. Sebagai Terdakwa saya sangat menghargai dan menghormatinya.
Tanpa mengurangi apresiasi dan rasa hormat tersebut, izinkan saya sebagai Terdakwa untuk menyatakan bahwa Surat Tuntutan yang lengkap tersebut tidak memasukkan unsur keadilan, obyektifitas dan fakta-fakta persidangan yang tergelar secara terbuka sepanjang persidangan ini berlangsung. Saya tidak tahu mengapa hal demikian bisa terjadi. Apakah karena kealpaan, kesengajaan atau lantaran keterpaksaan.
Apapun sebab dan alasannya, apakah karena sengaja, apla semata atau karena terpaksa, mengabaikan fakta-fakta persidangan adalah pilihan yang tidak obyektif dan tidak menghormati persidangan. Karena itulah ketika di dalam Surat Tuntutan ada pujian yang bertubi-tubi kepada Majelis Hakim, sungguh pujian tersebut tidak mempunyai sambungan batin dengan diabaikannya fakta-fakta persidangan yang terungkap di persidangan ini adalah bagian penting dari keberhasilan kepemimpinan Ketua Majelis Hakim yang dibantu oleh para Anggota Majelis Hakim? Jika salah satu hasil kepemimpinan Majelis Hakim, yakni fakta-fakta persidangan tidak dihargai dan malah disepelekan, maka pujian di dalam Surat Tuntutan tersebut adalah pujian formal-prosedural semata dan bukan pujian yang otentik-substansial.
Salah satu cara terbaik untuk menghormati persidangan, termasuk atas kepemimpinan Majelis Hakim adalah dengan menghormati dan memuliakan fakta-fakta persidangan. Disitulah juga bersemayam obyektifitas, fairness dan keadilan, nilai-nilai yang sangat penting dalam proses penegakan hukum yang benar-benar diorientasikan untuk menemukan kebenaran dan keadilan yang sejati.
Ketika JPU di dalam menyusun Surat Tuntutan memalingkan muka dari fakta-fakta persidangan, hal itu tidak bisa dibedakan dengan berpaling dari kebenaran. Karena kebenaran yang hendak dicari dan ditemukan di persidangan berada pada fakta-fakta persidangan dari para saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah. Tentu saja saksi-saksi yang benar-benar mengetahui dan mengalami peristiwa yang terkait dengan perkara, serta mempunyai rekam jejak pribadi yang berkelayakan secara hukum, moral dan sosial. Bukan saksi yang untuk dikesankan punya kesaksian berkualitas lalu diberi gelar “penyucian” berupa justice collabolator, padahal kelayakannya sangat diragukan, khususnya yang terkait dengan perkara ini.
Surat Tuntutan yang disusun dengan meremehkan fakta-fakta persidangan sulit dibedakan dari ekspresi kemarahan dan kebencian melalui sarana penegakan hukum. Demikian halnya menjadi dipisahkan dari pemaksaan dan kekerasan hukum kepada warga negara. Jika dalam konteks sistem politik yang otoritarian dan absolut berpotensi untuk terjadinya kekerasan politik, dalam konteks sistem penegakan hukum yang hegemonik dan absolut juga mudah tergelincir pada kecenderungan dan praktek kekerasan hukum. Sesuatu yang seharusnya dihindari oleh aparat penegak hukum yang diberi amanah untuk menegakkan hukum dan keadilan. JPU sebagai aparat penegak hukum yang bertugas atas nama kepentingan publik berkewajiban untuk menegakkan keadilan dengan cara menjadikan fakta-fakta persidangan sebagai bahan untuk menyusun Surat Tuntutan.
Jika fakta-fakta persidangan sebagai salah satu dari hasil persidangan yang dipimpin oleh Majelis Hakim tidak digunakan sebagai dasar, disepelekan dan diabaikan, pertanyaannya adalah apakah persidangan ini hanya seremonial belaka dan sekedar sebagai alat untuk menjustifikasi adanya tuntutan yang berat? Saya lalu ingat kembali bagian dari Nota Keberatan (Eksepsi) yang saya sampaikan pasca pembacaan Surat Dakwaan oleh JPU. Waktu itu saya sebutkan pertanyaan apakah persidangan ini hanya dijadikan justifikasi untuk tuntutan yang berat, karena pada proses penyidikan sudah ada pernyataan dari Jubir KPK bahwa Anas Urbaningrum akan dituntut berat. Juga saya sebutkan adanya saran agar tidak usah melakukan Eksepsi karena kalau ada Eksepsi JPU bisa marah dan melakukan tuntutan berat. Eksepsi tetap saya sampaikan sebagai bagian dari hak untuk mendaptkan keadilan, disertai dengan keyakinan bahwa JPU adalah para agen keadilan yang bersiap untuk berdialektika dan kontestasi fakta-fakta kebenaran pada persidangan yang adil dan terbuka.
Jika kembali ke belakang, sesungguhnya tuntutan yang berat dan abai terhadap keadilan, obyektifitas dan fakta-fakta persidangan, bukanlah hal yang mengejutkan karena sudah dinyatakan oleh Jubir KPK pada saat proses penyidikan dan belum dimulai proses persidangan. Tetapi bukan mengejutkan atau tidak mengejutkan. Yang penting untuk ditakar dan ditimbang adalah apakah tanpa keadilan, obyektifitas dan fakta-fakta persidangan sebuah Surat Tuntutan bisa dianggap mewakili kepentingan publik dan nalar penegakan hukum dan keadilan yang sehat? Akal waras dan nalar keadilan pasti akan menolak hal-hal yang demikian.
Tuntutan yang adil adalah yang obyektif dan berdasarkan kebenaran fakta-fakta persidangan. Sebaliknya tuntutan bisa disebut dalam kategori dzalim jika tidak obyektif dan berpaling dari fakta-fakta persidangan bisa menjadi sebab sikap dan tindakan yang tidak adil dan dzalim.
Firman Tuhan di dalam Al-Quran, Surat Al-Maidah ayat 8 menyebutkan : “dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu dekat dengan takwa“.
Dalam Al-Kitab, Roma 1:18 disebutkan : “sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman“.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat,
Tim Penasihat Hukum Yang Terhormat,
Sidang Pengadilan yang saya hormati,
Di dalam Surat Dakwaan dan Tuntutan juga dipaksakan istilah kantong-kantong untuk menghimpun dana-dana atau disebut sebagai kantong-kantong dana. Disebutkan bahwa Terdakwa tergabung di dalam Anugrah Group yang kemudian disebut berubah menjadi Permai Group. Padahal yang benar adalah bahwa Terdakwa pernah menjadi Komisaris PT. Panahatan, sebelum mundur pada tahun 2009 sebelum menjadi Anggota DPR RI.
