TOTABUAN.CO — Pemerintah didesak ikut menyeriusi karya sastra tanah air, terutama sastra sejarah. Sebab, karya sastra sejarah kurang diminati masyarakat. Se-baliknya, karya sastra sejarah tanah air lebih banyak dimintai oleh sastra asing yang tinggal di Amerika Serikat dan Eropa.
”Kurikulum pendidikan kita lebih banyak mengenai ilmu pe-ngetahuan aplikatif dunia kerja, sedangkan karya sastra lebih pada murni pendidikan yang mengajarkan siswa berpikir kre-atif dan kritis. Kritis yang rasional, bukan asal bicara,” kata sastrawan dari Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, Fransisca Kristanti di sela-sela seminar nasional Literary Studies Conference (LSC) dengan tema De/Reconstructing Southeast Asia History Through Literature di Kampus USD, Kamis (16/10).
Menurut Fransisca, karya sastra sejarah Indonesia sudah banyak. Tapi, karya sastra sejarah tersebut kurang dimintai masyarakat.
Padahal, karya sastra sejarah tidak hanya berisi imajinasi, tapi banyak mengupas fakta sejarah yang selama tidak pernah diungkap para penulis sejarah. Seperti karya sastra yang pernah ditulis oleh sastrawan Pramudya Ananta dan Muktar Lubis. ”Sastrawan ingin merekonstruksi sejarah melalui sastra,” tambah Fransisca.
Selain buku, jurnal yang khusus membahas karya sastra juga sudah banyak. Hanya, peredaran jurnal sastra masih sangat terbatas. Jurnal sastra beredar di tengah lingkugan terbatas. ”Jangan sampai Indonesia sendiri enggan mengkaji karya sastranya sendiri, dan jangan sampai Indonesia kehilangan sastrawan,” papar perempuan yang akrab disapa Sisca ini.
Hal senada disampaikan dosen Sastra Inggris USD, Sri Mulyani. Menurutnya, sebagian masyarakat beranggapan penulisan sejarah yang dilakukan oleh sastrawan dengan non-sastrawan ada per-bedaan. Perbedaan itu terjadi karena masyarakat menilai karya sastra sejarah dianggap hasil imajinasi, bukan fakta.
sumber : jpnn.com