TOTABUAN.CO – Akses pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat (difabel) masih rendah. Catatan angka partisipasi murni (APM) antara siswa normal dengan siswa difabel masih timpang. Ketersediaan infrastruktur, sumber daya guru, hingga budaya orangtua menjadi penyebabnya.
Direktur Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) Pendidikan Dasar Kemendikbud Mudjito menuturkan, anak-anak usia 0-15 tahun di Indonesia berjumlah 61,2 juta orang. Dari jumlah itu, anak-anak penyandang cacat berjumlah 354.707 orang.
“Artinya ada 7 anak dari 1.000 anak yang difabel,” katanya usai disekusi program PKLK Kemendikbud di Bandung kemarin.
Mudjito menuturkan, komposisi anak penyandang cacat itu terakhir direkam pada 2009 lalu yakni melalui program survei sosial ekonomi nasional (Susenas).
“Sampai tahun ini, belum ada lagi survey serupa. Jadi patokan kita data 2009 itu,” tandasnya.
Dari seluruh anak penyandang cacat tadi, menurut Mudjito tidak semuanya dapat mengakses pendidikan. Untuk kelompok usia 7-12 tahun, APM-nya hanya 46,32 persen anak penyandang cacat yang mengakses pendidikan. Kemudian di kelompok 13-15 tahun, hanya 29,75 persen. Lalu di kelompok usia 16-18 tahun, hanya 16,91 persen.
Mudjito menjelaskan, banyak sekali penyebab masih minimnya akses pendidikan bagi anak-anak cacat atau difabel. Pertama adalah urusan akses sarana pendidikan. Menurut dia sekolah yang menyediakan layanan pendidikan untuk penyandang cacat jumlahnya masih terbatas. Sehingga tidak semua anak penyandang cacat usia sekolah bisa menuntut ilmu.
“Umumnya sekolah anak-anak penyandang disabilitas ini dilayani di SLB (sekolah luar biasa, red). Tetapi kita tahu sendiri jumlah SLB belum menyebar,” tandasnya.
Untuk itu dia menuturkan Kemendikbud akan terus mendorong pemda-pemda yang telah berkomitmen terhadap layanan pendidikan khusus, untuk mendirikan SLB-SLB baru.
Saat ini jumlah SLB di seluruh Indonesia ada 1.174 unit. Sedangkan sekolah inklusi berjumlah 2.430 unit. Saat ini masih ada 112 pemerintah kabupaten yang belum memiliki unit SLB satupun.
Faktor berikutnya adalah budaya orangtua. Meskipun banyak orangtua anak-anak difabel yang terpelajar, tetapi ada yang tidak mau menyekolahkan anaknya.
“Masih ada budaya malu,” jelas Mudjito.
Sehingga peningkatan akses layanan pendidikan khusus ini juga merambah pada orangtua. Dia menuturkan para orangtua anak-anak penyandang cacat, harus memiliki kesadaran bahwa anak mereka tetap berhak menuntut ilmu.
Kendala terakhir yang dihadapi pendidikan layanan khusus ini adalah ketersediaan tenaga pendidikan. Untungnya saat ini sejumlah pemda sudah berinisiatif menyekolahkan guru-guru reguler untuk kuliah bidang pendidikan layanan khusus. Setelah kuliah singkat selama dua semester, para guru itu sudah memiliki kompetensi untuk mengajar anak-anak berkebutuhan khusus.
Sumber: jpnn.com