TOTABUAN.CO – Setelah melalui lobi-lobi dan adu argumen yang alot, rapat paripurna DPR akhirnya mengesahkan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah. Kubu pendukung pilkada dikembalikan melalui DPRD yang dimotori partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih memenangkan voting (226 suara). Sementara PDIP, PKB, dan Hanura yang menginginkan pilkada tetap digelar langsung harus gigit jari (135 suara).
Yang membuat heran adalah sikap Fraksi Partai Demokrat yang walk out karena 10 syarat yang diajukan untuk pilkada langsung tidak dijadikan opsi dalam voting yang berakhir Jumat (26/9) dini hari.
Pembahasan RUU ini telah berlangsung panjang jauh sebelum pelaksanaan pemilu presiden. Pemerintah yang awalnya mengajukan draf agar pilkada dikembalikan melalui DPRD ditentang mayoritas fraksi-fraksi di DPR. Mereka menginginkan pilkada tetap digelar langsung. Namun arah angin berubah, saat pilpres menciptakan dua kubu.
Parpol pendukung Prabowo-Hatta yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih berbalik mendukung pilkada via DPRD. Sebaliknya pemerintah membuat draf baru yang berkebalikan dari usul awal. Sementara kubu partai pendukung Jokowi-JK tetap konsisten menolak pilkada tidak langsung.
Sampai akhirnya DPR memutuskan RUU Pilkada dini hari tadi, berikut perjalanan panjang pembahasan RUU Pilkada di DPR seperti dirangkum merdeka.com, Jumat (26/9)
1. Pemerintah usul Gubernur dipilih DPRD
Pada awalnya, dalam draf awal naskah akademis, pemerintah melalui Kemendagri hanya mengusulkan pilkada melalui DPRD hanya untuk Gubernur, adapun untuk Bupati/Walikota harus secara langsung.
Alasannya, Gubernur bisa dipilih oleh DPRD karena dalam UUD 1945 yang sudah diamandemen pun tidak ada aturan Kepala Daerah harus dipilih secara langsung. Hanya disyaratkan ‘dipilih secara demokratis’. Berbeda dengan pengaturan pemilihan Presiden yang secara nyata disebutkan ‘dipilih secara langsung’. Selain itu, posisi pemerintahan Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur adalah sebagai Unit Antara (perantara antara Pemerintahan Pusat dengan Daerah) sementara Pemerintahan Kabupaten/Kota adalah Unit Dasar yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.
Dikarenakan Unit Antara maka pemilihan Gubernur bisa melalui DPRD Provinsi. Adapun untuk Bupati/Walikota secara langsung. Alasannya pemerintahan Kabupaten/Kota merupakan unit yang langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk kenyamanan pelayanan tersebut, masyarakat perlu memperoleh kesempatan untuk secara langsung memilih siapa yang akan memimpinnya.
Naskah Akademik ini lalu dituangkan dalam Draft RUU Pilkada Pasal 2. Disebutkan dalam draft RUU awal: ‘Gubernur dipilih oleh Anggota DPRD Provinsi secara demokratis berdasar asas langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil.’
Adapun untuk pemilihan Bupati/Walikota dari Naskah Akademik itu dituangkan dalam draft RUU sebagai berikut: ‘Pemilihan bupati/walikota dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.’ (Draft RUU Pasal 41). Di sini tidak ada kalimat dipilih oleh Anggota DPRD.
2. Perubahan konstelasi pascapilpres
Konstelasi politik kemudian berubah. Perumusan RUU kemudian menjadi dibalik: Gubernur dipilih langsung dan Bupati/Walikota dipilih oleh DPRD. Sudah bergeser dari Naskah Akademiknya. Itu terjadi di awal tahun 2014. Kemudian berubah lagi menjadi semuanya diusulkan dipilih oleh DPRD. tidak ada yang dipilih langsung.
Usulan inilah yang memicu gelombang protes masif dari berbagai elemen masyarakat. Apalagi usulan ini mendapat dukungan kuat dari parpol-parpol pengusung pasangan Prabowo-Hatta yang kalah di Pilpres 2014.
