TOTABUAN.CO — Revisi UU MD3 sedang dilakukan Badan Legislasi DPR yang diagendakan rampung 5 Desember 2014 mendatang. Namun di balik revisi itu terdapat keganjilan terkait posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dianaktirikan.
“Padahal, dalam konteks bernegara sejatinya setiap lembaga negara setara tanpa diskriminasi. Konstitusi dilahirkan para legislator dan dihadirkan untuk mengatur kemaslahatan bangsa,” ujar Direktur Eksekutif The Political Society, Firdaus Muhammad, dalam dialog kenegaraan “Revisi UU MD3 Buat Siapa?”, di gedung DPD Senayan Jakarta, Rabu (26/11).
Menurut Firdaus, proses legislasi mencakup rancangan hingga penetapan harus berjalan sesuai prosedur yang mengaturnya dan tentu bukan dipolitisasi. Namun, wacana perubahan UU MD3 melahirkan polemik karena mengabaikan salah satu fungsi DPD.
“Yang menjadi pertanyaan apa yang melatari revisi UU MD2 itu? Saya melihat revisi itu lebih pada politis dan pragmatis serta condong politisasi terbuka,” ucapnya.
Dikatakan, revisi UU MD3 itu semata-mata untuk mengakomodir kepentingan internal politik DPR yang saat ini masih terus berseteru. Bahkan cenderung sebagai wujud islah politik antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP).
Firdaus mendesak DPR untuk melibatkan DPD untuk turut serta membahas revisi UU MD3 tersebut. Jika DPD tidak dilibatkan maka itu sebagai cerminan ketidakadilan politik antar-lembaga negara yang sejatinya setara.
“Kalau DPD tidak diikutkan, semakin membuktikan bahwa revisi UU MD3 hanya untuk kepentingan segelintir elite politik. Revisi hanya untuk bagi-bagi jabatan di DPR saja,” tandasnya.
sumber : beritasatu.com