TOTABUAN.CO POLITIK — Pemilu 2019 tentu berbeda dengan Pemilu 2014. Berbagai perubahan mengharuskan caleg beradaptasi dengan cara kampanyenya dan menyiapkan strategi pemenangannya lebih matang. Salah satu syarat mutlaknya adalah, meraih suara mayoritas. Namun, hal itu belum menjamin caleg tersebut berhasil berkantor di kawasan Senayan pada 2019 mendatang.
Status partai, syarat parliamentary threshold, serta beberapa faktor pendukung harus benar-benar disiapkan secara matang oleh para caleg yang bertarung berebut kursi DPR RI.
Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), yang diparipurnakan pada Juli 2017 lalu, menghasilkan lima poin yang membedakan Pemilu 2019 dengan sebelumnya.
Salah satunya yakni system Parliamentary Threshold (ambang batas parlemen) yang telah diundangkan. Di mana system ini mengatur syarat partai politik lolos ke DPR yaitu memiliki suara sebesar 4 persen di suatu tingkatan wilayah. Batas ambang 4 persen tentunya adalah tantangan sendiri bagi partai kecil atau partai baru yang pertama kali ikut pemilu.
Dari berbagai pengalaman, ambang batas parlemen telah beberapa kali menggagalkan sebuah partai untuk lolos ke Senayan. Seperti contoh, PBB dan PKPI yang gagal ke Senayan setelah suara nasional yang mereka dapatkan tak mencapai 3,5 persen, syarat parliamentary threshold di Pemilu 2014 silam.
Hal ini seringkali membuat caleg DPR partai seperti ini kena apes. Pasalnya, sekalipun caleg mereka juara di suatu daerah pemilihan (dapil), namun karena aturan ambang batas parlemen tadi, membuat partainya tadi tidak boleh masuk ke DPR.
Selain system Parliamentary Threshold, ada juga, metode konvensi suara yang digunakan untuk menentukan caleg terpilih juga berubah. Apabila pada pemilu sebelumnya, KPU menggunakan sistem penghitungan Quote Harre. Namun pada pemilu 2019, KPU akan menggunakan sistem Saint League Murni.
Sistem Quote Harre dikenal dengan istilah bilangan pembagi pemilih (BPP). BPP digunakan untuk menetapkan suara sesuai dengan jumlah suara dibagi dengan jumlah kursi yang ada di suatu dapil. Metode ini cenderung merugikan partai besar dikarenakan hak untuk mendapat kursi secara maksimal harus terlempar pada partai bersuara kecil dikarenakan asas pembagian pemilih tersebut.
Sedangkan metode Saint League Murni, digunakan pada Pemilu 2019 ini, adalah metode penghitungan suara yang menggunakan angka pembagi untuk mengalokasikan kursi yang diperoleh setiap partai politik dalam sebuah dapil. Angka yang digunakan untuk pembagi adalah angka ganjil (1,3,5,7,dst). Jumlah suara yang telah dibagi oleh angka ganjil tersebut akan diperingkatkan dan menentukan siapa saja partai/caleg yang lolos.
Jumlah Perolehan Kursi Partai Politik di DPR RI
Sebanyak 575 kursi DPR RI akan diperebutkan oleh 14 partai politik yang lolos mengikuti kontestasi pada pemilihan umum 2019.
Jumlah kursi DPR RI pada pemilu 2019 bertambah 15 kursi menjadi 575 dibanding pemilu 2014 sebanyak 560 kursi. Penambahan ini terkait bertambahnya tiga daerah pilih (dapil), yaitu Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Sehingga jumlah dapil pada pemilu tahun depan menjadi 80 dapil dari sebelumnya hanya 77 dapil.
Pada pemilu 2014, PDI Perjuangan (PDI-P) memimpin perolehan kursi di DPR RI, yakni sebanyak 109 kursi atau 9,5% dari total 560 kursi. Di urutan kedua Partai Golkar yang memperoleh 91 kursi (16,3%) dan Partai Gerindra di posisi ketiga dengan 73 kursi (13%). Sementara Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) tidak mendapat jatah kursi di DPR RI karena perolehan suara kedua partai tersebut di bawah ambang batas parlemen sebesar 3,5%.
PDI Perjuangan 109 Kursi
Partai Golkar 91 Kursi
Partai Gerindra 73 Kursi
Demokrat 61 Kursi
PAN 49 Kursi
PKB 47 Kursi
PKS 40 Kursi
PPP 39 Kursi
Nasdem 35 Kursi
Hanura 16 Kursi
Dilansir dari era.id, pengamat politik dan pemerintahan Universitas Brawijaya, Muhtar Haboddin mengatakan, bagian penting dari mereka yang ingin menjadi calon legislatif adalah kemampuan untuk melihat partai mana yang berpotensi lolos parliamentary threshold.
Hal ini tentu rasional, sepopuler apapun seorang individu memiliki kemungkinan gagal melaju menjadi anggota legislatif, kata Mohtar.
Sumber: Era.id