Terdakwa tergabung di dalam PT. Panahatan setelah tidak jadi bergabung di dalam PT. Anugrah Nusantara, perusahaan milik keluarga M. Nazaruddin. Proses jual beli saham 30 persen milik M. Nzaaruddin yang tidak wajar dibatalkan dan sebagai ganti dengan proses yang wajar dan benar adalah bergabung secara resmi di PT. Panahatan yang bergerak di bidang perkebunan Kepala Sawit.
Hal tersebut sudah dijelaskan oleh Terdakwa, baik di dalam BAP maupun di dalam persidangan, termasuk dokumen yang dimaksudkan sebagai tanda jual beli saham yang kemudian disepakati untuk dibatalkan dan dimusnahkan. Jika kemudian dokumen tersebut masih ada dan dengaja disimpan oleh M. Nazaruddin, nampaklah niat tidak baik yang telah dilakukannya. Salah satunya adalah ditandai dengan disebarkannya fotokopi dokumen tersebut dikalangan internal PD pada saat acara Rakornas Tahun 2011 di Sentul, termasuk kepada kalangan media massa.
Bukti otentik bahwa perjanjian itu tidak jadi atau sudah dibatalkan adalah dokumen-dokumen perubahan kepengurusan PT. Anugrah Nusantara sejak tahun 1999 sampai tahun 2011. Jika benar bahwa dokumen perjanjian itu berlaku 1 Maret 2007 Terdakwa berhak hadir di dalam RUPS sebagaimana termaktub sebagai hak di dalam dokumen tersebut. Faktanya adalah bahwa Terdakwa tidak pernah tahu dan hadir atau terlibat pada RUPS ketika terjadi perubahan kepengurusan dan kepemilikan sejak awal berdirinya PT. Anugrah Nusantara sampai sekarang ini. Dokumen-dokumen RUPS tersebut menjelaskan dengan terang benderang bahwa Terdakwa bukanlah bagian dari PT. Anugrah Nusantara.
Jika benar Terdakwa adalah pemilik dari 30 persen saham PT. Anugrah Nusantara, maka ketika terjadi RUPS pergantian kepemilikan saham dari M. Nazaruddin kepada adiknya Mujahidin Nurhasim pada 28 Februari 2009 haruslah dihadiri oleh Terdakwa dan ada perjanjian baru antara Terdakwa dengan M. Nazaruddin atau dengan Mujahidin Nurhasim. Faktanya adalah bahwa Terdakwa tidak tahu, tidak hadir, tidak terlibat dan tidak mempunyai saham apapun. Terdakwa juga tidak mempunyai perjanjian dengan Mujahidin Nurhasim yang di dalam perubahan data perseroan dicatat sebagai pemegang saham yang baru, dimana M. Nazaruddin sama sekali tidak tercantum namanya sebagai pemilik atau pengurus.
Demikian pula dengan RUPS-RUPS selanjutnya yang diikuti dengan perubahan kepemilikan dan kepengurusan, Terdakwa sama sekali tidak tahu, tidak terlibat dan tidak mempunyai saham, serta tidak mempunyai perjanjian jual beli saham dengan siapapun pemilik atau pengurus PT. Anugrah Nusantara.
Hal yang sama bisa dikonfirmasi dengan data-data keuangan perusahaan, termasuk aliran dana yang tercatat di dalam catatan saksi Yulianis. Amat jelas bahwa tidak ada yang terkait PT. Anugrah Nusantara dengan Terdakwa. Data-data yang tercatat jelas adalah uang yang dikeluarkan untuk kepentingan Pemilu atau disebut sebagai biaya Pemilu pada awal tahun 2009. Dana-dana tersebut dipergunakan untuk biaya kampanye, seperti untuk pencetakan kaos, spanduk, baliho dan alat-alat peraga lainnya, sebagai bagian dari kompensasi peran dan kerja Terdakwa sebagai pembimbing atau konsultan pencalegan M. Nazaruddin dan keluarganya di DPR dan DPRD. Tercatat bahwa M. Nazaruddin, M. Nasir, Rita Zahara dan Ayub Khan, semuanya terpilih pada Pileg tahun 2009.
Jadi jelas bahwa mengkaitkan Terdakwa dengan Anugrah Group atau Permai Group, apalagi menyebut sebagai pemilik atau pemilik bersama-sama M. Nazaruddin adalah usaha untuk membangun kesan, citra dan persepsi bahwa Terdakwa sengaja sejak awal mengatur jarak yang aman dengan bisnis M. Nazaruddin. Faktanya jelas bahwa Anugrah Group atau Permai Group, jika itu memang istilah yang benar, adalah milik dan dikendalikan oleh keluarga M. Nazaruddin, yakni M. Nazaruddin, istrinya, adiknya, kakaknya dan orang-orang kepercayaannya. Bahkan bisnis tersebut tetap berjalan sampai sekarang ini, berdasarkan keterangan beberapa saksi di persidangan.
Tantang M. Nazaruddin sebagai pemilik dan pengendali Anugrah Group atau Permai Group juga sudah menjadi bagian dari putusan Pengadilan Tipikor yang berkekuatan tetap, baik pada kasus Wisma Atlet yang melibatkan M. Nazaruddin dan Mindo Rosalina Manulang dan kasus PLTS yang melibatkan Neneng Sri Wahyuni.
Upaya membangun persepsi tersebut adalah untuk mencari alasan dan argumentasi bahwa sejak awal Terdakwa memang berniat dan mempersiapkan diri untuk menjadi Calon Presiden, sejak tahun 2005, sehingga membuat kantong dana dengan M. Nazaruddin. Persepsi ini dianggap penting agar Terdakwa seolah-olah benar mengatur semuanya sehingga sulit dijerat oleh proses hukum. Inilah argumentasi yang hendak dipaksakan oleh JPU terkait dengan konsepsi korupsi politik.
Persepsi yang sama hendak dibangun terhadap saksi Machfud Suroso, Munadi Herlambang, Mindo Rosalina Manulang dan Angelina Sondakh. Padahal fakta-fakta persidangan semua membantah dengan tegas bahwa para saksi tersebut dicap sebagai kantong-kantong dana. Apalagi istilah kantong dana adalah istilah imajiner yang sengaja disampaikan oleh M. Nazaruddin untuk tujuan mencelakakan Terdakwa secara hukum. Bahkan di dalam BAP M. Nazaruddin disebutkan banyak nama lain yang dituduh sebagai kantong dana atau kamar bisnis.
Yang Mulia Majelis Hakim,
Yang Terhormat Jaksa Penuntut Umum,
Para Penasihat Hukum dan Sidang Pengadilan yang saya hormati,
Adalah jelas dan terang benderang dari keterangan para saksi yang dihadirkan pada persidangan ini bahwa Terdakwa selaku Anggota DPR dan Ketua Fraksi Partai Demokrat tidak pernah mengurus proyek-proyek yang dibiayai oleh APBN/APBNP dan tidak pernah berkoordinasi dengan M. Nazaruddin, Mahyudin dan Angelina Sondakh. Keterangan para saksi di persidangan denga jelas membantah dakwaan JPU yang diulangi lagi di dalam Surat Tuntutan, seolah-olah keterangan para saksi dianggap tidak ada. Hanya keterangan saksi M. Nazaruddin yang dianggap ada dan benar, padahal justru sebaliknya.
