TOTABUAN.CO JAKARTA–Tahukah Anda, siapa atau faktor apa yang membuat suhu Pilpres 2014 menjadi panas dan seru? Menurut sejarahwan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, selain media massa, terutama Metro TV dan TV One, ada lima pihak atau faktor yang membuat suhu Pilpres 2014 panas dingin.
Pertama, faktor Karni Ilyas.
Selama Pilpres berlangsung, Pemimpin Redaksi TV One, Karni Ilyas menghilang. Karni ternyata memilih cuti panjang. Mengapa Karni cuti di saat media massa ramai memberikan suasana pilpres, sementara semua orang tahu bahwa arah kebijakan media sangat ditentukan kepiawaian seorang pemimpin redaksi? Asvi mengatakan, Karni tidak mau berbenturan dengan keinginan pemilik televisi yakni Aburizal Bakrie (ARB).
“Ia pun memilih cuti karena dia tidak mau mundur dari TV One. Karni adalah salah satu pendiri, orang yang menghidupkan TV One dengan program-program yang dibuatnya, salah satunya Indonesia Lawyer Club (ILC),” katanya.
Sayang, walau pun cuti dan tidak terlibat dalam redaksional TV One, banyak pihak tetap menyalahkan Karni, karena di saat situasi sangat genting, dia menghilang, tidak bertanggung jawab atas pemberitaan yang keluar. Menurut Asvi, Karni Ilyas sesungguhnya tidak mau berkonflik dengan ARB. Tetapi pada hari ini, kata Asvi, Karni Ilyas kembali bekerja sebagai seorang wartawan profesional, yang mengerti hukum dan TV One pun berubah menjadi lebih dingin.
Kedua, faktor Mahfud MD.
Asvi mengatakan, faktor lain yang membuat suhu politik hangat adalah figur Mahfud MD. Dia ini manusia luar biasa. Dia cerdas. Dia adalah calon presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), namun gagal. Mahfud MD kemudian ditawari posisi cawapres oleh ARB, tetapi ditolak karena tidak mendapat dukungan para kyai yang menolak Lumpur Lapindo. Ketika ditawari menjadi tim sukses Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Mahfud MD menerimanya.
Menurut Asvi, itu terjadi karena Mahfud MD kecewa dengan Muhaimin Iskandar, dan dia ingin membuktikan bahwa Muhaimin Iskandar keliru tidak mencapreskan dirinya.
“Tetapi saya lihat Mahfud MD sebagai intelektual murni ketika dia menolak Tabloid Obor Rakyat yang meminta perlindungan hukum kepadanya,” katanya.
Mahfud MD tiba-tiba meramaikan suasana ketika Megawati Soekarnoputri mendeklarasikan kemenangan pasangan Jokowi-JK. Padahal, saat itu baru 70 persen data quick count yang masuk.
Mahfud MD melakukan perlawanan dengan membuat deklarasi kemenangan pasangan Prabowo-Hatta berdasarkan hasil quick count empat lembaga yang ditayangkan di TV One.
“Mahfud MD membuyarkan hasil quick count beberapa lembaga, yang belakangan kemudian Persepi menyimpulkan hasil quick count pasangan nomor satu tidak kredibel,” kata Asvi.
Andaikan Megawati menunda satu jam mengumumkan kemenangan Jokowi-JK versi quick count, mungkin situasinya tidak seperti sekarang ini.
Namun, Mahfud MD juga yang pertama menenangkan situasi menjelang pengumuman pemenang pilpres, dengan mengatakan dirinya gagal memenangkan pasangan Prabowo-Hatta. Dia juga mengatakan mendukung tidak perlu pemilu ulang, tidak perlu penghitungan ulang dan tidak perlu membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Ini sangat menyejukkan, karena Mahfud MD kembali ke intelektualnya,” kata Asvi.
Ketiga, Radio Republik Indonesia (RRI).
Faktor lain yang menambah panas situasi adalah ketika RRI mempublikasi hasil quick count yang memenangkan pasangan Jokowi-JK. Menurut Asvi, RRI sudah lama melakukan quick count dan hasilnya sangat akurat. RRI itu memiliki sumber daya yang handal dan menyebar di seluruh Indonesia.
“Tidak perlu cemas karena hasil quick count mereka akurat. Karena itu, publik tidak perlu pertanyakan karenaRRI mewartakan apa adanya, tidak memihak salah satu kandidat,” katanya.
Keempat, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
LIPI juga menjadi salah satu faktor penghangat suhu politik dengan survei yang dilakukan pada Juni lalu, dimana pasangan Jokowi-JK menang telah kalau pilpres dilaksanakan saat itu.
Banyak yang protes dengan survei LIPI, karena menggunakan uang negara. “Tetapi hasil survei LIPI tidak jauh berbeda dengan hasil saat ini,” katanya.
Kelima, faktor relawan.
Kemunculan relawan pada Pilpres 2014 menjadi hal yang patut dipantau serius. Apakah kemunculan banyak relawan karena partai politik tidak bisa berperan optimal?
“Ini introspeksi untuk partai politik. Karena kalau Jokowi-JK menang, maka faktor yang menentukan adalah relawan dan artis,” katanya.
Pakar hukum tata negara, Margarito Kamis mengatakan, munculnya banyak relawan karena kondisi partai politik sudah sangat parah. Partai politik belum mampu mengartikulasi keinginan rakyat. Margarito melihat, Pilpres kali ini sebenarnya adalah pertarungan antara relawan dengan partai politik.
Jokowi-JK adalah figur yang diinginkan relawan, sementara Prabowo-Hatta adalah figur yang didukung banyak partai politik.
“Tetapi perlu diingat bahwa semakin banyak partai politik bergabung, semakin lemah capres tersebut. Yang ramai hanya based camp, deklarasi di based camp, tetapi hasilnya nol,” kata dia.
Sumber: Suara Pembaharuan