TOTABUAN.CO — Semangat gadis remaja 18 tahun itu menggebu-gebu. Wajah cerianya tak bisa disembunyikan dari raut mukanya. Namanya Ai Masnandifu. Dia adalah mahasiswa jurusan D3 Administrasi Niaga Institut Pertambangan Newangkawi (IPN).
Sebelum lolos di IPN, Ai adalah lulusan SMA 102 Yogyakarta. Menurut dia, menimba ilmu di IPN sangat menguntungkan. Selain mendapatkan tambahan ilmu, siswa diberikan fasilitas gratis. Bahkan digaji dan mendapatkan tunjangan lainnya, seperti halnya seorang karyawan perusahaan.
“Tes seleksi untuk masuk sekolah ini cukup ketat. Saat pendaftaran waktu itu, ada 800-an orang dalam angkatan saya dan yang lolos hanya 24 orang, lalu saat ini sisa 22 orang,” kata Ai, di Mimika, Papua, Rabu (26/11/2014).
Pendaftaran dan perekrutan masuk di IPN bekerja sama dengan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Mimika. Dalam perekrutan mahasiswa, lebih diutamakan dari masyarakat 7 suku yang berada di wilayah areal PT Freeport Indonesia (PT FI) yakni suku Amungme, Komoro, Damal, Moni, Dani, Mee, Ekari. Kemudian baru diberikan kesempatan bagi putra Papua asal suku lain, bahkan ada juga mahasiswa bukan asal Papua.
Supervisor IPN Suzan Kambuaya mengatakan, 90 persen mahasiswa yang bersekolah di IPN adalah anak-anak dari 7 suku, 10% lainnya adalah anak Papua dan non-Papua. Ada beberapa program di IPN yakni program master administrasi niaga, program administrasi niaga D3, pelatihan dan pengembangan karyawan PT FI.
Program lainnya, kata Suzan, memberikan kesempatan kepada mahasiswa yang kuliah di perguruan lain, namun ingin mengetahui tentang pertambangan. Program ini bernama Papuan Bridge Program, yang memberikan kesempatan kepada orang Papua lulusan universitas untuk menerima bantuan dalam transisi dari universitas ke lingkungan kerja profesional.
General Superitenden IPN Alfons Malentang mengatakan, lulusan IPN tidak mengharuskan semua siswanya bekerja di PT FI. Tetapi lulusan IPN bisa juga menjadi wiraswasta, pegawai negeri sipil atau PNS, bahkan bekerja dalam bidang usaha lain.
“Siswa yang belajar di IPN mendapatkan uang saku per bulannya, mendapatkan makan siang selama kegiatan belajar. Semua siswa yang belajar di institut ini juga diberikan pendidikan gratis,” jelas Alfons.
Pendidikan Gratis Sejak Usia Dini
Pendidikan gratis yang difokuskan bagi anak-anak 7 suku yang mendiami areal PT FI, telah digratiskan sejak anak tersebut mengenyam pendidikan usia dini.
Yayasan Mitra Cendekia Abadi menjadi pengelola Sekolah Taruna Papua dengan sumber dana dari Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Komoro (LPMAK) –yang merupakan lembaga pengelola dana 1% dari hasil produksi PT FI.
Sekolah ini berdiri di atas tanah 10 hektare dan telah memiliki anak didik 192 orang. Sebanyak 18 di antaranya adalah siswa Taman Kanak-Kanak dan sisanya adalah murid sekolah dasar di SD Taruna Papua yang berlokasi di Kota Timika.
Menurut Koordinator sekolah dan asrama, Stevanus Budiono, perekrutan siswa baru dilakukan secara penuh oleh LPMAK. Anak yang direkrut juga anak berusia paling muda 5 tahun dan usia sekolah dasar lainnya.
“Di Sekolah Taruna Papua, hanya ada murid TK dan SD. Jika lulus SD, biasanya kami mengirim anak-anak itu ke SMP di Manado atau Jakarta dengan biaya pendidikan tetap gratis,” ungkap dia.
Rencananya, kata Stevanus, tahun ajaran baru mendatang, sekolah ini akan dilengkapi gedung SMP dan akan membuka kelas bagi umum, dengan prosentase 70% tetap dikhususkan bagi anak 7 suku dan 30% adalah anak Papua dan non-Papua.
“Di luar anak 7 suku ini, sekolahnya tidak digratiskan dan kami berharap dengan dibukanya kelas bagi masyarakat umum, sekolah Taruna Papua dapat mandiri, sehingga dana dari LPMAK bisa digunakan bagi sektor lainnya,” papar dia.
Dalam proses belajar mengajar, satu kelas di Sekolah Taruna Papua paling banyak ditempati 25 anak. Pola yang diterapkan dalam sekolah ini adalah sekolah asrama. Pihaknya juga mengklaim Pemerintah Kabupaten Mimika mendukung penuh pola pengajaran dan pendidikan yang diterapkan di sekolah ini.
Stevanus juga mengaku, tak selamanya mendidik anak dari pedalaman Papua berjalan mulus. Setiap tahun, ada saja anak yang harus tahan kelas dan mengulang, bahkan turun ke kelas lebih rendah. Dalam 1 tahun, biasanya anak yang tidak naik kelas ada sekitar 1-2 anak per kelas.
“Rata-rata orangtua siswa mengerti apa yang dialami jika sang anak tidak naik kelas. Pemahaman orangtua saat ini untuk pendidikan anak juga mulai meningkat. Sehingga jika ada anak yang tidak naik kelas atau tidak lulus, tidak ada orangtua yang marah,” jelas dia.
Kegiatan Penuh
Kepala asrama Raffel Rohie menyebutkan, anak yang bersekolah di Sekolah Taruna Papua memiliki rutinitas sejak pukul 05.00 WIT hingga pukul 21.00 WIT dan didampingi 20 pengasuh. Kegiatan anak-anak selalu diawali kegiatan ibadah, lalu sarapan, dan setelah itu anak-anak harus mencuci alat makan masing-masing, lalu persiapan ke sekolah yang jarak sekolah dan asrama hanya sekitar 50 meter.
“Pukul 14.00-15.00 WIT, anak-anak beristirahat setelah pulang sekolah. Nanti pukul 15.00 WIT hingga 17.00 WIT dilakukan lifeskill menurut pengembangan diri anak tersebut, misalnya drumband, tari, futsal dan kegiatan lainnya. Lalu dilanjutkan dengan mengerjakan tugas-tugas sekolah dan kegiatan anak akan ditutup dengan ibadah bersama kembali,” urai dia.
Kurikulum Koordinator Sekolah Taruna Papua, Dewa komang Tri Mahayana menyebutkan, kurikulum yang digunakan untuk pendidikan di sekolah ini mengacu pada kurikulum nasional 2013, sama dengan sekolah lainnya. Kebanyakan anak di sekolah tersebut sudah mulai paham dan mengerti dalam pembelajarannya.
“Ada sebanyak 21 guru yang mengajar SD dan TK. Keseluruhan guru adalah perekrutan guru dari luar Papua. Kendala yang dialami dalam pembelajaran siswa pada awal adalah kendala bahasa, bagaimana menerapkan pola hidup sehat dan pola hidup sopan. Namun banyak siswa telah dapat beradaptasi dengan sekolah sekitar 2-3 bulan. Karena sekolah ini gratis, rata-rata per siswa menelan biaya Rp 4 juta per bulannya,” ungkap dia.
sumber : liputan6.com