Kerena itulah, mengkaitkan Terdakwa selaku Anggota DPR RI, proyek-proyek mitra kerja dan tuduhan menerima hadiah berupa uang, barang dan fasilitas sebesar Rp. 118.704.782.230,- dan sebesar USD 5.261.070 adalah pemaksaan dakwaan dan tuntutan, tidak berdasar, tidak berbasis logika, tidak berdasarkan bukti, irasional dan hanya berdasarkan keterangan sepihak di dalam BAP saksi M. Nazaruddin, serta telah terbantah secara telak oleh para saksi yang dihadirkan oleh JPU di dalam persidangan yang terhormat ini.
A. Penerimaan uang sebesar Rp. 2.305.500.000,- dari PT. Adhi Karya untuk membantu pencalonan Terdakwa sebagai Calon Ketua Umum Partai Demokrat pada Kongres di Bandung jelas-jelas tidak terbukti dipersidangan. Saksi Munadi Herlambang dan Indrajaya Manopol yang dihadirkan di persidangan telah membantah menerima uang dari Teuku Bagus M. Noor untuk kepentingan Terdakwa. Ketut Darmawan yang disebut di dalam surat dakwaan tidak bisa dihadirkan dipersidangan, tetapi faktanya tidak kenal dan tidak pernah menerima uang untuk Terdakwa. Apalagi disebutkan bahwa yang meminta uang tersebut bukanlah Terdakwa, melainkan disebutkan oleh JPU atas permintaan Muchayat.
Adalah tidak logis Muchayat meminta uang untuk kepentingan Terdakwa, sementara fakta persidangan menunjukkan bahwa Muchayat justru meminta Terdakwa mundur dari pencalonan atas pesan Sudi Silalahi dan Muchayat meminta agar memberian dukungan kepada Andi Mallarangeng.
Sementara saksi Teuku Bagus M. Noor yang dihadirkan di persidangan dengan jelas menyatakan tidak kenal dengan Terdakwa dan tidak bisa memastikan uang-uang yang dicatat di dalam kas bon PT. Adhi Karya benar untuk kepentingan Terdakwa atau sampai pada Terdakwa. Belum lagi dengan kas bon yang dalam bentuk fotokopian dan dicoret-coret, sehingga sangat diragukan validitasnya sebagai alat bukti. Bagaimana ada bon untuk Terdakwa, ditulis untuk Terdakwa, padahal yang mengeluarkan tidak kenal, tidak pernah bertemu dan tidak menyerahkan kepada Terdakwa. Jika bon diperlakukan sebagai kwitansi sementara, maka yang ditulis adalah yang menerima uang dari yang mengeluarkan. Inilah keganjilan lain yang membuat bon-bon penuh coretan layak dikesampingkan sebagai bukti.
Saksi Munadi Herlambang menyebutkan bahwa uang untuk membayar hotel berasal dari titipan Pasha Sukardi dan dikirim ke rekening PT. Bandung Excellent Tour and Travel sebesar Rp. 1.007.400.000,- secara bertahap pada 21 April dan 26 April 2010. Sedangkan pada bon Adhi Karya tertulis bon tanggal 19 Mei 2010, 1 Juni 2010, 18 juni 2010. Adalah mustahil ada dana yang diklaim keluar pada 19 Mei, 1Juni dan 18 Juli 2010 digunakan untuk melakukan pembayaran pada 21 dan 26 April 2010. Belum lagi dengan bon tertanggal 1 Juni dan 18 Juni yang diklaim untuk kepentingan dukungan suara di Kongres yang sudah berakhir pada tanggal 23 Mei 2010.
Keanehan dan keganjilan tersebut makin memperkuat bahwa dakwaan JPU tidak bisa dibuktikan. Apalagi jelas bahwa saksi Munadi Herlambang menyatakan tidak pernah meminta dana kepada Teuku Bagus M. Noor dan tidak pernah diminta Terdakwa untuk mencari dana. Justru saksi Munadi Herlambang mengaku berusaha terlibat di tim relawan semua kandidat, termasuk atas perintah bapaknya, Muchayat, untuk mendukung Andi Mallarangeng dan lewat pamannya mendukung Marzuki Alie.
B. Penerimaan dari M. Nazaruddin (Permai Group) sebesar Rp. 84.515.650.000,- dan USD 36.070,- untuk keperluan persiapan pencalonan Ketua Umum Partai Demokrat adalah data fiksi yang tidak logis dan tidak bisa dibuktikan di persidangan.
Saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan menyebut tidak ada posko pemenangan, kecuali hanya M. Nazaruddin dan sopirnya Aan Ikhyaudin. Bukan hanya para relawan, Munadi Herlambang, pengelola Apartemen Senayan City dan Apartemen Ritz Carlton, bahwa staf M. Nazaruddin, Nuril Anwar dan Eva Ompita Soraya, serta mantan ajudannya Wahyudi Utomo membantah tentang posko tersebut. Yang benar adalah apartemen M. Nazaruddin yang beberapa kali digunakan untuk pertemuan. Sedangkan mayoritas pertemuan dilakukan di tempat lain dan berpindah-pindah. Apalagi di Apartemen Ritz Carlton, sama sekali tidak ada pertemuan terkait dengan persiapan Kongres, karena apartemen tersebut disewa pribadi oleh saksi Munadi Herlambang untuk urusan bisnisnya, dimana saksi Munadi Herlambang adalah member di tempat tersebut dan sering menyewa untuk kepentingan bisnisnya.
Pertemuan dengan DPC-DPC pada bulan Januari dan Februari 2010 adalah tidak pernah terjadi, karena pembicaraan awal tentang dorongan untuk maju menjadi Calon Ketua Umum baru pada akhir Februari 2010. Pertemuan-pertemuan baru dimulai pada akhir Maret 2010 setelah selesai selesainya Pansus Bank Century di DPR. Semua saksi para relawan dan DPC-DPC yang dihadirkan di persidangan membantah adanya pertemuan di Apartemen Senayan City pada bulan Januari (disebut dengan 513 DPC dan DPD) dan Februari (disebut dengan 400 Ketua DPC). Yang makin tidak logis adalah karena kapasitas tempat, fasilitas dan prosedurnya tidak memungkinkan terjadinya pertemuan seperti tergambar dalam dakwaan dan tuntutan. Cerita ini makin fiktif karna disebut biaya pertemuan dengan 513 DPC dan 430 DPC adalah sama jumlahnya, RP 7.000.000.000,-
Apa yang disebut roadshow ke daerah-daerah adalah tidak sebagaimana disebutkan di dalam dakwaan dan tuntutan, roadshow atau silaturrahim hanya terjadi di Aceh pada acara resmi Rakorda, di Medan dengan sebagian DPC di Sumut, sepulang dari Aceh, di Yogyakarta dengan sebagian DPC Jawa Tengah, di Kalsel bersamaan dengan acara KAHMI dan di Makassar dengan sebagian DPC di wilayah Sulawesi. Roadshow yang disebutkan ke seluruh Indonesia dengan biaya 15 milyar rupiah adalah tidak benar dan telah dibantah oleh para saksi. Hanya saksi M. Nazaruddin yang dijadikan dasar dakwaan.
