oleh : Kusmawaty matara, MA | Masyarakat Pieduli pilwako
Alamat : Jln Cempaka Kel Mogolaing Kota Kotamobagu
Tragis dan cukup memilukan kabar bunuh diri yang dilakukan oleh Suami mantan calon Wakil Wali Kota Semarang, yang dilakukan dengan gantung diri. (Tribun Timur/5/6/10). Meskipun Fenomena ini bukan pertamakalinya terjadi di tanah Air. Beberapa kasus misalnya mantan anggota DPRD Subang dari Fraksi PDIP nekat mencoba mengakhiri hidupnya karena gagal menjadi calon anggota legislative (tahun 2008). Di malang pernah seorang caleg DPRD diduga bunuh diri dengan cara menjerat lehernya dengan kaian sprei (tahun 2009). Di Ponorogo seorang calon bupati juga melakukan percobaan bunuh. Di Ciamis, Jawa Barat, seorang caleg perempuan juga melakukan aksi bunuh diri dengan menejarat lehernya dengan selendang.
Konon sang suami dari kasus di semarang, nekad bunuh diri karena terjerat utang. Beban utang hanya merupakan salah satu prediktor yang memicu seseorang melakukan bunuh diri akibat kekalahan. Keputusan bunuh diri adalah akumulasi dari beberapa prediktor yang mengahancurkan resiliensi (daya pantul) serta hardiness (kekuatan) seseorang dalam menghadapi stressor, rasa malu, harapan besar berbanding terbalik dengan hasil yang dicapai, ditambah dengan pribadi yang kurang matang dalam panggung politik yang penuh dengan intrik dan muslihat.
Terkait dengan gender berdasarkan kasus bunuh diri yang pernah terjadi di dunia, laki-laki lebih banyak yang berhasil melakukan bunuh diri dari perempuan, akan tetapi percobaan bunuh diri (suicidal attemps) tiga kali lebih banyak dilakukan oleh perempuan, ini menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak yang mengalami depresi dan gangguan suasana perasaan. China adalah Negara yang dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia, yang mana mayoritas dilakukan oleh perempuan dan yang tinggal di desa, konon hal ini terkait dengan pengaruh berbagai karya sastra yang menjadikan bunuh diri sebagai solusi terbaik atas segala persoalan, terutama persoalan keluarga, bagi orang china keluarga adalah keseluruhan kehidupannya, sehingga bunuh diri lebih baik ketimbang keluarga bermasalah. (Durang & Barlow, 2006).
Emil Durkheim, mengelompokan motive bunuh diri atas altruistic suicide yakni sebuah pola bunuh diri yang diformalkan. Bunuh diri dianggap jalan suci untuk menggapai martabat tertinggi. Fenomena tersebut bisa dilihat pada budaya haraikiri di Jepang, budaya bunuh diri di gunung kidul Yogyakarta yang dikenal dengan pulung gantung. Pulung artinya wahyu, jika melihat sinar merah dari atas bukit turun di salah satu rumah penduduk, maka penghuni rumah tersebut ditakdirkan untuk meninggal dengan cara menggantung diri. Kalau dalam Islam kita kenal mati syahid. Meskipun syahid dilakukan oleh seorang Muslim dalam sebuah jihad (liat bom bunuh diri diberbagai Negara Islam). Masih dari Durkheim menyebutkan bahwa hilangnya dukungan keluarga menjadi prediktor utama terjadinya bunuh diri yang dia sebut sebagai egoistic suicide.
Terkait dengan fenomena bunuh diri yang dilakukan baik oleh caleg maupun atau keluarganya Durkheim menyebutnya sebagai anomic suicide, yakni perasaan kehilangan arah dan kebingungan. Kebingungan akibat beban atas kekalahan yang dialami, apalagi jika calon tersebut terjerat dengan utang dalam jumlah besar yang tidak mungkin bisa dilunasi dengan sisa logistik yang ada.
Komitmen siap menang dan siap kalah yang diikrarkan sebelum pertarungan hanyalah sebuah formalitas belaka. Mereka tidak memiliki energi mental yang cukup kuat untuk melepaskan diri dari beban hidup akibat kekalahan. Perilaku bunuh diri tentu saja adalah mekanisme melarikan diri dari tanggung jawab, atas segala konsekuensi dari kekalahan tersebut baik itu utang, rasa malu maupun janji-janji. Rasa malu merupakan efek domino dari kekalahan, dalam kampanye para kandididat ini telah menaburkan janji-janji manis pada konstituennya, gelora optimisme yang meledak-ledak akan kemenangan.
Bunuh diri, jika kita merujuk pada Frued dengan psikoanalisanya adalah bentuk ekspresi kemarahan serta kekecewaan yang justru diarahkan pada kedalam dirinya sendiri (self). Beberapa kasus calon yang kalah dalam Pilkada justru melakukan tindakan sebaliknya yakni dengan melakukan tindakan agresi kepada pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas prosesi pilkada yakni KPU. Sang calon berusaha mencari-cari kesalahan dari pihak lain untuk membuktikan bahwa mereka kalah karena ada kecurangan. Ketidak puasan yang lebih jauh lagi dilakukan dengan cara aksi brutal dengan merusak fasilitas public seperti kantor KPU, Kantor pemerintah, kantro DPRD dan sebagainya.
Suasana kehidupan yang stressful juga merupakan faktor resiko yang memicu terjadinya bunuh diri. Kekalahan adalah peristiwa memalukan, setiap calon tentu saja memiliki keyakinan untuk memenangkan pertarungan, sebab jika tidak mereka tidak akan berani bertarung. Keyakinan akan kemenangan ini yang membuat dia berani mengambil resiko untuk menjual sebagaian bahkan seluruh kekayaan yang dimiliki untuk kemenangan tersebut, jika dirasa belum cukup juga maka mereka berani berhutang.
Tentu saja kita tidak ingin peristiwa bunuh diri ini terjadi lagi, apalagi di Bolaang mongondow akan digelar PILWAKO. Kita tidak ingin seorang anak bangsapun mati sia-sia, bagaimanapun mereka adalah putra terbaik bangsa. Olehnya, Team sukses yang disiapkan bukan saja terdiri atas players, tapi juga diperlukan ahli yang paham tentang psikologi atau agama yang bertugas untuk menjaga keseimbangan sebuah team. Agar bisa menerima kekalahan dengan lapang dada, memaknainya dan mengambil hikmah darinya.
Kandidat yang kalah perlu dikuatkan, disinilah peran keluarga sangat menentukan. mereka jangan sampai merasa ditinggalkan atau merasa seorang diri. Keluarga atau orang-orang terdekat perlu mengenali beberapa indikasi perilaku bunuh diri, seperti: perasaan tertekan, merasa malu, atau memberikan pesan-pesan yang bersifat wasiat, menyerahkan barang-barang milik pribadinya, mengamanatkan urusan pribadi, atau membeberkan hal yang sifanya sangat rahasia.
Jika menemukan gejala-gejala tersebut sebaiknya perlu diwaspadai, lakukan pendampingan setiap saat, jauh dia dari benda-benda berbahaya seperti senjata tajam atau senjata api, termasuk zat-zat yang berbahaya misalnya: obat-obatan dan zat yang mengadung racun termasuk tali-temali. Selanjutnya keluarga mesti membesarkan hatinya, minta pertolongan pada professional seperti psikolog atau tokoh agama untuk meyakinkan bahwa kekalahan dalan pilkada bukanlah akhir dari segalanya. (*)