TOTABUAN.CO – Gunung Slamet beberapa minggu ini terus menunjukkan aktivitas vulkaniknya. Semburan lava pijar dan hujan abu selalu menyelimuti puncak gunung yang berada di lima kabupaten, Brebes, Banyumas, Purbalingga, Pemalang dan Tegal ini. Kamis siang kemarin, letusan lava pijar Gunung Slamet mengarah ke barat dan barat daya Gunung Slamet. Arah tersebut ke wilayah Brebes dan Tegal, Jawa Tengah.
Koordinator SAR Daerah Jateng Bakorwil III Banyumas-Pekalongan, Rudi Setiawan, mengemukakan dari pantauan visual, lontaran tertinggi dan memanjang radius biasanya hanya satu kilometer.
“Sekarang sudah dua kilometer lebih. Untuk tanggal 10 saja semburan sampai 80 kali dan lontaran batu pijar 50 kali,” katanya Kamis, (11/9).
Seperti halnya gunung-gunung lain, Gunung Slamet juga memiliki mitos yang menyebar dari mulut ke mulut warga di lereng sekitarnya. Salah satu mitos yang akrab di warga lereng Slamet yakni terbelahnya pulau Jawa jika gunung yang memiliki ketinggian 3.428 itu meletus besar.
Mitos ini banyak diyakini warga lantaran letak Gunung Slamet yang memang nyaris berada di tengah-tengah antara pantai utara dan selatan. Gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa ini juga letaknya berada di tengah-tengah pulau Jawa. Menurut cerita, jika Gunung Slamet meletus besar maka akan membuat parit besar atau selat yang menyatukan laut selatan dan utara. Cerita ini sudah lama berkembang di warga Banyumas dan sekitarnya.
“Jare wong tua, nek Slamet jeblug gede bisa mbelah pulau Jawa. Soale kan memang secara geografis pas di tengah-tengah laut pantai selatan dan utara (Kata orangtua, kalau Slamet meletus besar bisa membelah pulau Jawa),” ujar Marko, warga Bobosan, Banyumas, Jawa tengah dalam sebuah perbincangan dengan merdeka.com, Kamis (11/9).
Mitos ini kemudian dihubung-hubungan dengan ramalan Ki Jayabaya yang menyebut suatu saat Pulau Jawa akan terbelah dua. Entah ramalan atau mitos warga yang lebih dulu, namun kedua hal itu seolah menjadi tali temali satu sama lain. Bahwa pulau Jawa akan terbelah dua dan Gunung Slamet adalah sumbunya.
Mitos tersebut jika dihubungkan dengan Gunung Krakatau seolah bukan hal mustahil. Gunung Krakatau yang terletak di selat Sunda pada tanggal 27 Agustus 1883 silam meletus dahsyat. Akibat letusan tersebut, tercipta awan panas dan gelombang tsunami yang menyebabkan sekitar 36.000 jiwa tewas.
Konon suara letusan yang ditimbulkan dari Krakatau itu terdengar sampai di Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika. Para ahli menyebut daya Krakatau mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.
Para peneliti juga menyebut jauh sebelum letusan tahun 1883, Krakatau pernah meletus hebat dan membuat Pulau Jawa dan Sumatera terpisah. Lalu bagaimana dengan Gunung Slamet?
“Warga kita semua tentu berharap Slamet tetap sedia kala, adem ayem, tidak meletus besar seperti kata-kata orangtua dulu. Slamet itu artinya selamat dan menyelamatkan,” harap Warko.
Pemberian nama Slamet sendiri diyakini mengandung doa dan harapan. Gunung Slamet diharapkan tetap membuat warga yang tinggal di lerengnya tetap selamat dan jauh dari mara bahaya.
“Ya pokokmen Gunung Slamet itu sesuai namanya, yang artinya selamat. Semoga cuma batuk-batuk saja, tidak sampai meletus besar. Kita sama-sama berdoa dan tetap waspada. Tiap malam kini ronda terus, dan selalu memantau perkembangan dari HT. Sama-sama berdoa mawon,” harap Warko yang juga tokoh pemuda ini.
Sumber: merdeka.com