Demikian pula dengan kegiatan silaturrahmi dengan DPC-DPC di Hotel Sultan 28 Maret 2010 dan Deklarasi tanggal 15 April 2010 adalah kegiatan yang disiapkan oleh para relawan, tidak dengan biaya 11 milyar dan 20 milyar sebagaimana disebut di dalam dakwaan dan tuntutan JPU. Tidak ada biaya-biaya yang disebutkan di dalam dakwaan dan tuntutan, seperti uang saku, uang entertainment, biaya siaran langsung, biaya koordinator dan sebagainya. Juga jelas bahwa tidak ada pembiayaan dari Permai Group. Jumlah DPC yang hadir juga tidak seperti di dalam dakwaan dan tuntutan. Misalnya disebutkan 446 ditambah 138 DPC untuk acara 28 Maret dan 460 DPC untuk deklarasi 15 April 2010. Bagaimana bisa hadir 584 DPC kalau jumlah keseluruhan DPC saat itu adalah 494 DPC? Lalu sisa DPC dari negara mana? Apalagi tidak mngkin semua DPC hadir, karena dukungan kepada para kandidat pada saat itu sudah terbelah dan terbagi dengan cukup jelas. Paling banyak yang hadir adalah separuh dari keseluruhan jumlah DPC. Selebihnya adalah para kader fungsionaris DPP PD, para anggota DPR, para senior dan undangan eksternal.
Inti dari semua itu adalah bahwa para saksi mempunyai keterangan yang berbeda dengan M. Nazaruddin. Jika keterangan banyak saksi yang mengalami peristiwa secara langsung yang berbeda dan bertentangan dengan M. Nazaruddin, adalah naif jika yang dipercaya oleh JPU adalah keterangan M. Nazaruddin. Saksi-saksi lain bisa dipercaya karena tidak mempunyai kepentingan, tidak mempunyai agenda tersembunyi untuk mencelakakan pihak lain.
C. Penerimaan dari M. Nazaruddin (Permai Group) sebesar 30 milyar rupiah dan USD 5. 225.000, untuk keperluan pelaksanaan pemilihan Ketua Umum adalah tidak bisa dibuktikan dan dibantah dengan telak oleh para saksi yang dihadirkan di persidangan. Inti-inti dari keterangan yang membantah dakwaan dan tuntutan tersebut adalah :
– Bahwa uang 30 milyar dari kantong M. Nazaruddin kembali dibawa ke Jakarta dan disetor kembali ke rekening-rekening perusahaan. Ini dijelaskan oleh saksi Yulianis. Yang terpakai hanya 700 juta rupiah untuk keperluan kepanitiaan Kongres, sesuai keterangan saksi Yulianis dan Nuril Anwar.
– Dari USD 5.225.000,- yang berasal dari Permai Group adalah USD 2 juta, sisanya adalah berasal dari sumbangan-sumbangan. Uang USD 2 juta dari Permai Group kembali utuh dan dibawa ke Jakarta oleh Neneng Sri Wahyuni. Jadi jelas tidak ada dana dari Permai Group untuk kepentingan tim relawan pemenangan Terdakwa. Yang digunakan adalah USD 1,8 juta dari sumbangan-sumbangan dan kemudian ditukar dalam mata uang USD. Uang sebesar USD 1,8 juta tersebut dipergunakan atas perintah M. Nazaruddin kepada Nuril Anwar, Eva Ompita Soraya dan Wahyudi Utomo untuk bermain 3 kaki dalam Kongres, yakni diberikan kepada DPC-DPC dari semua kandidat. Hal ini dilakukan karena M. Nazaruddin berambisi untuk menjadi Bendahara Umum, siapapun yang terpilih menjadi Ketua Umum. Ada pula dana yang dipergunakan untuk membayar Hotel Masion Pine yang digunakan sebagai tempat penyelenggaran Kongres, karena pada saat itu M. Nazaruddin adalah Wakil Bendahara Umum DPP PD yang menjadi Bendahara Umum defacto karna Bandahara Umum Zainal Abidin meninggal dunia pada saat proses Pilpres 2009. Sisa dana dari sumbangan-sumbangan tersebut juga dibawa kembali ke kantor M. Nazaruddin. Hal demikian terungkap dengan jelas dalam kesaksian Yulianis, Oktarina Furi, Nuril Awar, Wahyudi Utomo, Eva Ompita Soraya dan para relawan, seperti Saan Mustopa, Sudewo, Umar Arsal, Mirwan Amir dan M. Rahmad. Sedangkan apa yang ditulis di dalam dakwaan dan tuntutan hanya berasal dari keterangan M. Nazaruddin dan sopirnya Aan Ikhyaudin.
Dari data, keterangan dan kesaksian para saksi tersebut jelas bahwa bukan ada penerimaan untuk Terdakwa sebagaimana didakwakan oleh JPU, melainkan justru ada sisa dana dari sumbangan-sumbangan USD 3,2 juta yang hanya terpakai USD 1,8 juta, untuk hajat dan kepentingan main tiga kaki oleh M. Nazaruddin, yang dibawa kembali ke kantor dan dikuasai oleh M. Nazaruddin. Teranglah bahwa yang terjadi adalah adanya penerimaan sekitar USD 1,4 juta sisa dana sumbangan oleh M. Nazaruddin dan digunakan untuk kepentingannya sendiri dan baru diketahui dari proses persidangan ini. Artinya yang justru untung dari peristiwa Kongres secara finansial adalah M.Nazaruddin, selain tercapai ambisinya untuk menjadi Bendahara Umum.
D. Perimaan mobil Toyota Harrier B 15 AUD seharga Rp. 670.000.000,- terbukti bukan dari Adhi Karya sebagai tanda jadi proyek Hambalang, sebagaimana kesaksian Teuku Bagus M. Noor, Machfud Suroso, Munadi Herlambang, Yulianis, Clara Maureen dan para pegawai Adhi Karya. Tuduhan gratifikasi mobil Harrier dari Adhi Karya sebagai tanda jadi proyek Hambalang inilah yang menjadi awal mula penetapan Anas Urbaningrum menjadi tersangka proyek Hambalang. Padahal amatlah jelas bahwa mobil Harrier tersebut tidak ada kaitannya dengan Adhi Karya dan proyek Hambalang. Gegap gempita pemberitaan dan opini gratifikasi mobil Harrier dari proyek Hambalang sudah diangkat sejak akhir 2011, sesuatu yang tidak logis, tidak berdasar dan tidak ada bukti apapun. Di persidangan ini semakin terbukti bahwa tidak ada kaitan mobil Harrier dengan Adhi Karya dan apalagi proyek Hambalang.
