TOTABUAN.CO — Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera memilih dan menetapkan satu di antara dua calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni Busyro Muqoddas dan Roby Arya Brata, untuk mengisi satu kursi pimpinan KPK yang kosong.
Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2014, kemudian dua nama calon pimpinan telah dihasilkan dan diserahkan ke DPR pada tanggal 16 Oktober 2014.
Sesuai dengan Pasal 30 Ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), DPR dalam waktu tiga bulan wajib memilih dan menetapkan pimpinan KPK terhitung sejak tanggal diterimanya usul Presiden. Namun, hingga saat ini seleksi tidak kunjung dilakukan.
DPR seharusnya mengingat dan mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IX/VI/2010 yang intinya menyatakan bahwa pimpinan KPK menjabat selama empat tahun.
“Hal ini berarti bahwa masa tugas Busyro Muqoddas akan berakhir pada tanggal 10 Desember 2014. Oleh karena itu, harus segera dilakukan pengisian jabatan,” kata Direktur Advokasi PSHK Ronald Rofiandri, Sabtu (29/11).
Menurut peneliti PSHK, Miko Ginting, permintaan Komisi III DPR dalam rapat dengar pendapat Senin (24/11) agar Pansel menyerahkan enam nama calon pimpinan KPK adalah tidak berdasar dan bertentangan dengan UU KPK.
“Pasal 30 ayat (9) UU KPK menyatakan bahwa Pansel Calon Pimpinan KPK menyerahkan nama calon dua kali dari jumlah yang dibutuhkan,” kata Miko.
Dalih waktu yang sempit, lanjut dia, tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mengadakan seleksi. Dalam hal ini, DPR masih memiliki waktu untuk mengadakan seleksi hingga 10 Desember 2014.
Meskipun DPR akan memasuki masa reses pada tanggal 6 Desember mendatang, menurut Miko, agenda penetapan pimpinan KPK masih dapat dilakukan di luar masa sidang dengan persetujuan Badan Musyawarah sebagaimana dimungkinkan berdasarkan Pasal 52 Ayat (2) Peraturan DPR RI No. 1/2014 tentang Tata Tertib DPR.
“Kami memandang bahwa Presiden tidak perlu menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait dengan jabatan pimpinan KPK karena hingga saat ini kondisi kegentingan yang memaksa tidak terpenuhi,” katanya.
“Saat ini kewajiban memilih dan menetapkan pimpinan KPK jelas berada di pundak DPR dan bukan Presiden,” pungkas Miko.
sumber : beritasatu.com