3. 10 Syarat Partai Demokrat
Di saat-saat terakhir jelang pengambilan keputusan, Presiden SBY muncul dengan sikapnya yang berbalik arah mendukung pilkada langsung. Partai Demokrat yang sebelumnya bersama parpol Koalisi Merah Putih, menyatakan mendukung pilkada langsung. Namun dalam praktiknya, mereka mengajukan 10 syarat yang harus dimasukkan dalam draf pasal-pasal RUU Pilkada.
10 Syarat itu adalah: Pertama, uji publik atas integritas calon gubernur, calon bupati dan calon wali kota. Kedua, efisiensi biaya penyelenggaraan pilkada mutlak dilakukan. Ketiga, perbaikan atas pengaturan dan pembatasan pelaksanaan kampanye terbuka. Keempat, akuntabilitas penggunaan dana kampanye. Kelima, larangan politik uang dan sewa kendaraan partai.
Keenam, fitnah dan kampanye hitam dilarang. Ketujuh, larangan pelibatan aparat birokrasi, kedelapan larangan pencopotan aparat birokrasi pascapilkada. Kesembilan, perbaikan atas penyelesaian sengketa pilkada dan kesepuluh pencegahan kekerasan dan tanggungjawab calon atas kepatuhan pendukungnya.
4. Demokrat walk out
Fraksi Partai Demokrat DPR akhirnya memilih meninggalkan (walk out) ruang sidang paripurna DPR pengesahan RUU Pilkada. Sikap ini diambil karena fraksi partai penguasa itu merasa opsinya soal pilkada langsung dengan 10 syarat tidak diakomodir dalam hasil lobi antar-pimpinan fraksi.
“Dengan tidak diakomodirnya opsi kami pilkada langsung dengan 10 syarat mutlak, maka perkenankan kami bersikap netral dan perkenankan kami untuk meninggalkan ruang rapat,” ujar Juru Bicara Fraksi Partai Demokrat DPR, Benny K Harman, di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (26/9) pukul 00.25 WIB.
Usai walk out, Benny mengatakan dukungan PDIP, PKB dan Hanura, terhadap 10 syarat Demokrat hanya lips service.
“Kami baca satu per satu pasal, ternyata tidak semuanya diakomodir. Jadi (dukungan) itu hanya di mulut saja. Lips service,” kata Benny.
Selain lantaran mencium drama dukungan ketiga partai tersebut, Benny menambahkan, peluang Partai Demokrat untuk memajukan pilkada langsung dengan 10 syarat mutlak sebagai opsi ketiga, sangat kecil.
Benny mengatakan, Partai Demokrat memproyeksi hanya akan ada dua opsi dalam voting di rapat paripurna, yakni pilkada langsung dan tidak langsung. “Kami sudah hitung-hitung, pilkada langsung juga akan kalah,” tutur Benny.
5. DPR putuskan pilkada lewat DPRD
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya memutuskan mekanisme pemilihan kepala daerah dalam RUU Pilkada dilakukan melalui DPRD. Keputusan itu diambil setelah voting dimenangkan oleh kubu pendukung pilkada tidak langsung tersebut.
Hasil perhitungan voting di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (26/9) dini hari, menunjukkan sebanyak 135 orang anggota DPR mendukung pilkada langsung. Sementara 226 orang mendukung pilkada dari DPRD.
“Dengan demikian rapat paripurna DPR memutuskan pemilihan lewat DPRD,” ujar pimpinan sidang, Priyo Budi Santoso.
Sebelumnya, Fraksi Partai Demokrat memilih meninggalkan ruang sidang (walk out) karena opsinya, yakni pilkada langsung dengan 10 syarat tidak diakomodir. Meski demikian, tetap ada 6 anggota Fraksi Partai Demokrat yang tetap bertahan di dalam ruang sidang dan menggunakan hak suaranya.
Sumber: merdeka.com