Mobil Harrier dibeli pada 12 September 2009 dan sejak hari itu saya pergunakan, yakni saat saya belum menjadi Anggota DPR, belum mendapatkan SK sebagai Anggota DPR dan apalagi diambil sumpah/janji sebagai Anggota DPR. Mobil tersebut juga bukan pemberian, melainkan saya beli dengan dana talangan awal dari M. Nazaruddin, setelah saya menyerahkan uang muka 200 juta rupiah dengan disaksikan oleh Saan Mustopa dan Pasha Sukardi di Restoran Chatter Box Plaza Senayan.
Belakangan ketika mobil ini dianggap berkasus karena dituduh berasal dari Adhi Karya, atas skenario cerita dari M. Nazaruddin dan Marisi Matondang, saya baru tahu bahwa uang 200 juta rupiah yang saya berikan sebagai uang muka hanya digunakan Rp. 150.000.000,- dan sisanya memakai cek PT. Pasific Putra Metropolitan sebesar Rp. 520.000.000,-
Pada bulan Februari 2010 saya memberikan cicilan pembayaran sebesar Rp. 75.000.000,- di ruangan kerja saya, dimana uang diambil dari lemari kerja oleh M. Rahmad dan diserahkan kepada M. Nazaruddin. Setelah selesai Kongres, karena ada informasi yang tidak benar oleh pembicaraan M. Nazaruddin, Juli 2010 mobil Harrier di jual dan uang hasil penjualan, sebesar Rp. 500.000.000 diserahkan kepada M. Nazaruddin melalui ajudannya Wahyudi Utomo. Jadi M. Nazaruddin menerima uang muka 200 juta, cicilan 75 juta dan hasil penjualan 500 juta sehingga total adalah Rp. 775.000.000, cukup untuk ganti plus keuntungan dari dana yang telah dikeluarkannya (670 juta rupiah).
Amatlah jelas bahwa mobil Harrier yang bersejarah tersebut bukan pemberian, bukan pemberian dari Adhi Karya, tidak terkait dengan proyek Hambalang, dibeli sebelum Terdakwa menjadi Anggota DPR dengan cara yang halal dan proses jual beli yang lazim. Jadi, dimanakah letak gratifikasinya? Apa pula kaitannya dengan proyek Hambalang dan Adhi Karya?
E. Penerimaan lain berupa fasilitas mobil Toyota Vellfire dan fasilitas survei dari LSI jelaslah bukan penerimaan sebagai penyelenggara negara. Mobil toyota Vellfire adalah pinjaman dari seorang sahabat, Wasith Suady, yang merasa ada simpati dan hubungan batin dan sebagai pinjaman mulai digunakan mulai bulan September 2010, pada saat sudah bukan Anggota DPR. Meskipun mobil tersebut hendak dipinjamkan bukan kepada Anggota DPR, tetapi kepada sahabatnya yang menjadi Ketua Umum PD, dan tidak ada udang di balik batu, tetap saya secara sengaja baru mau menerima dan menggunakan setelah tidak menjadi Anggota DPR. Oleh karena itulah tidak ada dasarnya didakwa sebagai penerimaan fasilitas sebagai penyelenggara negara. Memaksakan mobil pinjaman yang diterima seseorang dan digunakan setelah tidak lagi sebagai Anggota DPR menjadi penerimaan fasilitas bagi penyelenggara negara adalah tindakan hukum yang tidak berdasar dan dapat disebut sebagai aniaya. Apakah dalam relasi pada kehidupan modern seperti sekarang ini tidak boleh ada tempat bagi ekspresi simpati dan persahabatan? Apalagi tidak ada lagi status sebagai penyelenggara negara.
Demikian halnya dengan apa yang dilakukan oleh Denny JA dari LSI yang ingin merawat dan mengembangkan reputasi lembaganya, termasuk untuk melakukan investasi, mengapa dipaksakan sebagai penerimaan fasilitas? Dengan jelas dan tegas saksi Denny JA menyampaikan bahwa yang dilakukannya bukanlah pemberian kepada Anggota DPR, melainkan investasi lembaganya untuk terus bisa menjaga reputasi lewat proses Kongres Partai Demokrat yang saat itu dianggap sebagai peristiwa politik penting dan bernilai reputasi yang tinggi. Keterangan saksi Denny JA sejalan dengan kesaksian Saan Mustopa dan Nirwan Amir. Bahwa peristiwa ini adalah peristiwa investasi dan kerjasama politik yang tidak ada relevansinya dengan status Anggota DPR, melainkan sebagai kader partai yang sedang dalam proses kompetisi demokratik secara internal. Bahwa yang dilakukan Denny JA bukanlah survei yang dilakukan sebagaimana secara umum dipahami oleh masyarakat politik, melainkan kampanye tentang pentingnya demokrasi di dalam Kongres PD dan pentingnya Ketua Dewan Pembina PD mengambil jarak yang sama dengan semua calon. Jadi kalau didakwa menerima fasilitas survei sebesar Rp. 478.632.230 adalah tidak benar karena survei yang dilakukan hanya menelan biaya 20 juta rupiah saja. Biaya yang besar adalah untuk iklan demokratisasi Kongres Partai Demokrat dan sekali lagi hal itu dilakukan Denny JA-LSI sebagai investasi dan sekaligus usaha menjaga dan menaikan reputasi lembaganya.
Dengan demikian jelas bahwa tidak bisa dibuktikan adanya penerimaan langsung berupa mobil, karena pada saat itu Terdakwa bukan penyelenggara negara. Kategori penyelenggara negara dari Anggota DPR adalah sejak pengambilan sumpah/janji sampai adanya pengambilan sumpah/janji pada periode berikutnya, kecuali menyatakan mengundurkan diri, yakni pada saat terbitnya SK Pemberhentian dari Presiden.
Juga jelas tidak ada penerimaan secara tidak langsung dalam kaitan dengan Kongres, karena pada saat Kongres yang berlaku adalah status sebagai kader partai yang dimajukan sebagai Calon Ketua Umum dan tidak terkait dengan kekuasaan atau kewenangan sebagai anggota DPR (penyelenggara negara), sebagaimana juga kontestan yang lain yang Ketua DPR dan Menteri serta Presiden yang juga dipilih Kongres sebagai Ketua Dewan Pembina. Semua kader PD saat Kongres adalah dalam status sebagai kader partai, bukan Presiden, Menteri, Ketua DPR, Ketua Fraksi, Anggota DPR, Gubernur, Bupati, Walikota dan Anggota DPRD.
Yang Mulia Majelis Hakim,
Yang Terhormat Jaksa Penuntut Umum,
Tim Penasihat Hukum dan Sidang Pengadilan yang saya hormati,
Menurut ahli Prof. Edward Omar Syarif Hiarej, ahli Dr. Yunus Husin, ahli Dr. Khairul Huda bahwa tidak ada tindak pidana pencucian uang kalau tidak ada tindak pidana asal (predicate crime). Karena itulah Jaksa Penuntut Umum wajib membuktikan adanya prediate crime di dalam persidangan sebagai dasar bagi pembuktian TPPU.
Bahwa dalil JPU menyebutkan bahwa terdapat sisa dana pemenangan Kongres PD di Bandung tahun 2010 sebesar USD 1,3 juta dan Rp. 700.000.000 dan disimpan di Permai Group, dimasukkan brangkas operasional dan dijadikan satu dengan dana fee proyek-proyek yang dibiayai oleh APBN. Bahwa dana sisa tersebut didalilkan digunakan Terdakwa untuk membayar atau membeli tanah dan bangunan seluruhnya sebesar Rp. 20.880.100.000,- di Durensawit dan di Jogjakarta, atas nama Terdakwa, Attabik Ali dan Dinazad.
Bahwa dalil tersebut tidak benar dan tidak bisa dibuktikan di persidangan. Tidak ada bukti yang bisa dipercaya dan bisa dipertanggungjawabkan bahwa telah ada aliran uang sisa dana pemenangan Kongres dan fee proyek-proyek Permai Group kepada Terdakwa.
Tidak ada pemberian atau penyerahan uang USD 1 juta dari M. Nazaruddin (Permai Group) kepada Terdakwa. Bahwa cerita tentang penyerahan uang USD 1 juta oleh supir M. Nazaruddin, Heri Sunandar kepada Riyadi (sopir Terdakwa) adalah cerita yang dibantah oleh Wahyudi Utomo yang disebut oleh Heri Sunandar bertemu Riyadi di Soto Pak Sadi Jalan Walter Monginsidi. Kesaksian Wahyudi Utomo membantah keterangan Heri Sunandar. Justru keterangan Wahyudi Utomo dan Nuril Anwar, uang USD 1 juta dibawa ke rumah Marzuki Alie.
Keterangan Heri Sunandar bahwa dia yang mengambil uang dari Permai Group tidak sama dengan keterangan Makmur, OB Permai Group. Keterangan Makmur menyebutkan bahwa yang mengambil uang adalah Wahyudi Utomo, dimana keterangan Makmur sejalan dengan keterangan Yulianis, Wahyudi Utomo dan Nuril Anwar.
keterangan Heri Sunandar juga berbeda dengan keterangan M. Nazaruddin yang menyebut penyerahan 10 hari setelah Kongres. Sedangkan menurut Heri Sunandar adalah Januari 2011.
Keterangan Yulianis menyebutkan di dalam catatan uang USD 1 juta tersebut adalah untuk Mr. Marisi, kode untuk M. Nazaruddin. Bukan untuk Terdakwa. Keterangan Riyadi dan Fajar Firmansyah juga berbeda dengan keterangan Heri Sunandar. Apalagi ada keterangan yang tidak logis dari Heri Sunandar bahwa uang sebesar USD 1 juta ditaruh di mobil Kijang dan ditinggalkan di seberang jalan Soto Pak Sadi. Bagaimana ada sopir yang mengaku tahu isi kotak bungkusan berupa uang USD 1 juta ditinggal di mobil yang di parkir di seberang jalan dan tidak terlihat dari tempat makan Soto Pak Sadi .
Jadi dalil tentang aliran dana penyerahan uang USD 1 juta dari M. NAzaruddin (Permai Group) tidak terbukti, sehingga predicate crime-nya tidak bisa dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum di dalam persidangan. Karena itulah tidak ada TPPU, baik dalam pembelian tanah dan bangunan atas nama Terdakwa, 16 November 2010, di Durensawit, pembelian tanah oleh Attabik Ali di jalan Selat Makassar Durensawit 28 Juni 2011, pembelian tanah oleh Attabik Ali di Mantrijeron Jogjakarta tanggal 20 Juli 2011, pembelian tanah oleh Attabik Ali atas nama Dinazad di Panggungharjo Sewon Bantul 29 Februari 2012, dan pembelian tanah oleh Attabik Ali atas nama Dinazad di Panggungharjo Sewon Bantul 30 Maret 2013.
Tanah yang Terdakwa beli dari Reny Sari Kurniasih di Jl. Teluk Semangka C9 No.1 Durensawit Jakarta Timur sebesar 3,3 milyar rupiah adalah atas bantuan Sdr. Ayung pemilik Sanex Steel, sesuai dengan keterangan Carel Ticualu, Nurrachmad Rusdam dan Hutomo Agus Subekti di depan pengadilan. Bukan dibeli dari dana M. Nazaruddin atau Permai Group atau dari dana sisa Kongres Partai Demokrat di Bandung.
Sedangkan tanah-tanah yang dibeli Attabik Ali : di Jl. Selat Makassar Durensawit yang kemudian dibangun untuk markas alumni Ponpes Krapyak di Jakarta, di Matrijeron Yogyakarta dan di Panggungharjo Sewon Bantul untuk kepentingan pengembangan pesantren adalah dibeli dari hasil penjualan kamus dan bantuan-bantuan para tokoh yang sejak lama dikumpulkan dalam bentuk USD, uang rupiah simpanan, emas batangan dan tanah yang lokasinya agak jauh dari kompleks pesantren sehingga lebih baik untuk dilepas sebagai bagian dari pembayaran tanah yang berbatasan langsung dengan tanah dan bangunan pesantren.
Amat jelas bahwa dana untuk membeli tanah-tanah tersebut bukan berasal dari Permai Grup atau M. Nazaruddin. Memang sebagaimana tradisi kehidupan pesantren pada umumnya, ada kelemahan dari sisi administras. Tetapi kelemahan administrasi bukanlah alasan untuk menyebut sebagai tindak pidana pencucian uang. Kalau kelemahan administrasi dikaitkan dengan tindak pidana, padahal tidak terbukti ada predicate crime, hal itu akan membahayakan hak-hak warga negara, khususnya di kalangan pesantren yang belum terbiasa dengan sistem administrasi yang rapi. Apalagi manajemen pesantren cenderung bersifat ikhlas dan tidak secara ketat memisahkana aset pribadi dan pesantren. Malah biasanya aset-aset pribadi diabaikan untuk kepentingan kemajuan pesantren.
Penegakan hukum seharusnya memperhatikan situasi-situasi khusus kearifan lokal yang hidup di tengah-tengah masyarakat kita. Cara pandang sistem keuangan modern tidak bisa serta merta digunakan untuk menilai peristiwa transaksi yang terkait dengan tradisi pesantren.
Apalagi jelas bahwa aset-aset yang dibeli tersebut adalah untuk kepentingan umum dan kemaslahatan orang banyak. Bukan untuk kepentingan pribadi. Perjuangan mengumpulkan dana dalam waktu yang cukup lama, baik dari usaha bisnis maupun dari bantuan pihak lain adalah bagian dari komitmen sosial dan kesukarelawanan. Hal yang menjadi salah satu sikap dasar dari kalangan pesantren.
Majelis Hakim Yang Saya Muliakan,
Jaksa Penuntut Umun, dan
Tim Penasihat Hukum yang terhormat,
Sesungguhnya di dalam persidangan sudah jelas dan terang benderang bahwa IUP PT.Arina Kotajaya di Kutai Timur bukan punya Terdakwa dan bahkan tidak ada kaitannya dengan Terdakwa. tidak ada saksi satupun yang menyebut dan mengaitkan IUP PT. Arina Kutajaya itu dengan Terdakwa, kecuali hanya dalam BAP M. Nazaruddin.
Apa yang disebut pertemuan di Hotel Sultan pada awal tahun 2010 yang dihadiri oleh Terdakwa , Isran Noor, M. Nazaruddin, Khalilurrahman Syahlawi dan Toto Gunawan untuk membicarakan tambang batubara adalah tidak pernah terjadi dan hanya ada dalam BAP M. Nazaruddin. Saksi-saksi yang lain menyebut tidak ada pertemuan dimaksud.
Di dalam proses pengurusan IUP tersebut, mulai dari pembelian PT. Arina Kotajaya oleh notaris Bertha Herawati, penggantian pengurusan oleh staf M. Nazaruddin, Syarifah dan Nur Fauziyah, pembicaraan kerjasama antara M. Nazaruddin, saudara-saudaranya (M. Nasir dan Mujahidin Nurhasim) dan stafnya dengan Khalilurrahman Syahlawi, termasuk terbitnya cek oleh Yulianis atas perintah M. Nazaruddin, proses pengurusan di Kutai Timur dan kemudian terbit IUP, serta bagaimana setelah IUP itu terbit, semuanya itu Terdakwa tidak tahu, tidak mengerti dan apalagi terlibat.
Oleh karena itu adalah aneh dan ganjil ketika didakwakan bahwa IUP PT. Arina Kotajaya adalah milik Terdakwa dan termasuk ke dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dengan jelas saksi Yulianis, Bertha Herawati, Syarifah dan Khalilurrahman Syahlawi menyebutkan IUP PT. Arina Kotajaya adalah milik M. Nazaruddin. Saksi Isran Noor dan Wijaya Rahman juga menjelaskan bahwa IUP tersebut tidak ada kaitan dengan Terdakwa. Jika terbitnya IUP tersebut terkait dengan TPPU, maka fakta-fakta persidangan menunjukkan bahwa semuanya terkait dan atas perintah M. Nazaruddin.
Mengapa IUP yang terang benderang milik M. Nazaruddin malah dibalik sebagai milik Terdakwa dan dimaksudkan ke dalam dakwaan dan tuntutan TPPU. Sungguh hal ini adalah bagian dari usaha yang tidak baik dan tidak adil, semata-mata untuk menyeret Terdakwa masuk ke dalam perkara yang tidak pernah diketahuinya.
Mengapa Terdakwa hendak ditarik-tarik hanya karena pernah bersama-sama di PT. Parama Nusantara dengan Khalilurrahman Syahlawi dan sudah berhenti sebelum menjadi Anggota DPR. Padahal tidak ada kaitan apapun PT. Arina Kotajaya dengan PT. Parama Nusantara. Kalaupun ada, tentu tidak ada kaitannya dengan Terdakwa. Apalagi faktanya tidak ada hubungan dan kaitan antara PT. Parama Nusantara dengan PT. Arina Kotajaya.
Mengapa yang tidak ada kaitan dengan Terdakwa dipaksakan sebagai TPPU? Mengapa bukan TPPU untuk yang jelas-jelas sebagai pemiliknya? Kita tanyakan kepada rumput yang bergoyang.
Yang Mulia Majelis Hakim,
Yang Terhormat Jaksa Penuntut Umum,
Tim Penasehat Hukum dan Sidang Pengadilan yang saya hormati,
Mencermati tuntutan yang diajukan JPU, sungguh itu adalah tuntutan yang sangat lengkap, berat dan di luar akal sehat. Lengkap karena merupakan gabungan dari hukuman badan, uang pengganti, perampasan aset, denda dan pencabutan hak sipil. Berat karena tidak sejalan dengan fakta-fakta persidangan yang sudah tergelar secara terbuka di depan publik. Di luar akal sehat karena tidak bisa dibedakan dari ekspresi kemarahan, kebencian dan kedzaliman.
Sangat mungkin tuntutan yang sangat berat dan sulit dicerna oleh akal waras ini adalah karena Terdakwa dituduh melakukan obstruction of justice. Bagaimana seorang Terdakwa yang ditahan, dicabut kebebasannya, tidak mempunyai kewenangan dan kekuasaan, disebut melakukan obstruction of justice atau menghalang-halangi keadilan?
Apa yang dilakukan Terdakwa di persidangan adalah berusaha menggali fakta-fakta selengkap mungkin agar bisa dinilai dengan tepat, adil dan proporsional tentang perkara yang sedang di dakwakan. Semuanya juga atas izin dari Majelis Hakim yang tentu mempunyai takaran tentang kepantasan dan kepatutan dalam persidangan. Bahkan terhadap fasilitas hak ingkar sekalipun, terdakwa tidak mengambilnya. Terdakwa memilih untuk menggunakan hak menjelaskan konteks dan memberikan klarifikasi agar persidangan mendapatkan perspektif yang benar dan sesuai dengan kenyataan.
Semestinya yang dinilai sebagai obstruction of justice adalah perencanaan dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh M. Nazaruddin dan para anak buahnya dan pihak lain yang bertujuan mencelakakan Terdakwa secara hukum, termasuk dengan memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar secara sistematis.
Jika apa yang dilakukan Terdakwa di persidangan untuk secara sungguh-sungguh menghasilkan fata-fakta yang otentik dan lengkap dianggap sebagai obstruction of justice, apakah artinya Terdakwa yang diam dan pasrah, menyerah pada dakwaan meskipun dakwaan tersebut tidak benar, dianggap sebagai mendukung keadilan? Jika itu yang dianggap benar dan dinilai sejalan dengan tujuan penegakan hukum, maka perlu ditegaskan sejak awal bahwa Terdakwa yang baik dan teladan adalah yang pasrah dengan dakwaan dan menerima begitu saja di dalam proses persidangan. Tapi saya yakin kita semua yang cinta dan berkomitmen menegakkan keadilan akan setuju dan mendukung kontestasi yang adil antara JPU dan Terdakwa, semata-mata untuk menemukan kebenaran materiil yang akan dinilai oleh Majelis Hakim berdasarkan aturan hukum dan keyakinannya.
Terhadap tuntutan hukuman badan selama 15 tahun bukan saja menjadi angka yang berjalan sendirian dan terlepas dari konteks fakta-fakta persidangan, tapi juga terasa dimotivasi oleh sesuatu yang tersembunyi dan penuh misteri.
Terhadap tuntutan perampasan aset jelaslah telah kehilangan argumentasi ketika tidak bisa dibuktikan adanya tindak pidana asal (predicate crime). Merampas aset warna negara secara tidak sah adalah tindakan yang batil dan jauh dari keadilan.
Terhadap tuntutan uang pengganti juga amat jelas juga data-datanya sudah batal dan terbantahkan oleh para saksi di persidangan. Sebagian amat kecil yang benar juga bukan penerimaan kepada penyelenggara negara, melaikan kebutuhan pembiayaan politik yang wajar di dalam forum Kongres dan berkonteks sebagai kebutuhan dan perjuangan kolektif untuk kepentingan kemajuan partai. Bukan untuk kepentingan pribadi dan bukan fasilitas pribadi.
Terhadap tuntutan pencabutan hak politik atau hak untuk dipilih pada jabatan publik adalah tidak berdasar. Bukan saja hal tersebut berselisih dengan hak sipil warga negara, tetapi juga karena perkara yang didakwakan sesungguhnya bukan termasuk kategori korupsi politik, jika kategori tersebut dipandang ada, melainkan peristiwa politik kompetisi demokratik internal partai yang dikoruptorkan secara terpilih -terseleksi, yakni hanya pada salah satu kontestan saja. Memaksakan pencabutan hak politik secara tidak patut bukanlah tindakan hukum dan keadilan, melaikan tindakan politik yang diberikan sampul hukum yang bisa disebut sebagai kekerasan politik dan hukum sekaligus.
Atas dasar itu semua, dengan bertawakal kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Adil dan Bijaksana, saya (Terdakwa) memohon perlindungan hukum dan keadilan kepada yang Mulia Majelis Hakim. Di dalam palu Majelis Hakimlah keadilan dalam perkara ini bisa didirikan dan di tegakkan.
Sebagai anak kampung, anak rakyat, anak orang biasa yang sedang belajar politik atas dorongan teman-teman dan para sahabat, salah satunya pernah mempunyai pengalaman pahit tentang cita-cita pribadi gagal untuk menjadi dosen, sungguh di dakwa korupsi untuk peristiwa politik adalah pukulan yang sangat berat. Apalagi kemudian diikuti dengan dakwaan TPPU yang tanpa predicate crime, hanya karena kekurangan dari segi administrasi, sungguh merupakan ujian yang luar biasa.
Karena itulah, atas dasar fakta-fakta persidangan, kearifan, kebenaran dan keadilan, mohon kiranya Majelis Hakim berkenan memberikan keputusan bahwa Terdakwa tidak terbukti bersalah, membebaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum dan mengembalikan harkat dan martabat hidup Terdakwa. Atas perkenan Majelis Hakim saya sampaikan rasa hormat dan terima kasih.
Majelis Hakim Yang Saya Muliakan,
Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat,
Penasihat Hukum dan Sidang Pengadilan yang saya hormati,
Sebelum mengakhiri Nota Pembelaan (Pledoi) ini izinkanlah saya menyampaikan hal-hal yang semoga bisa melengkapi makna, substansi, spirit dan pesan dasar dari Pledoi ini.
Bahwa sejak awal perkara yang didakwakan kepada saya tidak terlepas dari dinamika dan kepentingan politik, setidak-tidaknya di internal PD, tangan kekuasaan dan digiring sedemikian rupa oleh orkestra opini, karena sebagian kekuatan opini sulit dipisahkan dari kekuatan dan kepentingan politik. Bahkan hari-hari belakangan ini orkestrasi opini untuk membangun persepsi, termasuk untuk mempengaruhi persepsi, perspektif dan keyakinan Hakim. Namun demikian saya yakin fakta-fakta hukum di persidangan lebih kuat dibandingkan dengan opini dan persepsi yang secara sistematis dibangun oleh media-media tertentu.
Saya hanya ingin mengangkat sedikit mutiara nilai kearifan Jawa, yakni Ojo Dumeh dan Ojo Adigang, Adigung, Adiguna. Secara sederhana “Ojo Dumeh” bermakna pesan “jangan sombong” dan “jangan mentang-mentang”. Sedangkan “Ojo Adigang, Adigung, Adiguna” juga bermakna pesan dan peringatan kepada siapapun yang memiliki kelebihan (kekuatan, kedudukan, kekuasaan dan kewenangan) untuk tidak bersikap sewenang-wenang. Agar siapa yang mempunyai kekuatan, kedudukan, kekuasaan dan kewenangan tidak terjebak pada sikap “Sapa Sira, Sapa Ingsun“, “Siapa Kamu, Siapa Aku”.
Karena segala sesuatu ada batasnya ada pula masanya. Ada akhirnya dan ada pula akhirnya. Hal-hal ini amat relevan dengan ajaran, komitmen dan spirit keadilan di dalam proses penegakan hukum. Karena diatas segalanya ada kekuasaan Tuhan dan “Gusti Ora Sare“, “Tuhan tidak tidur”. Tuhan menuntun karma mencari alamatnya sendiri-sendiri sesuai dengan logika alam dan ketentuan Tuhan.
Kepada Jaksa Penuntut Umum sekali lagi saya mengucapkan selamat, hormat dan terima kasih atas proses dinamis dan bermutu dalam persidangan ini. Meskipun tuntutan JPU sangat berat dan diluar nalar keadilan, hal itu tidak mengurangi rasa hormat dan terima kasih saya, karena boleh jadi Surat Tuntutan itu bukanlah murni dari kristalisasi pemikiran JPU atas fakta-fakta hukum di persidangan. Hubungan sebagai sesama manusia tidak seharusnya rusak hanya karena kontestasi keadilan di persidangan. Esok hari adalah bagian dari misteri dalam Kuasa Gusti Allah.
Kepada Majelis Hakim, saya menutup Pledoi ini dengan rasa takzim dan terima kasih yang tulus, karena secara adil telah memimpin dan memandu persidangan, termasuk memberikan kesempatan yang adil pula kepada Terdakwa untuk menggali fakta-fakta hukum dan kebenaran. Tentu disertai permohonan dan harapan untuk memutuskan perkara ini dengan seadil-adilnya.
Khusus kepada Ketua Majelis Hakim saya menyampaikan selamat menunaikan ibadah haji. Semoga senantiasa sehat, lancar dan kembali ke Indonesia sebagai haji mabrur dan dapat melaksanakan tugas kembali untuk melayani pencari keadilan di negeri ini.
Kepada semua pihak, Pimpinan KPK, penyidik JPU, Majelis Hakim, hadirin, rekan-rekan wartawan dan siapa saja yang merasa kurang berkenan atas perkataan, sikap dan tindak tanduk saya dalam proses penyidikan dan persidangan. semuanya saya lakukan semata-mata untuk mendapatkan keadilan sebagai warna negara. Karena saya yakin kita semua tertuju untuk tegaknya keadilan.
Terimakasih atas segala perhatian,
Mohon maaf atas segala kekurangan,
Wassalammu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 18 September 2014
Anas Urbaningrum.
Sumber: Rakyat Merdeka Online